Nationalgeographic.co.id - Hari itu kami melakukan sebuah ekspedisi menyusuri pesisir pantai utara Jawa. Kami sempat berhenti di Subang, sebuah kabupaten di Tatar Pasundan. Sekelompok anak bersiap di tempatnya masing-masing untuk menampilkan keseniaan Sisingaan dan Jaipongan untuk menyambut tim ekspedisi National Geographic Indonesia dan PT Pertamina EP Asset 3 Subang Field.
Teriknya matahari siang itu tidak menyurutkan semangat mereka. Tampil sebaik mungkin menjadi tujuan mereka. Anak-anak ini merupakan binaan Sanggar Inspirasi (SARI), salah satu program Rumah Inspirasi Subang untuk melestarikan kesenian Sunda.
Baca Juga : Studi: Ada Ketidakseimbangan Populasi di Negara Maju dan Berkembang
Diilhami oleh kesenian Reog Ponorogo, Sisingaan menceritakan sukacita perjalanan pengawal setia raja Singa Barong dari kerajaan Lodaya yang mengadakan perjalanan menuju kerajaan Daha. Pengawal ini dikisahkan membawa tandu yang ditiduri oleh sang raja. Tidak hanya itu, Sisingaan juga menjadi bentuk perlawanan masyarakat Subang terhadap penjajahan Belanda.
Pengalaman pembuka kami tidak berhenti sampai di situ, kami pun disuguhi berbagai macam hidangan khas Sunda yang dimasak oleh kelompok ibu-ibu Sukaseuri.
Rumah Inspirasi Subang merupakan salah satu program pengabdian masyarakan PT Pertamina EP Asset 3 Subang Field. Tidak hanya masalah pelestarian kesenian Sunda, remaja putus sekolah dan sampah pun menjadi perhatian tersendiri di Subang, khususnya di kelurahan Dangdeur.
Yogi Burhanudin, Manajer Rumah Inspirasi Subang mengungkapkan bahwa mereka mempekerjakan berbagai orang dengan latar belakang yang berbeda-beda, bahkan bisa dibilang memiliki masa lalu yang kurang baik. Lebih lanjut Yogi mengatakan bahwa remaja putus sekolah hingga mantan pengguna narkoba ikut berpartisipasi dalam mengelola Rumah Inspirasi Subang.
Tujuannya tidak hanya pemerataan peran masyarakat, tetapi juga meningkatkan moral mereka yang sempat jatuh karena berbagai hal, khususnya bagi masyarakat Subang. Ketika mereka bisa melakukan hal yang berguna, maka mereka juga akan merasa memiliki andil dalam menghasilkan kebaikan bagi masyarakat.
Rumah Inspirasi Subang kemudian membuat dua program utama terkait permasalahan yang ada, yakni Bank Roentah Inspirasi (BROERI) serta Sanggar Inspirasi (SARI).
BROERI fokus pada pengolahan organik dan anorganik, termasuk di dalamnya adalah bank sampah. Sampah organik dikumpulkan dan diolah menjadi biogas. Tidak hanya digunakan di Rumah Inspirasi, biogas ini dalam waktu dekat ditargetkan dapat digunakan juga oleh masyarakat sekitar. Sementara itu, sampah anorganik akan didaur ulang.
Bank sampah tidak hanya berfungsi sebagai pengumpul sampah, tetapi juga sebagai “mesin uang” masyarakat yang aktif menabung sampah. Semakin sering menabung sampah, saldo dalam kartu anggota pun akan otomatis bertambah. Nantinya, pendapatan mereka dapat digunakan untuk membayar berbagai kegiatan di SARI. Mereka menciptakan istilah “membayar dengan sampah.”
Pengolahan sampah anorganik tidak kalah menarik. Mereka memroses sampah menjadi bahan bakar. Hasilnya? Motor gerobak sampah dan mesin pemotong rumput di sana dapat dioperasikan dari sampah.
Berbeda dengan BROERI, SARI memiliki program kreatif untuk memberdayakan masyarakat. Dangdeur English Club, Ngamumule Kasundaan (Kesenian Sisingaan dan Jaipong), Taman Baca Inspirasi, Pojok Inspirasi (kegiatan talkshow tokoh masyarakat yang menginspirasi), Bengkel Kreatif (pembuatan produk daur ulang seperti tas, kotak, karpet dari bungkus kopi atau tutup botol), Posbindu Lansia (Posyandu untuk lansia), dan Festival Rumah Inspirasi Subang.
Layaknya program lain yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, Rumah Inspirasi Subang juga sempat mengalami berbagai hambatan. Denis, community development officer PT Pertamina Ep Asset 3 Subang Field mengungkapkan bahwa mengubah pola pikir masyarakat adalah hambatan tersulit bagi mereka. Meski begitu, tim Rumah Inspirasi Subang tidak patah semangat.
Baca Juga : Benarkah Piramida Dibangun dengan Bantuan Makhluk Asing? Temuan Terbaru Menjawabnya
Keteguhan hati pun mulai memperlihatkan hasil. Pada tahun 2017, Kabupaten Subang mendapatkan penghargaan Adipura. Mereka pun berhasil “memecah telur” yang selama 20 tahun ini utuh. Rumah Inspirasi Subang menjadi titik pantau penilaian Adipura 2017 dan kembali dijadikan titik pantau penilaian Adipura di tahun 2018.
Senang rasanya ketika kami berada di tempat yang memiliki semangat perubahan besar. Namun kami juga harus melanjutkan perjalanan menuju Indramayu untuk singgah di Desa Karanglayung. Desa ini adalah salah satu desa binaan PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field.
Walaupun memiliki potensi budi daya pertanian––termasuk perikanan dan peternakan, tetapi Desa Karanglayung memiliki masalah kualitas sumber daya manusia. Tingkat pendidikan masyarakat pun tergolong rendah. Hasil pemetaan sosial desa Karanglayung terkait pendidikan mereka pada tahun 2017, menunjukkan bahwa 32,88 % (1.439 jiwa) tidak tamat Sekolah Dasar dan 39% (1.707 jiwa) tamat Sekolah Dasar.
Menanggapi permasalahan ini, empat program pemberdayaan masyarakat pun lahir. Ternak domba dan sapi, Rumah Cerdas DTA AT-TAUBAH, pembenihan lele, dan olahan bonggol pisang menjadi jurus untuk mengubah nasib masyarakat di sana.
Kehadiran kami pun disambut dengan riuh suara anak-anak. Bukan karena tari-tarian, tetapi suara anak-anak yang sedang bersekolah inilah yang menyambut kami. Rupanya kegiatan belajar mengajar di Rumah Cerdas DTA AT-TAUBAH belum selesai. 175 peserta didik yang dibagi dalam 4 kelas pagi dan sore yang dilengkapi dengan perpustakaan mini, sebagian besar merupakan penduduk desa Karanglayung.
Berbeda dengan institusi pendidikan lain. Hampir seluruh siswa tidak diwajibkan untuk membayar iuran sekolah. Bukan tanpa alasan, sekitar 68% siswa berasal dari keluarga pra sejahtera. Bagi sekolah yang terpenting adalah anak tersebut mempunyai minat belajar.
Sedikit bergeser dari sekolah, kami berjalan menuju peternakan domba dan sapi. Lagi, program yang termasuk dalam program pemberdayaan masyarakat ini juga tidak terlihat berbeda bila dilihat secara singkat. Namun, penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk dan biogas lah yang membedakan peternakan ini dengan peternakan lain. Bukan tanpa hasil, pengolahan biogas sudah dinikmati oleh empat rumah di sekitar peternakan. Dalam pengembangannya, pengelola menargetkan untuk mendistribusikan biogas ke lebih banyak rumah. Tujuan akhirnya? Biogas akan mengurangi pengeluaran masyarakat dalam pembelian bahan bakar.
Baca Juga : Mengenal Pneumonia, Penyakit Radang Paru-paru yang Diderita Stan Lee
Empat tahun lalu, peternakan ini hanya memiliki sedikit jumlah ternak. Namun kemudian PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field menambahkan jumlah ternak sapi. Sapi dipilih karena dapat dengan cepat menghasilkan kotoran yang berimbas pada cepatnya waktu memproduksi biogas. Tidak hanya itu, PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field juga memberikan pelatihan, pengembangan kandang, alat komposter, dan instalasi biogas.
Peternakan mungkin memang lahan yang erat kaitannya dengan laki-laki. Namun bukan berarti bahwa wanita di daerah tersebut tidak diberdayakan. Ibu rumah tangga pun diberdayakan. Hanya saja memang bukan di peternakan, mereka terlibat dalam usaha pengurangan sampah organik. Mereka tidak lagi hanya menunggu anak-anak pulang sekolah, tetapi juga turut serta dalam menigkatkan kualitas hidup di sana.
Desa Karanglayung memiliki banyak pohon pisang. Sayangnya, setelah berbuah, pohon pisang yang banyak ini akan mati. Masyarakat di sana kemudian membuang bonggol pohon pisang di sekitar aliran sungai sehingga menyumbat aliran air.
Untuk mengurangi sampah organik, ibu-ibu pun diberikan pelatihan untuk mengolah bonggol pohon pisang. Kelompok yang terdiri dari 10 ibu rumah tangga ini sangat suka bereksperimen dalam mengolah bonggol pisang. Bayangkan, mereka dapat membuat brownies, kerupuk, bakso, atau nugget dengan bahan dasar bonggol tadi. Tidak hanya asal diproduksi, hasil olahan ini kemudian dipasarkan dan memiliki nilai jual.
Tidak hanya biogas dari peternakan, dan pengolahan bonggol pisang, Desa Karanglayung juga memiliki sejumlah lokasi pembenihan ikan lele. Usaha kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) Langgeng yang dibentuk pada bulan Desember 2015 ini sudah berkembang menjadi 42 unit yang tersebar di empat titik Desa karanglayung.
Usaha budi daya yang pernah menerima bantuan berupa terpal untuk kolam, pompa, indukan lele, pompa air, diesel, dan saung ini pun menjadi lahan kerja bagi masyarakat sekitar. Kasmarih, ketua kelompok mengungkap bahwa banyak masyarakat desa yang mengajukan diri untuk bekerja. Bahkan ia harus mencari lokasi baru agar penyebaran lahan dan peluang kerja lebih merata.
Selain pembibitan Lele, Kasmarih berencana untuk membuat budi daya cacing sutra. Cacing sutra adalah makanan bibit lele. Jika rencana ini berjalan sesuai rencana, biaya pakan bibit lele pun akan terpangkas secara signifikan.
Hari pun semakin gelap, kami, tim ekspedisi harus kembali melanjutkan perjalanan. Meski begitu, beberapa orang yang terlibat dalam program-program tadi membuka mata kami bahwa masih banyak orang yang ingin terlibat menebar kebaikan demi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Penulis: Sysila Tanhati
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR