Nationalgeographic.co.id - Anda mungkin tidak mengenal Jujuk, namun hari itu—ketika kami berkunjung—adalah hari yang sangat ditunggu olehnya. Hari kebebasan bagi Jujuk.
Jujuk adalah seekor elang-alap jambul yang dirawat di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, dan Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK).
Setelah cek kesehatan terakhir, dokter hewan Dian Tresno Wikanti memasangkan penanda sayap dan microchip di tubuh Jujuk. Tujuannya adalah agar tim masih dapat memantau perkembangan Jujuk di alam liar pasca pelepasliaran. Beberapa menit kemudian, Jujuk sudah sampai di lokasi pelepasliaran di Taman Wisata Alam Kamojang, Garu.
Baca Juga : Suka Duka Para Perawat Elang di Pusat Konservasi Kamojang Garut
Hewan dengan nama latin Accipiter trivirgartus ini diantar oleh sejumlah staf Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, PGE Area Kamojang, dan PKEK. Jujuk berkali-kali memalingkan kepalanya seakan tengah membaca keadaan alam sekitar.
Tanpa aba-aba, burung pemangsa ini melesat terbang meninggalkan sangkar yang digunakan untuk membawanya ke tempat pelepasliaran. Tim pun seketika lega setelah melihat Jujuk melesat membaur ke tengah alam.
Bebasnya Jujuk bukan akhir upaya pelepasliaran elang. Masih ada satu tahap lagi, yakni pemantauan. Microchip yang sudah dipasang di tubuh Jujuk lah yang akan membantu tim pemantauan untuk dengan mudah menemukan Jujuk. Bergerak cepat, dalam beberapa hari berikutnya, tim perawat elang akan mulai memantau keadaan Jujuk.
Saat dilepasliarkan, Jujuk tidak melewati masa habituasi. Ini karena Pusat Konservasi Elang Kamojang juga berada di kawasan taman wisata alam. “Jadi, Jujuk tidak perlu habituasi,” ujar Zaini Rahman, manajer lapangan PKEK.
Lingkungan taman wisata alam sama dengan PKEK. Habituasi dilakukan bila pelepasliaran dilakukan di tempat yang baru, untuk membantu elang mengenali lingkungan. Harapannya, ia bisa bertahan hidup di habitat yang baru.
Meski begitu, pelepasliaran elang tidak dilakukan secara asal. Program ini diawali dengan survei habitat, untuk mengetahui sumber pakan dan populasi elang yang ada di lokasi. Yang tak kalah penting, habitat baru harus sesuai dengan sebaran alami elang. Contohnya adalah elang jawa yang endemik Pulau Jawa, tidak bisa dilepasliarkan di Sumatra.
Pelepasliaran merupakan tujuan akhir dari Pusat Konservasi Elang Kamojang. “Itu bedanya PKEK dengan lembaga konservasi umum, seperti kebun binatang ataupun taman safari," lanjut Zaini. Untuk itu, elang-elang yang pernah dipelihara manusia harus direhabilitasi terlebih dahulu. Sayangnya, tidak semua elang bisa dilepasliarkan.
“Kalau cacat permanen, elang masuk kandang display untuk kepentingan pendidikan dan kampanye. Bisa juga ia dikirim ke kebun binatang dan taman safari untuk edukasi.
Tahapan rehabilitasi untuk menyiapkan elang kembali ke alam pun juga dibuat tidak main-main. Terkait dengan ketepatan pelepasliaran, PKEK dikembangkan sesuai dengan prosedur internasional—merujuk pada persatuan internasional untuk konservasi alam IUCN, federasi global untuk suaka satwa GFAS, dan badan rehabilitasi satwaliar dunia IWRC. Hanya saja, PKEK melakukan penyesuaian dengan ukuran elang di Indonesia. Itu sebabnya kami memakai ukuran minimum. Tentu kalau lebih luas akan lebih bagus.
Rehabilitasi elang memerlukan dukungan finansial yang berkelanjutan, dukungan pemerintah—karena elang milik negara, dan otoritas teknis untuk manajamen rehabilitasi. Pusat Konservasi Elang Kamojang merupakan contoh
nyata kerjasama ketiga otoritas tersebut. Raptor Indonesia (RAIN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang yang memberikan dukungan finansial.
Raptor Indonesia memegang kendali manajemen teknis rehabilitasi harian di Pusat Konservasi. Kementerian melalui Balai Besar KSDA menyediakan areal PKEK dan dukungan legal. Sedangkan Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang memberikan dukungan finansial bagi operasi PKEK.
“Kamojang merupakan habitat elang jawa yang menjadi sosok lambang negara Garuda Pancasila. Kemudian, industri geotermal juga sangat bergantung pada kelestarian lingkungan di sekitarnya. Tanpa itu, tidak ada sumber energi geotermal yang terbarukan. Jadi, dengan mengkonservasi elang, secara tidak langsung kami terdorong mengkonservasi habitatnya sekaligus menjaga keberlangsungan operasional kami," papar Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy, Ali Mundakir.
Ali Mundakir menambahkan, sejak awal PKEK telah dirancang untuk berkelanjutkan. “Kami berharap konservasi elang akan terus berjalan seiring dengan berjalannya operasi Area Kamojang. Kami akan mendorong pusat konservasi elang ini semakin mandiri. Dan tentu saja, Pertamina Geothermal Energy akan terus mendukung pusat konservasi elang."
Masyarakat diajak turut serta dalam menyediakan pakan bagi burung pemangsa yang direhabilitasi. “Ada yang beternak marmut, ada yang mencari tikus, ada yang mencari ular sawah untuk dijadikan pakan bagi elang-elang. Ini tentu saja bisa menggerakkan perekonomian masyarakat sekitar," ucap Ali.
Dengan adanya PKEK, masyarakat secara sukarela menyerahkan elang piarannya. "Jumlahnya semakin meningkat, dari 2014 sampai sekarang, sudah 162 elang. Ini indikasi bahwa tujuan pusat konservasi elang ini tercapai," jelas Ali Mundakir.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup, Sustyo Iriyono menjelaskan, lembaga konservasi khusus, seperti Pusat Konservasi Elang Kamojang, perlu diperbanyak. "Hakikat penegakan hukum dalam bidang tumbuhan dan satwa liar adalah menyelamatkan entitas satwanya," lanjutnya saat berkunjung ke Pusat Konservasi Elang Kamojang.
Sejauh ini, lembaga konservasi khusus yang menangani rehabilitasi elang baru terbatas di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Selain di Kamojang, Garut, ada Suaka Elang di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan di Kepulauan Seribu yang merehabilitasi burung pemangsa perairan, elang bondol.
Padahal, perburuan elang terjadi di hampir semua wilayah Indonesia. Ia menambahkan bahwa sejak berdirinya PKEK, tidak sedikit masyarakat yang menyerahkan elang peliharaan mereka.
Baca Juga : Rahasia Penglihatan Elang yang Menjadikannya Sebagai Predator Ulung
"Kita bisa duduk bersama mendiskusikan pembelajaran dari PKEK dan lembaga konservasi elang lainnya. Tantangannya adalah membangun komitmen jangka panjang karena rehabilitasi burung pemangsa perlu waktu panjang. Kalau jangka pendek, kasihan elangnya.”
Dengan demikian, adanya lembaga konservasi khusus di daerah lain dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak memburu, menangkap dan memelihara elang. Namun, idealnya adalah adanya dukungan finansial, dukungan pemerintah, dan dukungan teknis rehabilitasi.
Penulis | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR