Nationalgeographic.co.id—Selama puluhan tahun, para ilmuwan percaya bahwa asteroid raksasa yang memusnahkan dinosaurus 66 juta tahun lalu memicu musim dingin global berkepanjangan — bagaikan “musim dingin nuklir” yang membekukan Bumi dan menghancurkan kehidupan.
Namun sebuah studi yang dipublikasikan jurnal Geology justru mengguncang asumsi itu: suhu Bumi ternyata tidak sedingin atau selama yang diduga. Jejak kimia dalam fosil ikan purba mengungkap bahwa pendinginan hanya berlangsung beberapa dekade, bukan ratusan tahun seperti yang selama ini diyakini.
Asteroid yang memicu kepunahan massal 66 juta tahun lalu—dikenal sebagai peristiwa tumbukan Chicxulub—ternyata tidak menyebabkan musim dingin ekstrem berkepanjangan seperti yang selama ini diduga. Temuan ini membuka kembali pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi di Bumi setelah tumbukan dahsyat tersebut.
Pada suatu hari di musim semi, 66 juta tahun yang lalu, asteroid berdiameter sekitar 10 kilometer menghantam Semenanjung Yucatán dan mengubah arah sejarah kehidupan di Bumi.
Tumbukan ini menyebabkan kepunahan besar yang memusnahkan sekitar 75 persen spesies, termasuk semua dinosaurus non-unggas. Namun bagaimana tepatnya asteroid itu membunuh dinosaurus tetap menjadi misteri. Tidak mungkin semua dinosaurus berada di bawah titik tumbukan.
Selama bertahun-tahun, ilmuwan menduga tumbukan itu melontarkan debu dan partikel ke atmosfer dalam jumlah besar, memblokir cahaya matahari dan menciptakan "musim dingin akibat tumbukan"—kondisi mirip musim dingin nuklir dengan penurunan suhu global yang drastis.
Namun, studi yang dipublikasikan pada 22 Maret di jurnal Geology menyajikan cerita berbeda.
"Kami tidak menemukan bukti adanya 'musim dingin nuklir'," kata Lauren O'Connor, ahli geosains dari Utrecht University, Belanda, sekaligus penulis utama studi tersebut. "Setidaknya tidak dalam resolusi data kami," lanjutnya, mengacu pada data yang cukup sensitif untuk mendeteksi penurunan suhu yang berlangsung selama 1.000 tahun atau lebih.
Tim O'Connor menganalisis fosil bakteri yang tersimpan dalam lapisan batu bara dari masa sebelum, saat, dan setelah tumbukan Chicxulub. Bakteri-bakteri ini bisa menyesuaikan ketebalan dinding sel mereka sesuai dengan perubahan suhu—layaknya menyesuaikan selimut saat cuaca berubah.
Hasilnya menunjukkan bahwa dalam ribuan tahun setelah tumbukan, bakteri tidak menunjukkan tanda-tanda menebalkan dinding sel mereka untuk menghadapi cuaca dingin. Justru, para peneliti menemukan tren pemanasan selama sekitar 5.000 tahun yang berlangsung relatif cepat.
Periode panas ini kemungkinan dipicu oleh aktivitas gunung api super yang melepaskan karbon dioksida (CO₂) dalam jumlah besar ke atmosfer menjelang akhir zaman Kapur.
Baca Juga: Dari Mana Asal Asteroid Chicxulub yang Memusnahkan Dinosaurus?
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR