Nationalgeographic.co.id—Apakah semua dinosaurus punah, terbunuh ketika sebuah asteroid menghantam Bumi 66 juta tahun yang lalu? Atau mungkin beberapa dari mereka, entah bagaimana, selamat dari peristiwa kepunahan massal itu? Mungkinkah ada keturunan dinosaurus yang masih hidup hingga saat ini?
Sungguh mengasyikkan membayangkan bahwa dinosaurus raksasa masih bergemuruh dan berkeliaran di beberapa bagian dunia yang terpencil. “Namun, tidak ada bukti tentang hal ini,” tulis Hans Sues di laman The Conversation. Tidak ada sepupu Tyrannosaurus rex yang menginjak-injak hutan Siberia yang luas. Serta tidak ada Apatosaurus yang berjalan santai di hutan hujan Kongo.
Sebagai seorang paleontologis, Sues telah menghabiskan sebagian besar hidupnya mempelajari hewan purba. Khususnya dinosaurus. Namun, ia hanya melihat fosil makhluk-makhluk ini, tidak ada yang hidup – dengan satu pengecualian. Satu kelompok dinosaurus masih ada. Untuk menemukannya, pergilah keluar dan lihat ke langit.
Asteroid pembunuh
Pada tahun 1977, ahli geologi Amerika Walter Alvarez bekerja di pegunungan Apennini di Italia. Di sana, ia menemukan lapisan tipis tanah liat dengan jumlah logam yang tidak biasa yang disebut iridium di dalamnya. Tanah liat tersebut berada di antara bebatuan dari periode Cretaceous dan Paleogen dan berasal dari masa punahnya dinosaurus.
Iridium jarang ditemukan di Bumi, tetapi lebih umum ditemukan di beberapa meteorit. Bekerja sama dengan ayahnya, Walter Alvarez mengembangkan teori bahwa sebuah asteroid bertabrakan dengan Bumi 66 juta tahun yang lalu.
Dampak ini meninggalkan jejak iridium di seluruh dunia. Serta memicu bencana tak terbayangkan yang membunuh dinosaurus. Tidak hanya dinosaurus, spesies hewan dan tumbuhan lain yang tak terhitung jumlahnya di darat dan di laut pun terkena dampaknya.
“Awalnya, banyak ilmuwan menolak teori tersebut,” ungkap Sues. Namun kemudian, pada tahun 1991, ahli geologi menemukan kawah besar yang terkubur di bawah dasar laut di Semenanjung Yucatan, Meksiko. Titik ini adalah tempat sebuah asteroid, dengan lebar sekitar 10 kilometer, menabrak planet kita 66 juta tahun yang lalu.
Tabrakan itu begitu dahsyat hingga melontarkan triliunan ton debu dan batuan cair ke langit. Banyak potongan batuan cair jatuh kembali ke Bumi, menyebabkan kebakaran hutan besar di mana-mana. Lapisan debu tebal di atmosfer menghalangi sebagian besar sinar matahari, yang menyebabkan suhu beku di seluruh dunia. Bumi berubah menjadi tempat yang dingin dan tandus selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad.
Hilangnya sinar matahari membunuh banyak tanaman. Tidak ada makanan yang tersedia bagi para dinosaurus. Karena itu, dinosaurus pemakan tumbuhan besar seperti Triceratops dengan cepat punah. Hal tersebut akhirnya membuat predator besar seperti Tyrannosaurus rex tidak memiliki hewan mangsa untuk dimakan. Jadi, mereka pun mati.
Namun, hewan yang lebih kecil seperti mamalia, kadal, dan kura-kura dapat beradaptasi. Mereka dapat bersembunyi di liang dan hidup dengan berbagai macam makanan. Ikan hidup di sungai dan danau dan dilindungi oleh rumah mereka yang berair. Dan bertahan hidup bersama mereka: burung, satu-satunya dinosaurus yang tersisa.
Baca Juga: Mampukah Ilmuwan Hidupkan Kembali Dinosaurus yang Sudah Lama Punah?
Hubungan dengan burung
Maju ke sekitar 66 juta tahun. Para ilmuwan memperhatikan pada abad ke-19 bagaimana kerangka burung modern dan fosil dinosaurus mirip dalam banyak hal. Kesamaan pada tungkai dan kaki sangat mencolok. Akan tetapi, sebagian besar ilmuwan saat itu menganggap dinosaurus dan burung terlalu berbeda untuk bisa dianggap berkerabat dekat.
Kemudian, pada 1964, pakar dinosaurus John Ostrom menemukan fosil dinosaurus Deinonychus. Deinonychus memiliki mulut penuh gigi tajam dengan tepi bergerigi seperti pisau steak, kakinya ramping panjang dengan tiga jari yang diakhiri dengan cakar besar dan melengkung. Cakar besar di jari kaki kedua masing-masing. Deinonychus merupakan pemburu cepat. Hal ini tentu tidak sesuai dengan gagasan tradisional tentang dinosaurus yang lambat dan tidak terlalu aktif. Deinonychus hidup di Amerika Utara selama periode Cretaceous, sekitar 110 juta tahun yang lalu.
Untuk proyek penelitian lainnya di awal tahun 1970-an, Ostrom meneliti burung paling awal yang diketahui, Archaeopteryx. Archaeopteryx hidup 150 juta tahun yang lalu di tempat yang sekarang disebut Jerman. Archaeopteryx memiliki sayap berbulu dan tulang selangka, bersama dengan ciri-ciri seperti reptil. Termasuk rahang dengan gigi tajam, tangan dengan masing-masing tiga jari, dan ekor yang panjang.
Saat membandingkan burung purba ini dengan Deinonychus, Ostrom menyadari kerangka mereka memiliki banyak ciri khusus yang sama. Misalnya, keduanya memiliki lengan dan tangan yang luar biasa panjang, serta pergelangan tangan yang sangat fleksibel. Deinonychus memiliki tulang berongga dan leher berbentuk S.
Ostrom pun menunjukkan bahwa burung merupakan keturunan dari dinosaurus predator kecil yang mirip burung.
Dalam tiga dekade terakhir, ahli paleontologi menemukan banyak kerangka burung purba dan dinosaurus mirip burung di bebatuan Jurassic dan Cretaceous di Tiongkok. Anehnya, dinosaurus mirip burung, termasuk kerabat dekat Deinonychus, ditutupi bulu. Seperti burung yang hidup bersama mereka. Ahli paleontologi kini sepakat bahwa banyak, jika tidak semua, dinosaurus mempertahankan suhu tubuh tinggi yang konstan. Seperti yang dilakukan burung dan mamalia saat ini. Bulu membuat mereka tetap hangat.
Dinosaurus mirip burung tidak berhasil melewati peristiwa kepunahan 66 juta tahun yang lalu. Namun beberapa burung awal yang hidup bersama mereka berhasil. “Dan mereka berevolusi menjadi burung yang hidup saat ini,” kata Sues.
Bayangkan: untuk melihat dinosaurus, yang perlu Anda lakukan hanyalah melihat ke langit. “Sebagai seseorang yang telah lama mempelajari dinosaurus, saya senang mengetahui bahwa saya berbagi dunia dengan dinosaurus,” imbuh Sues.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR