Nationalgeographic.co.id - Mereka adalah para pengembara angkasa yang menempuh perjalanan panjang dan berbahaya. Perubahan cuaca dan menipisnya makanan di daerah asal telah memicu burung-burung ini untuk meruaya ke kawasan khatulistiwa.
Indonesia yang sangat luas ini memiliki tiga kelompok burung yang beruaya ke Nusantara. Mereka adalah burung daratan, burung air, dan burung pemangsa. Mereka terbang dari utara khatulistiwa pada bulan September hingga April.
Baca Juga : Menjadi Saksi Perjalanan Waktu Dubai, Kota Ultramodern yang Terus Berkembang
Sementara itu kawanan lain datang dari selatan khatulistiwa pada bulan April hingga September. Setelah lima hingga enam bulan, mereka akan kembali pulang untuk berkembang biak. Pulang kampung ini mereka sesuaikan ketika musim panas datang di negeri asal mereka.
Kawasan Sangihe, Sulawesi Utara menjadi salah satu lokasi utama jalur masuknya burung-burung migran dari Jepang dan Semenanjung Korea.
Ketika musim gugur tiba di Tiongkok, Francesco Germi dan koleganya mencatat ada 230.214 ekor elang alap cina yang singgah di Sangihe pada tahun 2007.
Baca Juga : Meninggal dengan Misterius di Usia 32 Tahun, Inikah Penyebab Kematian Alexander the Great?
Leluhur Sangihe memiliki kesaksian atas manu tegi atau burung migran pemangsa yang singgah. Melalui lantunan nada, leluhur Sangihe pun meninggalkan catatannya. Sebuah tembang pun tercipta dengan judul O Karimako yang berarti Oh Seandainya.
“Ia kere manu tegi, seng katelae seng karoro sunusange. Marau kere marangi, e saudaraku. Maengbudi ne mapia, tamawuhi baharia.” (Saya bagaikan burung tegi, sekali terbang dan hinggap di pulau. Jauh atau pun dekat, hai... saudaraku. Kalau akal budinya baik, tidak akan gampang dilupakan).
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR