Nationalgeographic.co.id—Pendiri Microsoft memilih Indonesia menjadi lokasi uji coba vaksin tuberculosis (TBC) yang dikembangkan oleh Bill and Melinda Gates Foundation. Demikian Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan usai bertemu dengan Bill Gates di Istana Negara, Jakarta awal Mei silam.
"Terutama beliau sedang kembangkan vaksin TBC, untuk dunia, Indonesia akan jadi salah satu tempat yang akan diuji coba," ujar Prabowo, dikutip dari Kompas.com.
Prabowo mengatakan, penyakit TBC memakan korban besar di Indonesia. Menurut dia, orang yang meninggal di Indonesia akibat TBC mencapai hampir 100.000 setiap tahunnya. "Dan itu tekad kita untuk menurunkan (angka kematian akibat TBC) dan beliau menunjukkan komitmen beliau untuk terus membantu kita di bidang itu," kata dia. "Juga untuk beliau sudah kembangkan vaksin malaria, basically I inform all your commitment to help us control these very dangerous diseases."
Uji coba vaksin ini dilakukan di lima negara, yaitu Afrika Selatan Kenya, Malawi, Zambia, dan Indonesia. Sejak 2024, Indonesia menjadi satu-satunya negara Asia yang menjadi lokasi uji coba vaksin TBC bernama M72/AS01E.
Lantas apa dampaknya baginya Indonesia?
Menurut publikasi ilmiah dari Sonali Kochhar—seorang peneliti klinis dan pengembangan obat di PATH di New Delhi, India—uji coba vaksin di suatu negara dapat memberikan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Hasil penelitian tersebut disampaikan dalam Kongres Vaksin Dunia di Lyon, Prancis, pada 2012 dan diterbitkan di jurnal National Library of Medicine.
Bagi pusat penelitian klinis yang terlibat, uji coba vaksin memberikan peluang transfer teknologi dan pengalaman dari lembaga yang melakukan pengujian.
“Manfaatnya adalah staf memperoleh pengalaman dalam melakukan penelitian berstandar global dan mendapatkan pelatihan dalam prosedur manajemen data klinis, laboratorium, penggunaan peralatan baru, dan penilaian keamanan vaksin,” demikian tulis Kochar dalam publikasinya.
Selain itu, ada pengembangan prosedur operasional standar (SOP) di pusat kesehatan yang meningkatkan manajemen penyakit bagi masyarakat sekitar. Peningkatan infrastruktur dan peralatan yang memenuhi standar internasional juga menjadi dampak positif lainnya.
Tim peneliti pun memperoleh eksposur nasional dan internasional, serta peluang pendanaan penelitian di masa depan. Namun, penting untuk memastikan bahwa keterbatasan tenaga dan fasilitas kesehatan di negara berkembang tidak dimanfaatkan secara berlebihan sehingga mengganggu pelayanan kesehatan masyarakat.
Bagi relawan, uji coba vaksin memberikan manfaat berupa perlindungan lebih awal—jika vaksin terbukti manjur—bahkan sebelum vaksin itu tersedia secara nasional. Perlindungan ini bisa datang bertahun-tahun lebih cepat dari jadwal peluncuran nasional.
Baca Juga: Sejarah Polio: Wabah Mematikan, Vaksinasi, dan Ancaman di Masa Depan
Efek kekebalan kelompok (herd immunity) juga dapat terlihat di masyarakat, terutama jika uji coba dilakukan dalam skala besar di suatu komunitas tertentu. Dampak positif bagi negara lokasi uji coba mencakup tersedianya lapangan kerja dan pengembangan profesional bagi berbagai kalangan, mulai dari dokter, perawat, staf laboratorium, operator data, hingga sopir.
Penelitian tersebut juga membantu membangun kapasitas riset medis, terutama di daerah-daerah yang sebelumnya belum berkembang secara ilmiah, termasuk wilayah pedesaan. Selain itu, keberadaan uji coba vaksin dapat mendorong peningkatan standar badan regulasi dan komite etik nasional, agar setara dengan standar global.
Namun demikian, uji coba vaksin juga dapat menghadapi tantangan dan berpotensi berdampak negatif jika tidak diiringi dengan regulasi dan etika yang kuat.
Proses persetujuan regulasi dan etik bisa memakan waktu lama, atau bahkan tidak jelas, akibat birokrasi, kekurangan tenaga ahli yang mampu menilai aspek Kimia, Manufaktur, dan Kontrol (CMC), serta bagian praklinis lainnya. Hal ini bisa mengarah pada keterlambatan karena perlu rujukan ke komite eksternal.
Otoritas regulasi di negara berkembang juga mungkin memiliki pengalaman terbatas dengan vaksin baru, dan kerap enggan mengambil tanggung jawab atas uji coba yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Aspek regulasi ini sangat penting untuk menjamin keselamatan relawan uji klinis.
Masalah lainnya, relawan atau masyarakat umum mungkin tidak sepenuhnya memahami proses uji klinis. Oleh karena itu, penting memahami pandangan lokal tentang pengambilan darah, sampel, atau biopsi, dan memastikan pendekatan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
Akhirnya, perlu adanya perlindungan hukum terhadap hak dan kesejahteraan relawan, khususnya jika negara belum memiliki kebijakan atau kerangka hukum yang memadai untuk uji klinis.
Mengenal Vaksin TBC M72/AS01E
Dikutip dari situs WHO, kandidat vaksin TBC M72/AS01E terdiri atas protein fusi imunogenik (M72) yang berasal dari dua antigen Mycobacterium tuberculosis (M.tb) (MTB32A dan MTB39A), dan adjuvan milik perusahaan biofarmasi GlaxoSmithKline (GSK) AS01E. Adjuvan adalah bahan yang digunakan dalam beberapa vaksin yang dapat membantu menciptakan respons imun yang lebih kuat.
Adapun AS01E adalah adjuvan yang sama yang digunakan dalam vaksin Shingrix GSK, serta dalam vaksin malaria baru RTS,S/AS01E. Vaksin M72/AS01E bekerja dengan cara memicu respons imun yang ditandai dengan aktivasi sel T CD4+ yang memproduksi interferon-gamma, dan produksi antibodi.
Studi fase 2b telah dilakukan di Afrika Selatan, Kenya, dan Zambia untuk mengevaluasi keamanan, imunogenisitas, dan efikasi perlindungan vaksin.
Uji coba ini melibatkan 3573 orang dewasa HIV negatif berusia 18-50 tahun yang memiliki bukti infeksi Mycobacterium tuberculosis (M.tb) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dua dosis M72/AS01E berhasil mengurangi perkembangan penyakit TB aktif dengan efikasi 50 persen pada orang dewasa yang negatif HIV dengan infeksi M.tb laten.
WHO memperkirakan, dalam jangka waktu 25 tahun, tingkat perlindungan tersebut dapat menyelamatkan 8,5 juta jiwa, mencegah 76 juta kasus TB baru, dan menghemat 41,5 miliar dolar AS untuk rumah tangga yang terkena TB. Studi efikasi fase 3 akan mengevaluasi lebih lanjut dan berpotensi memvalidasi korelasi imunitas untuk kandidat vaksin ini.
Dikutip dari situs Bill & Melinda Gates Medical Research Institute (Gates MRI), kandidat vaksin TBC M72/AS01E telah dikembangkan sejak awal tahun 2000-an. Vaksin ini awalnya dirancang dan dievaluasi secara klinis oleh perusahaan biofarmasi GSK hingga tahap pembuktian konsep (Fase 2b).
GSK bermitra dengan Aeras dan International AIDS Vaccine Initiative (IAVI). Dalam pengembangan awal ini menggunakan dana dari GSK dan sebagian dari Gates Foundation. Pada 2020, GSK mengumumkan kemitraan dengan Gates MRI untuk pengembangan lebih lanjut vaksin TBC M72/AS01E.
GSK terus memberikan bantuan teknis kepada Gates MRI, memasok komponen adjuvan vaksin untuk uji coba Fase-3 dan akan menyediakan adjuvan pasca-lisensi jika uji coba berhasil. Adapun uji coba ini telah dilaksanakan di Afrika Selatan. Indonesia, Vietnam, Zambia, Malawi, Mozambik, dan Kenya, juga menjadi lokasi uji cobanya.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | NCBI,Kompas.com |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR