Nationalgeographic.co.id - Ada yang berbeda di kuil Aranmula Parthasarathy di India, akhir-akhir ini. Terdapat pemberitahuan dalam huruf tebal dan hitam yang dicetak pada kertas putih berukuran A4 di sekitar tempat suci dalam kuil. Pemberitahuan tersebut bertuliskan: “Di dalam kuil, dilarang menggunakan ponsel, kamera, dan tas plastik.”
Apabila tidak mematuhi perintah tersebut, Anda akan mendapat tatapan tajam dari para penduduk yang menghabiskan sebagian besar hari mereka di sana.
Biksu atau petugas kuil juga mungkin akan mendatangi Anda dan memberitahu bahwa Aranmula merupakan satu dari 1.058 kuil di negara bagian Kerala yang telah berjanji untuk mengurangi sampah plastik tahun ini.
“Kami ingin mencoba kembali ke masa kuno di mana tidak ada ancaman dari plastik,” ujar A. Padmakumar, presiden Travancore Devaswom Board, badan administratif yang mengawasi ribuan kuil dan penduduk desa Aranmula.
Baca Juga : Foto-foto Menakjubkan dari Suku Pedalaman Amazon yang Terancam Punah
Ide untuk mengurangi konsumsi sampah plastik di kuil-kuil tersebut memang berasal darinya -- meski para pemimpin agama memang telah mengadvokasi larangan selama bertahun-tahun.
Dan gerakan ini sejalan dengan kebijakan nasional India. Pada Juni lalu, Narendra Modi, Perdana Menteri India, telah mengumumkan rencananya untuk melenyapkan plastik sekali pakai di negara tersebut pada 2022. Negara bagian di seluruh India – termasuk Kerala – sudah memulai upayanya.
Namun, Padmakumar mengatakan, meyakinkan 1,3 miliar warga India untuk melepaskan ‘kenyamanan’ dari plastik bukanlah hal yang mudah.
“Itulah sebabnya mengapa kami memulai program tersebut di kuil. Tempat ini merupakan pusat budaya kami. Orang-orang India akan mengurangi konsumsi plastik sekali pakai jika itu berkaitan dengan rasa cinta atau ketakutan mereka terhadap Dewa,” paparnya.
Parabhrama atau plastik?
Thantri Suryakalady Jayasuryan Bhattathiripad, seorang pujari atau biksu di kuil Mangaladevi, mengatakan, sebenarnya ada sesuatu yang menakutkan dan tidak wajar dari plastik.
“Saya juga seorang petani. Menyedihkan sekali melihat bagaimana bungkus plastik keluar lagi dari dalam tanah ketika saya membajak lahan. Bahkan, nama produknya masih terbaca dengan jelas. Plastik seperti zat yang sangat abadi,” paparnya.
“Padahal, setau saya, hanya Parabhrama – Yang Tertinggi – lah yang bisa hidup selamanya!”, imbuhnya.
Masalah utamanya, ritual Hindu dapat melibatkan banyak sekali barang: kamper dan dupa untuk memurnikan udara; mentega, susu, dan air mawar untuk dipersembahkan di kuil; minyak untuk lampu tradisional; serta bubuk cendana dan kunyit untuk dioleskan di dahi dan menjadi pembuka mata ketiga seseorang. Di masa kini, semua keperluan tersebut dibungkus dalam plastik.
Aneesh Mon, pedagang di sekitar Aranmula, setuju dengan kebijakan baru yang diterapkan oleh kuil. Namun, dia masih menemui kesulitan untuk membungkus barang dagangannya tanpa plastik.
Sejak peraturan diterapkan pada Januari lalu, Mon telah melakukan beberapa perubahan. Paket pooja-nya yang meliputi buah-buahan dan camilan untuk disajikan kepada dewa, kini dijual dalam piring biodegradable yang terbuat dari daun palem kering. Dan piring tersebut dapat digunakan lagi nantinya.
Meski begitu, botol kecil untuk menyimpan minyak dan air mawar masih terbuat dari plastik. “Ini semua produk yang berasal dari pabrik. Kami sedang bekerja sama dengan para pemasok untuk mencari alternatif lain,” jelas Mon.
Beberapa bulan terakhir, Mon dan rekan-rekannya telah meyakinkan beberapa perusahaan untuk mengganti botol kemasan air mawar mereka dengan yang lebih ramah lingkungan. Namun, sebagai gantinya, mereka meminta tambahan biaya sebesar lima rupee yang cukup memberatkan pedagang.
“Masalahnya adalah, produksi massal plastik sangat murah dan mudah dilakukan. Melihat hal ini, kami tidak bisa membayangkan dunia tanpa plastik,” katanya putus asa.
Kematian gajah
Di sisi lain, Thirumeni Rajeevararu, kepala biksu di kuil Sabarimala – tempat suci yang didekasikan untuk Dewa Ayyapan, terletak di Cagar Alam Periyar -- mengatakan, dunia tanpa plastik sangat penting untuk dimulai dari sekarang.
Baca Juga : Sokushinbutsu, Kisah Para Biksu Yang Mengubah Dirinya Menjadi Mumi
Pada Januari lalu, gajah berusia 20 tahun di Periyar mati setelah mengonsumsi sampah plastik. Hasil nekropsi menunjukkan bahwa plastik dalam jumlah banyak telah menyumbat saluran pencernaannya sehingga menyebabkan pendarahan internal dan kegagalan organ.
“Kematian gajah di Periyar sangat menggagu pikiran saya. Sebab, gajah merupakan hewan yang penting bagi kuil,” tutur Raheevararu.
Secara metafisik, gajah terhubung dengan Ganesha, Dewa Kebijaksanaan yang sangat dipuja oleh umat Hindu.
“Dewa berada di alam. Saya rasa, ini sudah menjadi dharma dan tugas kita untuk berhenti menggunakan plastik,” tambahnya.
Source | : | Maanvi Singh/National Geographic |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR