Nationalgeographic.co.id - Orangutan terlangka di dunia, yang baru ditemukan pada 2017 lalu, mungkin tidak akan bertahan hidup akibat pembangunan pembangkit listrik tenaga air senilai 1,6 miliar dollar AS (sekitar Rp23 triliun) di habitat mereka di Sumatra.
Hanya ada 800 orangutan Tapanuli yang masih bertahan di alam liar. Semuanya berada di hutan Batang Toru yang merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati Indonesia. Rumah bagi beberapa spesies langka seperti harimau Sumatra dan trenggiling.
Namun, di wilayah ini pula penebangan hutan sudah mulai dilakukan terkait dengan proyek hidroelektrik yang dibiayai dan dibangun oleh perusahaan Tiongkok. Proyek triliunan ini meliputi lebih dari tujuh ribu pembangunan di seluruh dunia.
Merusak habitat
Kurang dari setahun lalu ketika dunia mengetahui bahwa spesies orangutan baru telah ditemukan, tapi kini ia sudah terancam punah. Bill Laurance dari Centre for Tropical Enviromental and Sustainability Science mengatakan, tidak masuk akal jika mereka memilih membangun proyek di tempat orangutan ini tinggal.
Sudah jelas bahwa bendungan dan pembangkit listrik – juga infrastruktur lainnya seperti jalanan, saluran listrik, serta terowongan sepanjang delapan mil, secara permanen akan memecah habitat hewan tersebut.
Baca juga: Viral! Video Penyelam Tunggangi Hiu Paus, dan Reaksi Susi Pudjiastuti
“Mereka adalah spesies yang terancam dan bisa dengan cepat punah akibat fragmentasi hutan utama,” kata Laurance.
“Dengan kata lain, adalah hal gila jika berniat melanjutkan pembangunan,” imbuhnya.
Pembangunan jalan dan tembok-tembok tinggi akan menghalangi orangutan ini tinggal di atas pohon. Saat melakukan pengamatan selama tiga ribu jam, para ilmuwan tidak pernah melihat orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) menginjakkan kaki ke tanah – kemungkinan karena mereka menghindari kehadiran harimau Sumatra.
Di ambang kepunahan
Salah satu tantangan dalam mempertahankan populasi orangutan Tapanuli adalah karena mereka merupakan ‘peternak yang lambat’. Betinanya baru memiliki keturunan pertama di usia sekitar 15 tahun, lalu melahirkan lagi setiap delapan atau sembilan tahun.
Source | : | Stephen Leahy/National Geographic |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR