Nationalgeographic.co.id—Pemisahan antara India dan Pakistan terjadi pada 1947. Namun, penderitaan masih terus dialami, terutama oleh tujuh desa yang berada di dekat perbatasan.
Tujuh desa tersebut berjuang melawan sungai yang deras, pagar perbatasan internasional, dan sedikitnya akses ke kebutuhan dasar. “Kami adalah orang-orang yang terlupakan,” kata seorang penduduk.
Di sepanjang perbatasan internasional India-Pakistan, tujuh desa di Sungai Ravi bergantung pada jalur kehidupan yang tersebar untuk bertahan hidup. “Ada jembatan terapung harus dibongkar selama empat bulan setiap tahun selama musim hujan, satu perahu di musim hujan, beberapa tukang perahu yang berempati,” tulis Nilanjana Bhowmick di laman National Geographic.
Sekitar 3.500 orang tinggal di gugusan tujuh desa yang dikenal sebagai Makaura Pattan. Desa-desa itu meliputi Tur, Lasian, Rajpur Cheba, Bharial, Kajli, Mammi Chak Ranga, dan Kukar. Di satu sisi, tanah tersebut dipagari oleh Sungai Ravi, sungai deras yang memisahkannya dari daratan India. Di sisi lain, ada kawat berduri panjang yang dijaga ketat dan pagar baja memisahkannya dari Pakistan.
India memperoleh kebebasannya dari penjajahan dan Pakistan dihapus dari petanya 78 tahun yang lalu. Seiring dengan berjalannya waktu, India pun tumbuh menjadi salah satu ekonomi utama dunia. Namun waktu seakan berhenti di desa-desa tersebut. Jalan masih belum beraspal, tidak ada sekolah menengah atas, dan sekolah dasar hampir tidak berfungsi. Bahkan tidak ada rumah sakit di salah satu tujuh desa itu.
Untuk sampai di desa-desa dari tepi pantai, seseorang harus hati-hati melewati hampir 1,6 km dasar sungai yang berpasir dan licin. Dasar sungai itu berubah menjadi lembek saat hujan. Namun dasar sungai itu menjadi jalan yang tidak beraspal dan tidak rata menuju berbagai desa.
Tantangan hidup sehari-hari pun semakin meningkat dengan meningkatnya frekuensi kejadian cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, terutama banjir.
“Pagar memisahkan India dan Pakistan—dan sungai memisahkan kami dari India,” kata Jodh Singh, seorang petani berusia 70 tahun dari desa Mammi Chak Ranga. “Kami adalah orang-orang yang terlupakan, tidak ada yang berubah bagi kami dalam 78 tahun terakhir.”
Sungai lintas batas
Sungai Ravi, yang panjangnya sekitar 800 km, adalah salah satu dari lima sungai di sistem Indus. Di India, Sungai Indus sebagian besar mengalir melalui wilayah Punjab dan membentuk batas internasional alami dengan Pakistan.
Di daratan, masyarakat perbatasan dihubungkan oleh jembatan terapung yang sering rusak. Hal ini khususnya menyusahkan selama pengangkutan hasil panen pertanian dengan traktor. Pengangkutan merupakan satu kegiatan terpenting di wilayah yang sangat bergantung pada pertanian gandum dan beras, makanan pokok India. Warga desa juga menanam beberapa sayuran, jagung, dan tebu.
Baca Juga: Penyebab Konflik India Pakistan: Mengapa Kashmir Terus Memicu Sengketa Kedua Negara?
Setiap tahun, selama musim hujan, jembatan harus dibongkar dan diganti dengan layanan perahu. Namun pada puncak musim hujan, sungai meluap dan mengalir dengan deras. Pada saat itu, layanan perahu juga berhenti. Desa-desa berubah menjadi pulau terpencil, seperti yang terjadi setiap malam ketika transportasi perahu ditutup.
Ketakutan terjebak dalam baku tembak antara kedua negara selalu ada. India dan Pakistan telah berperang dalam dua perang besar sejak 1947. Ada beberapa pertempuran kecil dan konflik terbatas di Kargil pada 1999. Jika perang lain pecah, penduduk khawatir mereka tidak akan punya tempat untuk lari.
“Kami bisa saja terhapus dari muka bumi dalam semalam dan tak seorang pun akan tahu sebelum terlambat,” kata Jodh.
Hidup dalam ketidakpastian
Ketika batas wilayah internasional ditetapkan, sebagian wilayah berada di luar batas pagar India. Tidak ada pagar di sisi Pakistan.
Jodh memiliki 16 hektar tanah di dalam pagar dan dua hektar lainnya berada di luar pagar. Setiap pagi, penjaga perbatasan membuka gerbang pagar pada pukul 9 pagi. Para petani memiliki kartu identitas. Kartu itu harus mereka tunjukkan sebelum diizinkan bekerja di ladang mereka di sisi lain. Penjaga perbatasan mendampingi mereka sepanjang hari kerja.
Selama bertahun-tahun, banyak yang memilih untuk meninggalkan wilayah tersebut, terutama generasi muda. Sebagian besar desa saat ini dihuni oleh penduduk yang lebih tua.
“Kami telah mengirim anak-anak kami pergi. Mereka tidak punya kehidupan di sini, tidak punya masa depan, tetapi kami tetap tinggal,” kata paman Jodh, Channan Singh. “Tanah adalah satu-satunya yang kami miliki; itu mata pencaharian kami. Bagaimana kami bisa meninggalkannya?”
Pada suatu pagi yang cerah di musim ini, putra Jodh, Manjit, 40 tahun, menaiki perahu ke Mammi Chak Ranga. Ia membawa muatan pupuk dan peralatan pertanian yang berat. Istrinya, Rajinder Kaur, 35 tahun, membawa tas besar berisi makanan karena hari sudah malam sebelum mereka kembali ke rumah.
“Jika kami tinggal, akan sulit, jika kami pindah, akan lebih sulit lagi,” katanya. “Namun akhirnya kami sepakat untuk pindah demi masa depan anak-anak kami.”
Manjit Singh dan semua tetangganya yang masih muda meninggalkan daerah itu pada akhir tahun 1980-an. Mereka pindah setelah musim banjir yang sangat buruk ketika mereka kehilangan rumah dan tanah yang luas. Mereka menetap di sebuah desa sekitar 16 km jauhnya.
Baca Juga: Sejarah Konflik India-Pakistan: Dimulai dari Kegamangan Maharaja Kashmir
Setiap pagi mereka meninggalkan rumah pada pukul 5.30 pagi dengan sepeda motor ke tempat pemberhentian perahu di Makaura Pattan. Kemudian mengangkat sepeda motor ke atas perahu untuk sampai ke seberang. Terkadang, ketika sungai mengalir deras, menunggu perahu bisa memakan waktu berjam-jam.
Dalam perjalanan pulang, perahu dipenuhi dengan sedikitnya lima sepeda motor, kaleng susu, dan siswa dari berbagai usia. Beberapa penumpang pergi ke pasar atau mengunjungi keluarga. Seorang wanita sedang dalam perjalanan untuk menghadiri pemakaman. “Mereka telah menungguku sejak tadi malam,” kata Jasvinder Kaur.
Empat sepupu yang berusia antara 9 hingga 17 tahun duduk bersama di lambung kapal sambil berbicara dengan nada pelan. Mereka berpakaian rapi dengan seragam sekolah masing-masing, rambut mereka diikat rapi dengan kepang. Mereka semua mengenakan sandal plastik, sangat kontras dengan seragam yang rapi.
Begitu kapal mencapai daratan, gadis-gadis itu berjalan ke tempat parkir terdekat untuk membuka skuter. Skuter tersebut akan membawa mereka ke sekolah mereka. Di sana, mereka mengganti sandal dengan kaus kaki dan sepatu, yang telah disimpan dalam tas agar tidak basah saat mereka bergegas naik ke kapal. Kemudian mereka berangkat, kepangan mereka berkibar tertiup angin.
“Kami sering ‘kehilangan’ hari sekolah, terutama selama musim hujan,” kata Sanamdeep, 14 tahun. Ia telah tinggal di Kajle sejak lahir. Pada minggu kedua bulan Juli, misalnya, gadis-gadis itu hanya bisa bersekolah selama 2 hari dari 7 hari.
Hari-hari penuh perjuangan
Hidup di sini sangat sulit bagi kaum wanita. Sanamdeep dan saudarinya naik feri pertama pukul 06.30 pagi. Mereka kembali ke rumah dengan feri terakhir pukul 19.00. Setelah sekolah, mereka mengikuti kelas tambahan. Sanamdeep sedang bersiap untuk masuk ke sekolah asrama.
“Semua perjalanan ini setiap hari—saya khawatir tentang keselamatan mereka,” kata Baljeet Kaur, ibu mereka. “Kami harus mengirim mereka pergi demi kebaikan mereka sendiri.”
Salah satu masalah paling serius yang dihadapi perempuan di daerah ini adalah kurangnya fasilitas perawatan kesehatan. Hal ini membuat kehamilan dan persalinan menjadi berisiko.
Saudara perempuan Sanamdeep lahir di Kajle pada dini hari. “Saya akan pergi ke rumah orang tua saya untuk melahirkan seperti yang dilakukan perempuan di sini. Namun rasa sakit persalinan saya mulai pada pukul 02.30 pagi. Kami tidak punya pilihan selain memanggil bidan setempat,” kata Baljeet.
Baljeet beruntung karena proses melahirkannya tanpa komplikasi, tetapi beberapa perempuan meninggal saat melahirkan di masa lalu. Hal ini terjadi karena mereka tidak dapat mencapai daratan tepat waktu.
Baca Juga: Konflik India Pakistan: Mana yang Lebih Unggul, Militer India atau Pakistan?
“Sekarang, perempuan tidak mau mengambil risiko,” kata Baljeet. “Mereka pergi ke daratan saat hendak melahirkan.”
Jembatan permanen dapat mengubah hidup mereka secara drastis. Misalnya, keluarga Manjit menanam tebu. Ia mengatakan setelah panen, mereka membutuhkan waktu seharian penuh untuk mengangkut hasil panen ke seberang. Karena mereka harus melewati beberapa jembatan terapung yang ada saat ini untuk memastikan muatannya tidak terlalu berat. Pekerjaan itu hanya akan memakan waktu 30 menit dengan jembatan permanen.
Namun, permohonan yang berulang-ulang untuk pembangunan jembatan tidak digubris oleh pemerintahan.
Penduduk desa terpaksa memboikot pemilihan umum negara bagian. Tujuannya agar perjuangan mereka mendapat perhatian yang sangat dibutuhkan. Perwakilan pemerintah berjanji akan membangun jembatan.
Perubahan iklim dan banjir
Gurdaspur adalah distrik rawan banjir yang dikelilingi oleh Sungai Ravi dan Beas serta banyak anak sungai kecil. Seperti wilayah lain di India, wilayah ini juga merasakan dampak perubahan iklim dalam bentuk cuaca yang tidak menent. Curah hujan yang sedikit pun bisa menyebabkan peningkatan banjir.
Pada tahun 2001, Bendungan Ranjit Sagar dibandun di perbatasan Punjab dan Jammu. Bendungan itu berhasil mengurangi kemungkinan terjadinya banjir bandang di Sungai Ravi sampai batas tertentu. Namun, tidak demikian halnya di sekitar Makaura Pattan, tempat beberapa badan air berpotongan dan alirannya paling deras.
Penduduk mengatakan banjir telah menghanyutkan sekitar 150 hektar lahan selama bertahun-tahun. Desa Mammi Chak Ranga dulunya membentang seluas seratus hektar. Sekarang hanya tersisa sekitar 20 hektar, kata Jodh. Keluarganya kehilangan rumah asli mereka selama banjir tahun 1988—salah satu musim banjir terburuk di Punjab.
Terdampar di pulau terpencil tanpa fasilitas medis apa pun adalah kenyataan yang menyedihkan. Istri Jodh meninggal karena serangan jantung di tengah malam. Namun, ia menelepon anak-anaknya hanya 1 jam sebelum layanan perahu dijadwalkan dimulai. “Mereka tidak akan bisa datang sebelum layanan perahu dimulai,” kata Jodh. “Jadi, saya menunggu.”
Kepedihan akibat perpisahan yang dipaksakan mengalir dalam kehidupan mereka lintas generasi—sejalan dengan pasang surut sungai. Simarjit Singh, 17 tahun, tinggal di daratan utama bersama orang tuanya. Setiap hari ia menyeberangi sungai setelah sekolah untuk membantu kakek-neneknya mengerjakan tugas sehari-hari. Ketika ia bersiap untuk pulang ke rumah pada malam hari, neneknya selalu mengantarnya ke pintu. Tidak ada jaminan dia akan kembali keesokan harinya. Jembatan apung bisa rusak lagi atau perahu tidak bisa berlayar jika sungai meluap terlalu tinggi.
Pengembaraan seorang tukang perahu
Suatu pagi ketika sungai sangat deras, perahu itu terjebak di tengah arus. Setelah berusaha keras, tukang perahu, Narinder Singh, berhasil membawanya ke tepian. Namun, perahu itu tidak akan berlayar lagi hari itu. Simarjit terjebak di sisi lain, tidak dapat memeriksa kakek-neneknya. “Hari-hari ini adalah yang terburuk,” katanya. “Ketika kami berdiri di sisi sungai ini dan hanya bisa berharap mereka selamat.”
Narinder yang berusia 40 tahun, yang lahir di desa Tur, meneruskan tradisi keluarga. Ayahnya adalah salah satu tukang perahu pertama yang ditunjuk pemerintah di wilayah tersebut. Narinder, yang sekarang tinggal di daratan utama, adalah pekerja swasta yang berpenghasilan Rs10.000 per bulan (Rp1.950.000). Jumlah itu sedikit, mengingat risiko yang diambilnya setiap hari untuk mengangkut orang menyeberang. Namun, mengatasi rintangan menciptakan ikatan dan, tanpa bantuan dari pemerintah, bertahan hidup di sini merupakan upaya masyarakat.
Perahu yang lepas landas lebih awal pada pagi yang penuh gejolak itu adalah struktur baja yang kokoh. Perahu itu membutuhkan upaya masyarakat untuk mendorongnya ke lepas pantai. Saat tukang perahu mengambil lambung kapal, ia berteriak kepada para penumpang untuk mengambil dayung di ujung lainnya. Upaya gabungan ini mendorong perahu maju. Terkadang, saat perahu terjebak di air dangkal, penduduk desa yang melompat masuk dan mendorong perahu ke arah desa-desa di sisi lain.
Narinder juga sangat menginginkan jembatan permanen, meskipun faktanya itu akan berarti kehilangan mata pencahariannya sendiri. “Berisiko untuk mengeluarkan perahu saat sungai sedang pasang,” katanya. Terkadang ia terpaksa melakukannya meskipun ia tidak memiliki pertimbangan yang matang, terutama saat terjadi keadaan darurat.
Narinder dan perahunya adalah satu-satunya penghubung ke pantai saat jembatan apung dibongkar. “Jika kita tidak membantu, siapa lagi yang akan membantu?”
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR