Memang kalau sudah ingin berpidato, Bung Karno tak lagi merasa takut dan tak kenal resiko.
Berkat kepiawaiannya berpidato, lama kelamaan Bung Karno menjadi “populer” di kalangan tentara penjajah. Hampir dapat dipastikan, ketika Bung Karno mulai berpidato, tentara-tentara Belanda sudah berjaga-jaga di sekitarnya untuk menghentikan pidato dan menahannya.
Pernah pada suatu hari, Bung Karno melihat banyak tentara Belanda di sekitar mimbar untuk berpidato. Dalam pidatonya, Bung Karno mengatakan bahwa dirinya tahu, tentara Belanda itu diperintahkan untuk menangkapnya jika ia mengecam politik penjajahan Belanda.
Baca juga: Juan Pujol, Mata-mata yang Memalsukan Kematiannya Selama 36 Tahun
Meski begitu, ia tetap saja melancarkan kecaman pedas pada penjajah dalam pidatonya. Tanpa tedeng aling-aling, para tentara Belanda langsung meringkusnya bahkan sebelum pidatonya selesai.
Keluar masuk penjara bukanlah hal asing bagi Bung Karno. Baru saja bebas dari bui akibat pidatonya, Ia sudah harus berurusan lagi dengan polisi Belanda karena berpidato lagi.
Bung Karno dan para polisi Belanda itu seolah tengah berlomba: siapa yang paling dulu bosan menjalankan tugas? Polisi-polisi itu bertugas menangkap Bung Karno jika ia mengecam politik kolonialis Belanda, sementara Bung Karno merasa mengemban tugas untuk terus menerus mengecam politik itu dalam tiap kesempatan pidatonya.
Jam dua tengah malam, Bung Karno pidato berapi-api sendirian, pendengar satu-satunya yaitu Djoko Asmo, yang sedang asyik tenggelam dalam mimpinya sendiri.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR