Nationalgeographic.co.id—Shoebill mungkin merupakan salah satu burung paling aneh di planet Bumi. Burung raksasa ini asli rawa-rawa Afrika dan terkenal karena ciri-ciri prasejarahnya. Khususnya paruhnya yang berongga dan kuat yang sangat mirip bakiak Belanda. Karena ciri-cirinya itu, apakah shoebill merupakan dinosaurus yang masih hidup?
Shoebill dipuja oleh bangsa Mesir kuno dan memiliki kekuatan untuk mengalahkan buaya. Namun, bukan itu saja yang membuat burung yang disebut “pelikan maut” ini unik.
Apakah shoebill benar-benar merupakan dinosaurus yang masih hidup?
Jika Anda pernah melihat shoebill, Anda mungkin akan dengan mudah salah mengiranya sebagai sebuah mainan atau boneka.
Shoebill, atau Balaeniceps rex, memiliki tinggi rata-rata 140 cm. Paruhnya yang besar, 18 cm, cukup kuat untuk memenggal kepala ikan lungfish sepanjang 160 cm. Jadi tidak heran mengapa burung ini sering dibandingkan dengan dinosaurus yang hidup puluhan juta tahun yang lalu.
Burung sebenarnya berevolusi dari sekelompok dinosaurus pemakan daging yang disebut teropoda — kelompok yang sama dengan Tyrannosaurus rex yang perkasa. Namun, burung merupakan keturunan dari cabang teropoda yang lebih kecil.
Ketika burung berevolusi dari sepupu prasejarahnya, mereka meninggalkan moncong berujung gigi dan mengembangkan paruh sebagai gantinya. Namun, ketika mengamati shoebill, tampaknya evolusi burung ini dari kerabat prasejarahnya tidak terlalu berkembang.
Tentu saja, burung-burung raksasa ini memiliki kerabat yang jauh lebih dekat di dunia modern. Shoebill sebelumnya disebut bangau paruh sepatu karena perawakan dan karakteristik perilakunya yang serupa. Namun shoebill sebenarnya lebih mirip dengan pelikan. “Terutama dalam metode berburunya yang ganas,” tulis Natasha Ishak di laman All That’s Interesting.
Shoebill juga memiliki beberapa kesamaan ciri fisik dengan bangau. Seperti bulu halusnya yang seperti bubuk, yang dapat ditemukan di dada dan perutnya. Seperti bangau, shoebill juga memiliki kebiasaan terbang dengan leher yang ditarik ke belakang.
Namun, terlepas dari kesamaan-kesamaan ini, Shoebill yang unik telah diklasifikasikan dalam famili burung tersendiri, yang dikenal sebagai Balaenicipitidae.
Paruhnya yang tangguh dapat menghancurkan buaya dalam sekejap
Baca Juga: Burung Purba Seukuran Elang Ini Pernah Bikin Dinosaurus 'Ketakutan', Mengapa?
Ciri paling mencolok pada shoebill tidak diragukan lagi adalah paruhnya yang besar.
Pelikan maut ini memiliki paruh terpanjang ketiga di antara burung-burung, setelah bangau dan pelikan. Kekokohan paruhnya sering disamakan dengan bakiak kayu, sehingga burung ini memiliki nama yang unik.
Bagian dalam paruh shoebill cukup luas untuk memenuhi berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-harinya.
Salah satunya, paruhnya dapat menghasilkan suara “tepuk tangan” yang menarik pasangan dan mengusir predator. Suara ini telah disamakan dengan senapan mesin. Paruhnya juga sering digunakan sebagai alat untuk menciduk air guna menyejukkan diri di bawah terik matahari tropis Afrika.
“Namun, fungsi paling berbahayanya adalah sebagai senjata berburu yang sangat efisien,” ungkap Ishak.
Shoebill berburu di siang hari dan memangsa hewan kecil seperti katak, reptil, ikan lungfish, dan bahkan bayi buaya. Mereka adalah pemburu yang sabar dan perlahan-lahan mengarungi air untuk mencari makanan di wilayahnya. Terkadang, shoebill akan menghabiskan waktu lama tanpa bergerak sambil menunggu mangsanya.
Setelah shoebill mengincar mangsa yang tidak menaruh curiga, ia bergerak dan menerjang dengan kecepatan penuh. Shoebill menusuk mangsanya dengan ujung tajam paruh atasnya. Burung ini dapat dengan mudah memenggal kepala ikan lungfish hanya dengan beberapa tusukan paruhnya sebelum menelannya dalam sekali telan.
Meskipun merupakan predator yang menakutkan, burung paruh sepatu terdaftar sebagai spesies rentan dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah dari International Union for Conservation of Nature (IUCN). Status konservasi yang hanya satu tingkat di atas status terancam punah.
Menurunnya jumlah burung ini di alam liar sebagian besar disebabkan oleh berkurangnya habitat lahan basah. Juga akibat dari perburuan berlebihan untuk perdagangan kebun binatang global. Menurut IUCN, terdapat sekitar 3.300 hingga 5.300 burung paruh sepatu yang tersisa di alam liar saat ini.
Kehidupan shoebill
Shoebill adalah spesies burung non-migrasi yang berasal dari Sudd, wilayah rawa yang luas di Sudan Selatan. Shoebill juga dapat ditemukan di sekitar lahan basah Uganda.
Mereka adalah burung soliter dan menghabiskan sebagian besar waktunya mengarungi rawa-rawa yang dalam untuk mengumpulkan bahan tanaman untuk bersarang. Membuat habitat mereka di bagian rawa yang lebih dalam merupakan strategi bertahan hidup. Strategi itu memungkinkan mereka menghindari potensi ancaman seperti buaya dewasa dan manusia.
Saat menerjang panasnya hutan belantara Afrika, shoebill menjaga dirinya tetap dingin menggunakan mekanisme praktis yang disebut urohidrosis. Metode unik ini membuat shoebill mengeluarkan cairan dengan kakinya sendiri. Penguapan yang terjadi menciptakan efek “dingin”.
Shoebill juga “mengepakkan” tenggorokannya, yang merupakan praktik umum di antara burung. Proses ini dikenal sebagai “gular fluttering” dan melibatkan pemompaan otot-otot tenggorokan bagian atas untuk melepaskan panas berlebih dari tubuh burung.
Ketika shoebill siap kawin, ia membangun sarang di atas vegetasi yang mengapung. Shoebill dengan hati-hati menyembunyikan sarang dengan tumpukan tanaman dan ranting basah. Jika sarangnya cukup terpencil, shoebill dapat menggunakannya berulang kali dari tahun ke tahun.
Shoebill biasanya bertelur satu hingga tiga butir per kelompok dan baik jantan maupun betina bergantian mengerami telur selama lebih dari sebulan. Induk shoebill sering kali mengambil air dengan paruhnya dan menyiramkannya ke sarang agar telur tetap dingin. Sayangnya, setelah telur menetas, induknya biasanya hanya mengasuh anak-anak burung yang paling kuat. Induknya akan meninggalkan anak-anak burung lainnya untuk mencari makan sendiri.
Meskipun tubuhnya besar, shoebill memiliki berat antara sekitar 3,5 hingga 6,5 kg. Sayap mereka—yang biasanya membentang lebih dari 2,4 meter—cukup kuat untuk menopang tubuhnya yang besar saat terbang. Saat terbang, shoebill menciptakan siluet yang memukau bagi para pengamat burung di darat.
Dicintai oleh para pengamat burung dan budaya kuno, popularitas shoebil juga menjadi ancaman. Sebagai spesies yang terancam punah, kelangkaannya menjadikannya komoditas berharga dalam perdagangan satwa liar ilegal. Kolektor pribadi di Dubai dan Arab Saudi dilaporkan bersedia membayar $10.000 (162 juta Rupiah) atau lebih untuk seekor shoebill hidup.
Semoga, dengan peningkatan upaya konservasi, burung-burung yang tampak prasejarah dan mencolok ini akan terus bertahan hidup.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | allthatsinteresting |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR