Nationalgeographic.co.id—Pada pertengahan 1954, Vietnam terpecah menjadi dua, yakni Vietnam Utara (dikuasai Ho Chi Minh dengan ibu kota di Hanoi), dan Vietnam Selatan (dikuasai Ngo Dinh Diem dengan ibu kota di Saigon).
Ho Chi Minh ingin menjadikan Vietnam negara komunis, sedangkan Ngo Dinh Diem ingin membangun negara ala Barat. Hal inilah yang memicu terjadinya Perang Vietnam.
Ketika Perang Vietnam meletus pada 1955, dunia tengah dilanda Perang Dingin, dengan Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Blok Barat dengan ideologi liberalisme berebut pengaruh dengan Blok Timur yang berideologi komunis.
Ketika pemerintah Vietnam Utara mengumumkan konstitusi yang berkarakter komunis, AS seketika menjadi khawatir akan adanya efek domino di Asia Tenggara. Itulah mengapa Amerika Serikat terlibat dalam Perang Vietnam sejak awal.
Untuk menghalau penyebaran komunisme, negara-negara liberal Blok Barat memberikan dukungannya kepada Vietnam Selatan. Mengetahui hal itu, negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan China mendukung pemerintah Vietnam Utara. Keterlibatan banyak negara membuat Perang Vietnam berlarut-larut dan tidak terkendali.
Setelah kekalahan Amerika di Perang Vietnam, situasi mulai berbalik, di mana Vietnam Utara mulai mengungguli Vietnam Selatan.
Perang Vietnam berakhir pada 30 April 1975 setelah pasukan Vietnam Utara merebut Saigon dan membuat Vietnam Selatan menyerah. Selama dua dekade pertempuran, perang tersebut diperkirakan menewaskan lebih dari tiga juta orang, termasuk lebih dari 58.000 orang Amerika dan lebih dari dua juta korbannya adalah warga sipil Vietnam.
Kini, 50 tahun setelah Perang Vietnam tak lantas membuat hidup masyarakat Vietnam tenang. Masyarakat masih dihantui oleh keberadaan UXO yang mengancam jiwa, yang dapat mereka temukan kapan pun dan di mana pun di banyak wilayah di Vietnam.
Vietnam ladang UXO
UXO (Unexploded Ordnance) berarti persenjataan yang belum meledak. Ini merujuk pada amunisi militer atau bahan peledak yang tidak meledak saat digunakan dan masih berpotensi untuk meledak jika terganggu. UXO bisa berupa bom, roket, granat, proyektil artileri, mortir, dan sisa-sisa bahan peledak lainnya.
Vietnam merupakan salah satu negara dengan tingkat kontaminasi UXO tertinggi di dunia. Menurut laporan Viet Nam News, sekitar 5,6 juta hektar, setara dengan 17,71 persen dari total luas wilayah Vietnam, masih terkontaminasi UXO hingga akhir tahun 2023.
Baca Juga: Jadi Penyebab Perang India-Pakistan, Ini 5 Alasan Kashmir Begitu Vital
Diperkirakan sekitar 800.000 ton bahan peledak ditinggalkan di seluruh Vietnam setelah perang, yang sebagian besar terkonsentrasi di wilayah tengah dan tenggara serta Dataran Tinggi Tengah.
Diperlukan banyak waktu dan sumber daya untuk pembuangan UXO guna melindungi kehidupan manusia dan kualitas lingkungan.
Korban UXO
UXO ditemukan di banyak tempat di Vietnam. Masyarakat setempat menemukannya saat mereka menggali fondasi hotel baru, di tengah taman, bahkan di kebun keluarga.
Contohnya saja Ho Van Lai dan sepupunya menemukan beberapa benda aneh berkarat di bukit pasir. Ukurannya tidak lebih besar dari bola tenis.
Saat itu, dia baru berusia 10 tahun. Ia sedang bermain dan menemukan benda aneh itu. Karena tidak memahami risikonya, ia mengambil batu dan memukul amunisi tersebut. Amunisi tersebut pun meledak.
Ledakan itu menewaskan kedua sepupunya. Sementara Lai kehilangan tangan kanan, sebagian tangan kirinya, kedua kaki, dan salah satu matanya.
Lai tinggal di dekat bekas pangkalan militer AS di Vietnam tengah, tidak jauh dari "zona demiliterisasi" yang pernah memisahkan wilayah Utara yang komunis dan wilayah Selatan yang kapitalis.
Bahan peledak itu merupakan sisa-sisa pertikaian selama dua dekade antara kedua kekuatan ini dan sekutu ideologis mereka, termasuk China dan Uni Soviet di utara serta Amerika Serikat dan Australia di selatan.
Perang itu melibatkan salah satu kampanye pengeboman udara terbesar dalam sejarah, di mana AS menjatuhkan bahan peledak dua kali lipat jumlah tonasenya di Vietnam daripada yang dijatuhkan oleh seluruh sekutu selama Perang Dunia II.
Dan meskipun bom-bom ini menewaskan banyak sekali tentara dan warga sipil, beberapa di antaranya tidak pernah meledak. Mereka ditelan oleh hutan, terkubur di bawah tanah atau ditutupi oleh rekonstruksi.
Baca Juga: Perang India Pakistan: Prediksi, Skenario, dan Dampak Perang Nuklir yang Mungkin Terjadi
Lai dan sepupunya hanyalah sedikit dari banyak korban UXO. Sejak 1975, bahan peledak ini telah menyebabkan sekitar 100.000 korban jiwa, termasuk 40.000 kematian, menurut Vietnam National Mine Action Center.
Dikutip ABC News, Lai mengatakan, "Perang telah berakhir bertahun-tahun lalu, tetapi bom dan ranjau yang tersisa dari perang itu masih menjadi ancaman yang tak kunjung hilang."
Pembersihan UXO
Meskipun pemerintah Vietnam telah berinvestasi selama puluhan tahun dengan bantuan AS dan Australia, organisasi nirlaba dan masyarakat, membersihkan negara itu dari persenjataan yang belum meledak terbukti hampir mustahil. Hal itu sebagian disebabkan oleh besarnya skala tugas.
Pihak berwenang Vietnam memperkirakan 18 persen wilayah negara itu terkontaminasi, angka yang hanya menurun 1 persen dalam dekade terakhir.
Program pendidikan risiko, khususnya yang menyasar anak-anak, petani, dan mereka yang menjual besi tua, telah membantu mengurangi jumlah kematian dan cedera.
Pembersihan bahan peledak sering kali memerlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah, lembaga nirlaba, dan masyarakat lokal. Pembersihan utamanya dilakukan di area prioritas seperti tempat orang beraktivitas dan tempat orang tinggal.
Ketika bahan peledak ditemukan, sebagian dikirim ke depot regional untuk dibuang. Yang lainnya sangat mudah meledak sehingga diledakkan di lokasi.
Orang-orang yang berdedikasi pada tujuan pembersihan bom tahu bahwa mungkin mustahil untuk menemukan setiap bahan peledak yang bersembunyi di atas atau di bawah permukaan.
Namun teknik baru, termasuk citra satelit, pelaporan ponsel, dan kampanye pendidikan media sosial membantu mengurangi ancaman tersebut.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR