Selain itu, faktor sosial dan psikologis juga berperan penting. Makanan olahan sudah lama mudah didapatkan, terjangkau, dan diiklankan secara gencar.
Hal ini menciptakan generasi yang tahu makanan olahan tidak sehat, namun tetap tergoda untuk mengonsumsinya.
"Isyarat yang ada di sekitar makanan ini menjadi sangat kuat," kata Ashley Gearhardt, profesor psikologi di University of Michigan dan anggota tim peneliti yang mengkaji prevalensi kecanduan makanan pada Maret 2022.
.
"Tanda restoran cepat saji atau mesin penjual otomatis bisa sangat menggoda, bahkan saat kita tidak lapar atau saat dokter baru saja mendiagnosis diabetes. Kita terus-menerus dihadapkan pada godaan donat di rapat pagi atau iklan pizza larut malam."
Faktanya Makanan Adalah Kebutuhan Dasar
Namun, menerapkan pendekatan serupa pada makanan tentu lebih kompleks dibandingkan dengan rokok. Makanan adalah kebutuhan dasar, dan tidak semua makanan yang mengandung gula atau lemak memiliki dampak yang sama terhadap otak. Ini membuat regulasi dan intervensi menjadi lebih menantang.
Salah satu pertanyaan besar yang masih belum terjawab adalah apakah semua orang rentan terhadap efek adiktif makanan, atau apakah ada faktor genetik dan lingkungan yang membuat sebagian individu lebih berisiko.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan riwayat keluarga yang memiliki kecenderungan kecanduan mungkin lebih rentan mengalami pola makan kompulsif.
Selain itu, ada perdebatan tentang bagaimana industri makanan berperan dalam mendorong konsumsi berlebihan. Banyak produk makanan olahan dirancang dengan rasio gula, lemak, dan garam yang dapat memaksimalkan respons dopamin, membuat orang semakin menginginkannya.
Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa makanan olahan dirancang secara strategis untuk menciptakan "bliss point"—kombinasi rasa yang membuat makanan terasa sangat memuaskan sehingga sulit untuk berhenti mengonsumsinya.
Tantangan lainnya adalah bagaimana mengedukasi masyarakat tentang pola makan sehat tanpa menimbulkan stigma atau rasa bersalah. Jika pendekatan terhadap kecanduan makanan terlalu menyerupai cara menangani kecanduan zat seperti narkoba atau alkohol, ada risiko bahwa orang akan merasa terjebak dalam rasa malu atau menyalahkan diri sendiri, yang justru dapat memperburuk pola makan emosional.
DiFeliceantonio dan rekan-rekannya menekankan pentingnya penelitian lebih lanjut untuk memahami mekanisme biologis di balik kecanduan makanan.
Mereka berharap bahwa dengan memahami bagaimana berbagai kombinasi nutrisi mempengaruhi otak, kita bisa mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk membantu orang mengontrol pola makan mereka tanpa harus bergantung pada pendekatan ekstrem seperti larangan total atau diet ketat yang sulit dipertahankan.
Meski masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, satu hal yang jelas: makanan bukan sekadar soal rasa atau kalori. Cara makanan berinteraksi dengan otak kita memiliki dampak yang jauh lebih kompleks daripada yang kita duga sebelumnya.
"Jangan merasa bersalah jika sulit menolak makanan adiktif, karena memang tidak mudah. Makanan tersebut dirancang untuk memanfaatkan sistem biologis kita," katanya.
Cobalah untuk mengenali apa yang memicu keinginan tersebut—apakah itu emosi tertentu, suasana, atau waktu tertentu dalam sehari. "Dengan menyadarinya, Anda bisa lebih siap dan mencari cara lain untuk mengatasi keinginan tersebut tanpa harus bergantung pada makanan."
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR