Nationalgeographic.co.id—Sangat mudah untuk merasa muak dengan siklus berita 24 jam tentang politik, perang, krisis iklim, dan kekacauan ekonomi. Ternyata, detoks dari berita negatif dapat membantu kesehatan mental dan pencernaan Anda.
Ilmuwan mempelajari bagaimana otak dan tubuh menangani informasi yang mungkin dialami orang sebagai sesuatu yang menyedihkan. Peneliti menunjukkan kepada subjek uji serangkaian gambar atau kata-kata yang dirancang untuk membebani sistem saraf mereka. Persis seperti hal-hal yang kita semua temukan setiap hari dalam berita. “Sebenarnya, beberapa materi yang paling mengganggu berasal dari laporan berita,” tulis Dr. Lisa Feldman-Barrett di laman Focus Science.
Penelitian tersebut diterbitkan dalam jurnal bertajuk "Threat perception after the Boston Marathon bombings: The effects of personal relevance and conceptual framin".
Setelah beberapa saat, peneliti melihat perubahan dalam pola aktivitas otak yang penting untuk mengatur sistem tubuh. Beberapa perubahan terjadi di wilayah otak yang dijuluki sebagai rumah bagi sirkuit ‘fight or flight’. Tapi sebenarnya wilayah ini lebih penting secara umum untuk mengoordinasikan dan mengatur sistem saraf, sistem kekebalan tubuh, dan metabolisme seseorang.
Akibatnya, jantung subjek yang diuji berdebar-debar, telapak tangan yang berkeringat, dan kortisol yang mengalir deras. Otak mempersiapkan tubuh untuk bertindak. Subjek aman “bersembunyi” di kursi lab yang nyaman. Meski demikian, hanya sekadar membayangkan kejadian yang tidak menyenangkan dapat memicu badai perubahan elektrokimia.
Sebagai contoh, lab Feldman-Barrett mempelajari respons orang terhadap berita tentang pengeboman Boston Marathon 2013. Ketika berita tersebut mengandung lebih banyak kata-kata negatif, subjek uji melaporkan tekanan yang lebih besar. Setelah itu, mereka juga lebih reaktif secara fisik terhadap gambar-gambar pengeboman.
Bahkan berita yang tidak terduga atau ambigu pun dapat meningkatkan tekanan pada tekanan seseorang. Misalnya berita tentang pandemi atau bahaya pemerintah yang mengabaikan emisi karbon. Perasaan seperti itu muncul ketika otak bekerja sedikit lebih keras. Hal ini dibandingkan jika seseorang menemukan berita yang diharapkan atau yang memperkuat hal-hal yang diyakini. Pekerjaan ekstra ini menambah sedikit beban pada metabolisme saat itu, dan mungkin terasa tidak menyenangkan.
Sedikit ketidaknyamanan saat itu, mungkin, adalah harga yang kita bayar untuk menjadi warga negara yang terinformasi. Namun seiring waktu, beban kecil dapat terakumulasi, terutama dengan outlet berita yang melaporkan lebih banyak cerita negatif.
Berita negatif lebih mungkin dibagikan di media sosial menghasilkan siklus umpan balik yang tidak menyenangkan. Jika Anda tidak berhati-hati, Anda dapat menemukan diri Anda terombang-ambing di “lautan keburukan”. Hal itu dapat membuat Anda kelelahan, dengan perasaan takut akan malapetaka yang akan datang. “Meskipun sebenarnya kehidupan sehari-hari Anda tidak seburuk itu,” tambah Feldman-Barrett.
Bahkan jika seseorang berhasil menjaga agar berita tersebut tidak memengaruhi suasana hati, ada pertimbangan lain. Psengalaman Anda hari ini akan mempersiapkan otak Anda untuk apa yang akan Anda alami besok. Ketika Anda dibanjiri berita negatif, serangan itu dapat membentuk pandangan dunia Anda secara keseluruhan. Kemudian membuat Anda mengharapkan berita buruk dan bertindak sesuai dengan itu. Proses ini bertahap dan tidak kentara, bukan sesuatu yang Anda sadari, tetapi bertambah seiring waktu.
Jadi, apa yang harus Anda lakukan? Cobalah “mengonsumsi” berita dalam dosis kecil. Jalan-jalan dengan seorang teman. Tidurlah dengan nyenyak. Anda juga dapat memberikan sistem saraf waktu istirahat sejenak dengan mengonsumsi berita positif.
Baca Juga: Apa yang Terjadi jika Otak Kita 'Beristirahat' dari Media Sosial?
Source | : | Science Focus |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR