Nationalgeographic.co.id - Antisthenes adalah seorang filsuf terkemuka pada zaman Yunani kuno yang dikenal sebagai guru Diogenes dari Sinope dan bapak pendiri aliran sinisme.
Ia dengan berani menantang tradisi dan hukum masyarakat, serta mengkampanyekan kehidupan yang berbudi luhur yang selaras dengan alam.
Kehidupan Antisthenes
Diogenes Laertius menceritakan bahwa Antisthenes menjalani hidup dengan sederhana dan menentang norma sosial. Meskipun ayahnya berasal dari Athena, ibunya adalah orang Trakia, sehingga ia berstatus sebagai metic (penduduk asing) dan bukan warga negara penuh Athena.
Meski memiliki keterbatasan sosial, Antisthenes tetap bersemangat dalam menuntut ilmu. Ia awalnya tertarik pada ajaran kaum Sofis sebelum akhirnya menjadi murid setia Socrates. Pengaruh Socrates sangat besar dalam membentuk pemikirannya, terutama dalam hal disiplin diri dan penolakan terhadap kekayaan materi.
Setelah Socrates dieksekusi pada tahun 399 SM, Antisthenes mulai mengajar di gimnasium Cynosarges, tempat yang diperuntukkan bagi non-warga negara dan orang-orang keturunan campuran. Dari tempat inilah, aliran filsafat Sinisme mendapatkan namanya.
Di sana, Antisthenes mengembangkan ajaran yang menekankan kebebasan individu serta pelepasan diri dari keterikatan sosial dan materi.
Filsafat Antisthenes
Dalam diskusi dialektika, Antisthenes berusaha menentang definisi konsep umum yang dikemukakan oleh Socrates. Ia menolak teori idea Plato dan hanya mengakui realitas sebagai sesuatu yang bersifat partikular. Menurutnya, hanya hal-hal yang dapat dilihat, disentuh, atau dirasakan yang benar-benar ada (ajaran sensualisme).
Seperti yang dicatat oleh Alexander dari Afrodisias, Antisthenes berpendapat bahwa konsep umum tidaklah nyata. Misalnya, kita bisa melihat seekor kuda, tetapi tidak bisa melihat konsep “keperwiraan.” Setiap konsep hanya memiliki satu makna spesifik.
Dari pemikiran ini, ia menyimpulkan bahwa suatu hal hanya dapat didefinisikan oleh dirinya sendiri, dan satu-satunya pernyataan yang benar adalah yang bersifat tautologis (A adalah A).
Baca Juga: Diotima, Filsuf Wanita Yunani Kuno yang Sohor dengan Teori Cinta
Menurutnya, tidak tepat mengatakan, “Emas itu berwarna pirang” melainkan yang benar adalah “Emas adalah emas”. Demikian pula, tidak benar mengatakan, “Manusia itu fana” tetapi lebih tepat, “fana adalah fana.”
Antisthenes juga menolak definisi berdasarkan karakteristik esensial. Pemikirannya ini kemudian melahirkan prinsip utama dalam aliran Sinisme, yakni hidup dengan kemandirian penuh dari kebutuhan dunia luar, membatasi keinginan seminimal mungkin, serta melatih ketahanan terhadap penderitaan dan kesulitan. Ia menganggap kenikmatan, terutama kenikmatan seksual, sebagai keburukan terbesar.
Ajaran utama Antisthenes adalah bahwa kebajikan (virtue) merupakan satu-satunya kebaikan sejati dan sudah cukup untuk mencapai kebahagiaan. Ia percaya bahwa kebajikan terletak pada akal, pengendalian diri, dan hidup selaras dengan alam.
Menurutnya, hukum, tradisi, dan kepemilikan materi hanyalah hambatan yang memperbudak manusia terhadap keinginan yang tidak perlu serta institusi yang korup.
Antisthenes kerap berkata: "Kebajikan sejati tidak membutuhkan apa pun. Begitu pula orang bijak yang bertindak dan berperilaku sesuai dengan penilaiannya sendiri tidak membutuhkan hukum. Hukum hanya diperuntukkan bagi orang banyak dan mereka yang biasa-biasa saja, bukan bagi mereka yang terpilih."
Penolakan Antisthenes terhadap Nilai-Nilai Konvensional
Antisthenes adalah kritikus tajam terhadap nilai-nilai tradisional. Ia berpendapat bahwa kekayaan, ketenaran, dan kekuasaan tidak memiliki makna sejati.
Baginya, mengejar hal-hal tersebut hanyalah belenggu yang mengikat manusia pada kehidupan yang dangkal.
Sebagai gantinya, ia menganjurkan hidup dalam kesederhanaan, di mana kebebasan sejati berasal dari kemandirian dan pembebasan diri dari ekspektasi sosial.
Dengan menolak norma-norma masyarakat, Antisthenes memperkenalkan konsep kebebasan yang melampaui batasan hukum dan adat buatan manusia. Ia berargumen bahwa seseorang dapat mencapai kebebasan sejati dengan menguasai hasratnya sendiri dan hidup berdasarkan prinsip rasional.
Menurutnya, orang bijak adalah mereka yang hidup selaras dengan alam, terbebas dari tekanan dan pengaruh eksternal.
Berbeda dengan banyak filsuf sezamannya, Antisthenes lebih menekankan pada etika praktis dibandingkan teori abstrak. Ia percaya bahwa filsafat harus dijalani, bukan sekadar didiskusikan.
Pendekatan praktis ini sangat memengaruhi para pengikutnya, yang kemudian menjalani gaya hidup asketis sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip yang ia ajarkan.
Warisan Antisthenes Sang Cynic
Filsafat sinisme yang dikembangkan oleh Antisthenes menjadi landasan bagi gerakan yang kemudian diperluas oleh muridnya yang paling terkenal, Diogenes dari Sinope.
Diogenes membawa gagasan gurunya ke tingkat yang lebih ekstrem dengan menjalani hidup dalam kemiskinan total dan secara terbuka menentang norma-norma sosial.
Bersama, mereka membentuk gerakan yang menentang materialisme dan kemewahan yang merajalela pada masa itu.
Pengaruh Antisthenes tidak terbatas pada sinisme. Pemikirannya tentang kebajikan dan kemandirian juga beresonansi dengan Stoicisme, salah satu aliran filsafat besar pada era Helenistik.
Para filsuf Stoik seperti Epictetus dan Marcus Aurelius mengadopsi banyak gagasannya, terutama tentang pentingnya hidup selaras dengan alam dan mengejar kebebasan batin.
Di dunia modern, kritik Antisthenes terhadap materialisme dan tekanan sosial tetap relevan. Seruannya untuk berfokus pada kebajikan dan integritas pribadi memberikan perspektif alternatif terhadap konsumerisme dan tuntutan sosial yang mendominasi kehidupan saat ini.
Dengan mengadopsi kesederhanaan dan mempertanyakan nilai-nilai konvensional, seseorang dapat menemukan kembali makna kebebasan dan keaslian dalam hidup.
Sains: Jamur Ini 'Makan' Radiasi Nuklir di Chernobyl, Mungkinkah Pulihkan Zona Mati Itu?
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR