Nationalgeographic.co.id - Rasisme ilmiah adalah serangkaian teori palsu atau ilmu semu (pseudosains) yang digunakan untuk membenarkan dominasi kolonial Eropa dan budaya perbudakan, terutama dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20.
Para pendukung rasisme ilmiah meyakini bahwa ras adalah fakta biologis yang tetap dan tidak dapat diubah. Ras merupakan pengelompokan manusia yang dikategorikan berdasarkan ciri fisik tertentu, meskipun sebenarnya bersifat variabel dan hanya merupakan konstruksi sosial.
Mereka mengembangkan berbagai skema klasifikasi untuk membagi manusia ke dalam kelompok ras yang berbeda, lalu menyusunnya dalam hierarki dengan orang-orang keturunan Eropa di puncaknya.
Namun, penelitian antropologi dan genetika pada abad ke-20 kemudian membantah banyak klaim yang diajukan oleh rasisme ilmiah.
Kesalahan Asumsi dalam Rasisme Ilmiah
Audrey Smedley, Profesor Antropologi, Virginia Commonwealth University menulis untuk Britanicca mengenai betapa salahnya asumsi dalam rasisme ilmiah.
Menurutnya, rasisme ilmiah didasarkan pada asumsi keliru bahwa spesies manusia dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda berdasarkan perbedaan fisik dan perilaku yang diwariskan.
Karena anggapan ini menjadi dasar utama bidang tersebut, para pendukungnya tidak menemukan—dan memang tidak dapat menemukan—bukti yang bertentangan dengan konsep ras sebagaimana yang mereka pahami.
Akibatnya, rasisme ilmiah hanya menggambarkan berbagai ras yang definisinya bervariasi tergantung pada setiap peneliti yang hampir semuanya laki-laki dan skema klasifikasi yang mereka sukai, tanpa dapat membuktikan validitas gagasan bahwa kelompok-kelompok ini benar-benar ada sebagaimana yang mereka deskripsikan.
Selain itu, ilmuwan ras berasumsi bahwa ciri-ciri yang mereka teliti dan ukur, seperti bentuk wajah dan kapasitas tengkorak, sepenuhnya ditentukan oleh genetika tanpa mempertimbangkan pengaruh lingkungan.
Kecenderungan untuk memperlakukan perbedaan manusia sebagai sesuatu yang sepenuhnya ditentukan secara biologis tercermin dalam penggunaan metode pengukuran dalam rasisme ilmiah.
Baca Juga: Kebun Binatang Manusia Jadi Potret Kelam Rasisme dalam Sejarah Dunia
Pengukuran tubuh manusia—terutama kepala dan tengkorak—terlihat objektif dan ilmiah, tetapi justru memperkuat konsep tipologi dalam membedakan kelompok manusia.
Dengan mengumpulkan data kuantitatif dalam jumlah besar, para ahli menghitung rata-rata, nilai tengah, dan deviasi standar untuk membuat profil statistik setiap populasi rasial.
Profil ini dianggap mewakili karakteristik khas masing-masing ras dan disajikan dalam bahasa ilmiah yang tampak meyakinkan.
Ketika profil statistik suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya, ilmuwan ras berasumsi bahwa mereka dapat menentukan sejauh mana perbedaan rasial di antara kelompok-kelompok tersebut.
Namun, pendekatan tipologi ini didasarkan pada sejumlah asumsi yang keliru mengenai karakteristik fisik ras.
Salah satunya adalah keyakinan bahwa rata-rata statistik dapat secara akurat mewakili populasi yang luas, padahal kenyataannya, proses perhitungan rata-rata justru menghilangkan variasi dalam kelompok tersebut.
Ketergantungan pada angka rata-rata ini memungkinkan para sarjana menggambarkan kelompok manusia sebagai entitas yang terpisah, meskipun kenyataannya terdapat lebih banyak perbedaan di dalam masing-masing kelompok dibandingkan di antara kelompok-kelompok tersebut.
Kesalahan lain adalah anggapan bahwa karakteristik ras tidak berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mereka percaya bahwa pengukuran rata-rata, seperti tinggi badan, akan tetap sama di generasi berikutnya tanpa dipengaruhi oleh faktor eksternal, sebuah gagasan yang kemudian terbukti salah oleh para ilmuwan pada abad ke-20.
Ilmu Pengetahuan Awal dan Konsep Ras
Dalam budaya kolonial Eropa, konsep ras menjadi semakin penting seiring dengan upaya para pemimpin politik dan intelektual untuk membenarkan dominasi kolonial Eropa yang semakin luas, terutama di Amerika, serta perdagangan budak transatlantik.
Gagasan tentang superioritas rasial orang Eropa berkembang pesat, didukung oleh semangat ilmiah pada era Pencerahan yang berfokus pada klasifikasi makhluk hidup. Hal ini melahirkan berbagai sistem pembagian rasial yang digunakan untuk mendukung kebijakan kolonial dan perbudakan.
Beberapa intelektual menghidupkan kembali konsep lama tentang hierarki makhluk hidup, yang dikenal sebagai scala naturae (Latin: "skala alam") atau Great Chain of Being (Rantai Keberadaan Besar).
Konsep ini menyatakan bahwa semua makhluk hidup tersusun dalam tingkatan hierarkis, mulai dari organisme paling sederhana, manusia, malaikat, hingga Tuhan.
Para pendukung kolonialisme dan perbudakan mengadaptasi konsep ini untuk membenarkan ketidaksetaraan yang mereka ciptakan, dengan menempatkan orang Eropa di puncak hierarki dan menjadikan perbedaan fisik penduduk asli Amerika serta orang Afrika sub-Sahara sebagai penanda status mereka yang dianggap lebih rendah.
Sementara itu, beberapa ilmuwan mengembangkan klasifikasi rasial mereka sendiri. Naturalist Swedia, Carolus Linnaeus, dalam publikasi antara tahun 1735 hingga 1759, menyusun sistem klasifikasi semua bentuk kehidupan yang dikenal saat itu.
Ia memasukkan manusia ke dalam kelompok primata dan memperkenalkan sistem penamaan ilmiah berdasarkan genus dan spesies.
Untuk spesies manusia, ia menciptakan nama ilmiah Homo sapiens, yang masih digunakan hingga kini. Linnaeus kemudian membagi manusia ke dalam empat subkelompok utama: H. americanus, H. africanus, H. europaeus, dan H. asiaticus.
Selain itu, ia juga memasukkan kategori H. monstrosus (yang mencakup berbagai makhluk fantasi) dan H. ferus ("manusia liar"), yang menunjukkan bahwa beberapa klasifikasinya didasarkan pada mitos dan cerita pelancong, bukan pengamatan ilmiah yang akurat.
Linnaeus juga mengaitkan perbedaan fisik dengan karakteristik budaya dan temperamen, yang menunjukkan pemahamannya yang terbatas tentang hubungan antara ciri fisik dan budaya.
Johann Friedrich Blumenbach, seorang fisiolog dan ahli anatomi perbandingan asal Jerman yang sering disebut sebagai bapak antropologi fisik, membagi umat manusia menjadi lima "varietas".
Ia menekankan bahwa tidak ada garis pemisah yang tegas antara kelompok-kelompok tersebut dan bahwa mereka cenderung berbaur secara bertahap. Lima kategori yang ia tetapkan adalah Amerika, Melayu, Etiopia, Mongolia, dan Kaukasia.
Meskipun Blumenbach sendiri tidak menganggap ras sebagai hierarki yang kaku, klasifikasinya kemudian digunakan untuk mendukung gagasan superioritas rasial.
Istilah-istilah ini tetap digunakan oleh banyak ilmuwan hingga awal abad ke-20, dan dalam beberapa kasus, bahkan bertahan hingga akhir abad tersebut sebagai sistem utama dalam klasifikasi ras manusia.
Source | : | Britannica |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR