Nationalgeographic.co.id—Misteri asal usul dinosaurus selalu memikat imajinasi para ilmuwan dan pencinta sejarah alam. Bagaimana makhluk-makhluk raksasa ini pertama kali muncul dan menyebar ke seluruh Bumi lebih dari 200 juta tahun lalu telah lama menjadi bahan perdebatan. Dengan jejak fosil yang seringkali tidak lengkap, para ahli paleontologi terus berusaha mengungkap potongan-potongan masa lalu yang hilang.
Selama ini, pandangan yang dominan menyatakan bahwa dinosaurus pertama kali berevolusi di bagian selatan superbenua kuno Pangea, yang disebut Gondwana, sebelum akhirnya menyebar ke wilayah utara yang dikenal sebagai Laurasia.
Namun, temuan baru dari tim paleontolog University of Wisconsin–Madison kini mengguncang narasi tersebut. Kajian David M Lovelace dan timnya itu berjudul “Rethinking dinosaur origins: oldest known equatorial dinosaur-bearing assemblage (mid-late Carnian Popo Agie FM, Wyoming, USA)” yang terbit pada Januari 2025 di Zoological Journal of the Linnean Society. Mereka mendeskripsikan fosil dinosaurus yang menunjukkan bahwa hewan purba ini ternyata sudah hadir di belahan bumi utara jutaan tahun lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.
Tim UW–Madison telah menganalisis sisa-sisa fosil ini sejak penemuannya pada 2013 di Wyoming, wilayah yang saat itu berada dekat khatulistiwa di Laurasia. Makhluk ini, yang diberi nama Ahvaytum bahndooiveche, kini tercatat sebagai dinosaurus Laurasia tertua yang diketahui, dengan fosil berusia sekitar 230 juta tahun—sebanding dengan usia dinosaurus tertua dari Gondwana.
“Kami memiliki fosil dinosaurus ekuatorial tertua di dunia—yang juga merupakan dinosaurus tertua di Amerika Utara,” kata Dave Lovelace, peneliti di University of Wisconsin Geology Museum, seperti dikutip dari laman Phys.org. Ia memimpin penelitian ini bersama mahasiswa pascasarjana Aaron Kufner.
Fosil tersebut ditemukan di lapisan batuan yang dikenal sebagai Formasi Popo Agie. Butuh bertahun-tahun kerja teliti bagi Lovelace dan koleganya untuk menganalisis fosil, mengidentifikasi spesies dinosaurus baru, dan memperkirakan usianya.
Meski tim ini tidak menemukan spesimen lengkap—yang memang sangat langka untuk dinosaurus awal—mereka menemukan cukup banyak bagian, terutama bagian kaki, untuk memastikan bahwa Ahvaytum bahndooiveche adalah dinosaurus, dan kemungkinan merupakan kerabat awal dari kelompok sauropoda.
Sauropoda adalah kelompok dinosaurus herbivora yang mencakup spesies-spesies raksasa terkenal, seperti yang tergolong dalam kelompok titanosaurus. Namun, Ahvaytum bahndooiveche yang masih berkerabat jauh ini hidup jutaan tahun lebih awal dan berukuran jauh lebih kecil.
Lovelace menjelaskan bahwa dinosaurus tersebut berukuran kira-kira sebesar ayam, namun memiliki ekor yang sangat panjang. Ia juga menyampaikan bahwa meskipun banyak orang membayangkan dinosaurus sebagai makhluk berukuran raksasa, kenyataannya pada masa awal kemunculannya, ukuran mereka tidak sebesar itu.
Spesimen Ahvaytum bahndooiveche yang ditemukan merupakan individu dewasa. Meskipun mungkin masih dapat tumbuh sedikit lebih besar, dinosaurus ini hanya memiliki tinggi sedikit lebih dari satu kaki (sekitar 30 cm) dan panjang sekitar tiga kaki (sekitar 1 meter) dari kepala hingga ekor.
Walaupun tengkoraknya belum ditemukan—yang bisa membantu mengungkap pola makannya—dinosaurus-dinosaurus awal dari garis keturunan sauropoda diketahui pemakan daging dan kemungkinan bersifat omnivora.
Para peneliti menemukan tulang-tulang Ahvaytum di lapisan batuan yang hanya sedikit berada di atas fosil amfibi baru yang juga mereka deskripsikan. Bukti ini menunjukkan bahwa Ahvaytum bahndooiveche hidup di Laurasia selama atau tak lama setelah masa perubahan iklim besar yang dikenal sebagai peristiwa hujan Carnian, yang sebelumnya telah dikaitkan dengan periode awal diversifikasi spesies dinosaurus.
Baca Juga: Jika Ayam Adalah Keturunan DInosaurus, Mengapa Tidak Berdarah Dingin?
Pada masa itu, sekitar 234 hingga 232 juta tahun lalu, iklim menjadi jauh lebih basah dibanding sebelumnya, mengubah padang pasir panas yang luas menjadi habitat yang lebih ramah bagi dinosaurus awal.
Lovelace dan timnya melakukan penanggalan radioisotop presisi tinggi terhadap batuan di formasi yang mengandung fosil Ahvaytum, dan hasilnya menunjukkan bahwa dinosaurus ini sudah hadir di belahan bumi utara sekitar 230 juta tahun lalu.
Para peneliti juga menemukan jejak kaki yang menyerupai jejak dinosaurus pada lapisan batuan yang sedikit lebih tua. Temuan ini membuktikan bahwa dinosaurus atau kerabat dekat mereka telah hadir di wilayah tersebut beberapa juta tahun sebelum keberadaan Ahvaytum.
Lovelace menyatakan bahwa penelitian ini membantu mengisi bagian yang hilang dalam cerita evolusi dinosaurus, sekaligus menunjukkan bahwa gagasan lama—yang selama ini dibangun dari bukti fosil yang terbatas—ternyata tidak sepenuhnya akurat. Ia menambahkan bahwa kini sudah ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa dinosaurus telah menghuni belahan bumi utara jauh lebih awal dari perkiraan sebelumnya.
Selain menjadi dinosaurus tertua yang ditemukan di Amerika Utara, Ahvaytum bahndooiveche juga tercatat sebagai dinosaurus pertama yang diberi nama menggunakan bahasa Suku Shoshone Timur, suku asli yang wilayah leluhurnya meliputi lokasi penemuan fosil tersebut.
Penamaan ini melibatkan para tetua suku dan siswa sekolah menengah dalam prosesnya. Nama Ahvaytum bahndooiveche secara umum berarti "dinosaurus dari masa lalu" dalam bahasa Shoshone.
Beberapa anggota suku juga bekerja sama dengan Lovelace dan tim UW–Madison dalam upaya memperbarui praktik kerja lapangan mereka, dengan lebih menghormati lahan melalui penerapan pengetahuan dan perspektif masyarakat adat.
Amanda LeClair-Diaz, salah satu penulis makalah dan anggota Suku Shoshone Timur serta Arapaho Utara, mengatakan, "Hubungan berkelanjutan yang terjalin antara Dr. Lovelace, timnya, distrik sekolah kami, dan komunitas kami adalah salah satu hasil terpenting dari penemuan dan penamaan Ahvaytum bahndooiveche."
LeClair-Diaz, yang juga koordinator pendidikan masyarakat adat di Sekolah Fort Washakie, mengoordinasikan proses penamaan tersebut bersama para siswa dan tetua suku—sebuah proses yang dimulai oleh pendahulunya, Lynette St. Clair.
"Biasanya, proses penelitian di komunitas, terutama di komunitas adat, bersifat sepihak, di mana peneliti sepenuhnya mendapat manfaat dari studi tersebut," kata LeClair-Diaz. "Namun, kerja sama kami dengan Dr. Lovelace memutus siklus ini dan menciptakan kesempatan untuk terjadinya timbal balik dalam proses penelitian."
Temuan Ahvaytum bahndooiveche bukan hanya memperkaya pemahaman ilmiah tentang asal usul dinosaurus, tetapi juga menunjukkan bagaimana kolaborasi dengan komunitas adat dapat memperdalam makna dari sebuah penemuan. Dengan membuka jalan bagi pendekatan penelitian yang lebih inklusif dan menghormati kearifan lokal, studi ini menjadi contoh penting bahwa masa depan paleontologi bisa dibangun melalui kemitraan yang setara dan berkelanjutan.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Phys.org,Zoological Journal of the Linnean Society |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR