Nationalgeographic.co.id – Seorang turis Amerika dibunuh oleh suku terasing setelah ia secara ilegal mengunjungi wilayah mereka.
John Allen Chau (27), mendapat hujaman panah sesaat setelah menginjakkan kaki di Pulau Sentinel Utara, yang merupakan bagian dari Kepulauan Andaman.
Dilansir dari The Telegraph, polisi setempat mengatakan, Chau merupakan seorang misionaris dan ia berkunjung ke pulau tersebut karena ingin mengajak suku Sentinelese memeluk agama Kristen.
Namun, Dependra Pathak, polisi lainnya, membantah hal ini. Kepada media lokal, ia menjelaskan bahwa Chau hanyalah wisatawan ‘salah alamat’ yang mendatangi area terlarang dan bertemu dengan suku terasing yang tidak pernah melakukan kontak dengan dunia luar.
Pathak menambahkan, pihak berwenang masih berkonsultasi dengan pihak terkait mengenai cara terbaik untuk mengambil tubuh Chau.
Baca Juga : Fakta-fakta Suku Terasing Amazon yang Tidak Tersentuh Dunia Luar
Kasus ini memberikan sorotan pada suku Sentinelese, yang merupakan salah satu kelompok terakhir di dunia yang tidak tersentuh oleh peradaban modern.
Chau terbunuh pada 16 November setelah ia membayar nelayan lokal untuk mengantarkannya ke Pulau Sentinel Utara.
“Ia diserang oleh tembakan panah tapi masih sanggup berjalan sedikit. Sebelum melarikan diri, para nelayan sempat melihat anggota suku mengikat tali di sekitar leher Chau dan menyeretnya,” jelas sumber setempat.
Menurut pihak berwenang, Chau memiliki visa turis untuk memasuki Kepulauan Andaman, meski ada beberapa zona yang terlarang untuk dikunjungi. Setelah mengunjungi beberapa pulau, Chau menawarkan uang kepada nelayan lokal untuk membawanya ke Pulau Sentinel Utara yang termasuk area terlarang.
Kepulauan Andaman merupakan rumah bagi sekitar 400 suku asli yang terasing dari dunia luar. Namun, para turis beberapa kali nekat menyuap pihak berwenang setempat agar diperbolehkan mengunjungi wilayah pedalaman.
Suku seperti Sentinelese diketahui menghindari kontak dengan dunia luar dan memiliki catatan permusuhan kepada siapa pun yang mencoba mendekati mereka.
Source | : | telegraph.co.uk |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR