Nationalgeographic.co.id— “Penghargaan pertama yang diterimanya di 1949, mungkin bisa menjadi salah satu pertanda kejeniusan dalam menulis,” kata Annissa Maulina Gultom, “karena HB Jassin yang jeli melihat keunggulan naskahnya dari semua peserta kompetisi Balai Pustaka tahun itu.” Ironisnya, penghargaan naskah Perburuan itu menjadi penghargaan negara yang pertama dan terakhir bagi Pramoedya Ananta Toer.
Baca juga: Ledakan Penduduk Dunia dan Efek Domino yang Mengancam Kehidupan
Annissa, seorang pekerja kepurbakalaan dan tenaga permuseuman, berkesempatan meneroka ‘harta karun’ berupa bundel dan arsip di kediaman Pram di Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kejeniusan lain adalah ingatan Pram. Novel Bumi Manusia beserta sejumlah naskah lain mampu ditulis walau bahan penelitiannya sudah dirampas oleh militer. Dia mengetik ensiklopedia tentang istilah Jawa kuno dan sejarah manusia hanya berdasar ingatan.
Pram memang pernah tinggal kelas beberapa kali saat sekolah dasar. Seharusnya dia lulus dalam waktu tujuh tahun, namun dia selesai pada tahun kesepuluh. Seperti Albert Einstein, demikian ungkap Annissa, “Orang genius banyak yang gagal di jalur pendidikan formal karena memang tidak cocok dengan pembelajaran yang terstandarisasi.”
Menurutnya, Pram juga bisa disandingkan dengan Pablo Picasso karena menciptakan gaya sendiri. Kendati Pram pernah menyatakan bahwa dirinya terpengaruh gaya Maxim Gorky dan John Ernst Steinbeck, gaya Pram sungguh berbeda.
Novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca telah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan belahan dunia. Bahkan, kumpulan karya yang dikenal sebagai Tetralogi Buru itu telah diakui sebagai salah satu novel paling berambisi dalam kesusastraan dunia pascaperang. Namun, “Pram lebih besar dari sekadar penulis Tetralogi Buru,” ungkap Annissa.
Arsip Bojong menunjukkan pondasi pekerjaan yang disusun Pram berupa penelitian dan kegiatan pengarsipan selama bertahun-tahun. Dalam arsip-arsip itu, Annissa mengamati bahwa Pram menerapkan sistem untuk membuat sumber daya kearsipan dan perpustakaannya. Cara bekerjanya telah memperlihatkan kepada kita bahwa dia adalah seseorang yang bekerja secara terstruktur, bukan tipe pengumpul segala macam perkara dengan dalih menyimpan kenangan. Pram mengetahui apa yang ia kumpulkan, bagaimana cara mengumpulkan data, untuk apa data tersebut, dan memilih sistem yang memperbolehkan siapa saja untuk bisa mengakses susunan arsipnya. “Ini adalah pekerjaan seseorang yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri,” kata Annissa. “Ini adalah seseorang yang benar-benar meninggalkan sebuah warisan bagi generasi selanjutnya.”
Annissa bersama Engel Tanzil dan Astuti Ananta Toer menyelisik karya, biografi, dan arsip Pram. Hasilnya, sebuah himpunan tabulasi karya Pram yang menjadi dasar pandangannya mengenai sosok sang sastrawan besar itu. Mereka berkesempatan menganalisa arsip dan karya Pram.
Talenta Pram begitu luar biasa dalam berpikir dan mencipta. Namun, ia justru berproduktivitas tinggi pada periode 1950-1965: 79 karya nonfiksi, 9 biografi, 1 buku sejarah, 59 cerita pendek, 1 drama, 4 kumpulan cerpen, 12 novel, 8 terjemahan, 1 pidato, 2 puisi, 2 surat, dan 2 tulisan lain. “Pram," ujar Annissa, "adalah the odd bean in a can yang sulit didapatkan padanan intelektual yang setara.”
Kita selayaknya berterima kasih atas pemikiran Pram tentang awal kebangkitan nasional di negeri ini. Apa kaitan Pramoedya Ananta Toer dan awal kebangkitan nasional? Max Lane, penerjemah enam karya Pram ke dalam bahasa Inggris, pernah mengungkapkan bahwa ada jalan lain untuk mengenali Indonesia: dengan membaca Bumi Manusia karya Pram.
Pram telah mendongengkan kepada kita tentang dinamika perjalanan sejarah Indonesia. Bagi Pram, kebangkitan nasional bermula dengan lahirnya sosok R.A. Kartini pada akhir abad ke-19, yang dikisahkan dalam novelnya Panggil Aku Kartini Saja. Kemudian, Pram juga mengisahkan masa-masa kemunculan R.M. Tirto Adhi Soerjo dan pembentukan Sarekat Dagang Islam pada 1905, yang menurutnya sebagai organisasi modern pertama di negeri ini—sebelum Boedi Oetomo.
Periode awal kebangkitan nasional itulah yang menginspirasi adikaryanya yang kerap dijuluki sebagai Tetralogi Buru atau Tetralogi Bumi Manusia: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Kita bisa mengenal riwayat Indonesia dengan membacanya. Kendati setebal lebih dari 2.000 halaman dan mengisahkan asal mula kebangkitan nasional Indonesia, novel ini tidak menyebut satu patah pun kata "Indonesia". Max Lane mengatakan demikian dalam bukunya "Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia" yang dirilis oleh penerbit Djaman Baroe pada 2017.
Pram dikenang sebagai sastrawan genius dan sosok pekerja keras dalam menghidupkan karya-karyanya. Akankah generasi sekarang membaca karya-karya Pram? Pram memiliki gagasan besar tentang jatidiri siapa kita sesungguhnya, dan apa yang harus kita karyakan untuk negeri ini.
Seperti ungkapan Pram saat kunjungannya di Universitas Gadjah Mada, “Anda boleh sekolah setinggi-tingginya, tapi kalau Anda tidak berkarya, Anda akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah.
Baca juga: 10 Kebiasaan Simpel yang Bisa Menyelamatkan Anda dari Penyakit Mental
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR