Nationalgeographic.co.id—Saat Idulfitri, hidangan manis dan bersantan menjadi sajian khas yang sulit ditolak. Dari kue-kue lebaran hingga opor ayam, konsumsi gula dan lemak pun meningkat secara signifikan.
Namun, tahukah Anda bahwa asupan berlebihan dari kedua zat ini dapat memengaruhi kinerja otak?
Studi menunjukkan bahwa konsumsi gula berlebih dapat mengganggu fungsi kognitif, sementara lemak jenuh dalam santan berisiko memengaruhi kesehatan otak dalam jangka panjang.
Lalu, bagaimana sebenarnya gula dan lemak bekerja dalam tubuh, dan apa dampaknya terhadap otak?
Untuk diketahui, makanan memiliki pengaruh yang kompleks terhadap otak. Salah satu respons utama yang terjadi adalah pelepasan dopamin, zat kimia yang berperan dalam sistem penghargaan otak.
Seperti halnya obat adiktif, makanan juga dapat memicu pelepasan dopamin. Namun, bertentangan dengan anggapan umum, dopamin sebenarnya bukan zat yang langsung menciptakan rasa senang.
Sebaliknya, dopamin berfungsi mendorong kita untuk mengulangi tindakan yang penting bagi kelangsungan hidup, seperti mengonsumsi makanan bergizi dan bereproduksi. Semakin banyak dopamin yang dilepaskan, semakin besar kemungkinan kita akan mengulangi tindakan tersebut.
Saat kita mengonsumsi makanan tinggi lemak dan gula, sensor di mulut mengirimkan sinyal ke otak untuk melepaskan dopamin di striatum—bagian otak yang berperan dalam mengatur gerakan dan rasa puas.
Namun, menurut Alexandra DiFeliceantonio, asisten profesor di Virginia Tech’s Fralin Biomedical Research Institute, ini bukan satu-satunya mekanisme yang terjadi. Terdapat pula sensor di usus yang mendeteksi keberadaan lemak dan gula, lalu mengirimkan sinyal ke otak untuk merangsang pelepasan dopamin di area yang sama.
Para peneliti masih berusaha memahami bagaimana sinyal gula dari usus mencapai otak. Namun, mekanisme perjalanan sinyal lemak dari usus ke otak sudah diketahui dengan lebih baik.
Ketika lemak terdeteksi di usus bagian atas, sinyal tersebut dikirim melalui saraf vagus—saraf yang mengatur berbagai fungsi otomatis tubuh seperti pencernaan dan pernapasan—ke striatum.
Baca Juga: Selidik Ilmiah Santan dalam Opor Ayam, Hidangan Favorit saat Idulfitri
Makanan tinggi lemak dan gula dapat meningkatkan kadar dopamin di striatum hingga 200 persen dari tingkat normal. Peningkatan ini sebanding dengan yang terjadi saat seseorang mengonsumsi nikotin dan alkohol, dua zat adiktif yang umum di Amerika Serikat.
Penelitian menunjukkan bahwa gula dapat meningkatkan kadar dopamin sekitar 135–140 persen, sedangkan lemak sekitar 160 persen, meskipun efek lemak cenderung membutuhkan waktu lebih lama.
Sementara itu, obat-obatan terlarang memiliki efek yang jauh lebih kuat, seperti kokain yang melipatgandakan kadar dopamin dan metamfetamin yang dapat meningkatkan dopamin hingga 10 kali lipat.
Perubahan Makanan yang Kita Konsumsi
Seiring dengan meningkatnya pemahaman tentang pengaruh makanan terhadap otak, makanan semakin diproduksi agar sangat menggoda kita.
Tubuh kita sekarang kebanjiran makanan dengan konsentrasi nutrisi tertentu yang lebih tinggi, seperti lemak dan gula, serta kombinasi nutrisi yang lebih beragam dari sebelumnya. Ini ditambah dengan sifat sensorik seperti kelembutan es krim yang membuat makan menjadi lebih nikmat.
Dulu, manusia membuat makanan dari bahan-bahan utuh. Misalnya, kulit pai dibuat dari tepung dan mentega.
Sebaliknya, makanan olahan industri terbuat dari zat-zat yang diekstraksi dari makanan, seperti pati dan lemak terhidrogenasi. Bahan tambahan seperti perasa buatan, pengemulsi (yang menjaga minyak dan air tetap tercampur), dan penstabil (yang mempertahankan tekstur makanan) membuat makanan lebih menarik, namun berdampak buruk bagi kesehatan kita.
Para ahli seperti DiFeliceantonio berpendapat bahwa kita perlu membedakan antara makanan ultra proses dan makanan buatan sendiri. Kesadaran akan perbedaan ini adalah langkah awal untuk menghindari berbagai masalah kesehatan akibat pola makan yang buruk.
"Kita sudah lama membuat kue, biskuit, dan pizza di rumah. Namun, peningkatan kematian dan penyakit terkait pola makan baru terjadi setelah produksi makanan ultra-proses meningkat pada tahun 1980-an," kata DiFeliceantonio.
DiFeliceantonio berpendapat bahwa makanan yang sangat diproses bisa dikategorikan sebagai adiktif secara klinis.
Menurut hipotesis kecepatan, semakin cepat suatu zat memengaruhi otak, semakin adiktif zat tersebut. Banyak makanan olahan yang sudah dicerna sebagian agar dopamin dilepaskan lebih cepat.
Selain itu, faktor sosial dan psikologis juga berperan penting. Makanan olahan sudah lama mudah didapatkan, terjangkau, dan diiklankan secara gencar.
Hal ini menciptakan generasi yang tahu makanan olahan tidak sehat, namun tetap tergoda untuk mengonsumsinya.
"Isyarat yang ada di sekitar makanan ini menjadi sangat kuat," kata Ashley Gearhardt, profesor psikologi di University of Michigan dan anggota tim peneliti yang mengkaji prevalensi kecanduan makanan pada Maret 2022.
.
"Tanda restoran cepat saji atau mesin penjual otomatis bisa sangat menggoda, bahkan saat kita tidak lapar atau saat dokter baru saja mendiagnosis diabetes. Kita terus-menerus dihadapkan pada godaan donat di rapat pagi atau iklan pizza larut malam."
Faktanya Makanan Adalah Kebutuhan Dasar
Namun, menerapkan pendekatan serupa pada makanan tentu lebih kompleks dibandingkan dengan rokok. Makanan adalah kebutuhan dasar, dan tidak semua makanan yang mengandung gula atau lemak memiliki dampak yang sama terhadap otak. Ini membuat regulasi dan intervensi menjadi lebih menantang.
Salah satu pertanyaan besar yang masih belum terjawab adalah apakah semua orang rentan terhadap efek adiktif makanan, atau apakah ada faktor genetik dan lingkungan yang membuat sebagian individu lebih berisiko.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan riwayat keluarga yang memiliki kecenderungan kecanduan mungkin lebih rentan mengalami pola makan kompulsif.
Selain itu, ada perdebatan tentang bagaimana industri makanan berperan dalam mendorong konsumsi berlebihan. Banyak produk makanan olahan dirancang dengan rasio gula, lemak, dan garam yang dapat memaksimalkan respons dopamin, membuat orang semakin menginginkannya.
Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa makanan olahan dirancang secara strategis untuk menciptakan "bliss point"—kombinasi rasa yang membuat makanan terasa sangat memuaskan sehingga sulit untuk berhenti mengonsumsinya.
Tantangan lainnya adalah bagaimana mengedukasi masyarakat tentang pola makan sehat tanpa menimbulkan stigma atau rasa bersalah. Jika pendekatan terhadap kecanduan makanan terlalu menyerupai cara menangani kecanduan zat seperti narkoba atau alkohol, ada risiko bahwa orang akan merasa terjebak dalam rasa malu atau menyalahkan diri sendiri, yang justru dapat memperburuk pola makan emosional.
DiFeliceantonio dan rekan-rekannya menekankan pentingnya penelitian lebih lanjut untuk memahami mekanisme biologis di balik kecanduan makanan.
Mereka berharap bahwa dengan memahami bagaimana berbagai kombinasi nutrisi mempengaruhi otak, kita bisa mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk membantu orang mengontrol pola makan mereka tanpa harus bergantung pada pendekatan ekstrem seperti larangan total atau diet ketat yang sulit dipertahankan.
Meski masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, satu hal yang jelas: makanan bukan sekadar soal rasa atau kalori. Cara makanan berinteraksi dengan otak kita memiliki dampak yang jauh lebih kompleks daripada yang kita duga sebelumnya.
"Jangan merasa bersalah jika sulit menolak makanan adiktif, karena memang tidak mudah. Makanan tersebut dirancang untuk memanfaatkan sistem biologis kita," katanya.
Cobalah untuk mengenali apa yang memicu keinginan tersebut—apakah itu emosi tertentu, suasana, atau waktu tertentu dalam sehari. "Dengan menyadarinya, Anda bisa lebih siap dan mencari cara lain untuk mengatasi keinginan tersebut tanpa harus bergantung pada makanan."
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR