Di hamparan tanah warisan kakeknya yang saat ini mulai ditanami tembakau lagi, tampak dinding talud kuno yang sudah sejak dahulu tertampakkan. Di tanah itu pula pernah ditemukan empat yoni—dua masih di ladang, sementara satu diamankan BPCB, lainnya sengaja ditimbun kembali oleh Budiyono. Sementara empat yoni lainnya masih tersebar di ladang warga. Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan, yang menguatkan dugaan ahli arkeologi bahwa ladang di kawasan ini sudah ada sejak zaman Mataram Kuno, dan terus berlanjut hingga saat ini.
"Saya sering mendekati penambang dengan modal rokok saya." Ujar Budiyono. Kiat simpatik itu tampaknya membuat hati penambang menjadi luluh, demikian ungkapnya. "Setiap mereka menemukan benda, selalu melapor kepada saya." Dia juga mengatakan kepada saya bahwa dirinya kerap memberikan ucapan terima kasih dengan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah dari kantongnya sendiri untuk penambang yang menyerahkan temuannya kepadanya.
Ketika kami tengah berbincang, sebuah mobil memasuki situs. Pengemudinya seorang pemuda yang bertugas sebagai keamanan situs, namanya Sam—kependekan dari Samudi. Dia merupakan anggota Tim Peduli yang paling muda.
"Saya seperti dapet lotere," kata Sam, 29 tahun, sembari mengembangkan senyumnya saat mengungkapkan perasaannya ketika terpilih menjadi petugas keamanan situs oleh BPCB dan penunjukkan sebagai anggota Tim Peduli oleh kepala desa.
!break!Awalnya, Sam telah bekerja sebagai montir bengkel di Ngadirejo selama tujuh tahun. Sebuah keputusan yang berat menjadi pelestari, lantaran "gajinya tak sampai separuh dari pekerjaan sebelumnya." Bahkan, ketika bulan-bulan awal menjadi satpam, dirinya terpaksa turut mencangkul bersama Budiyono di ladang demi urusan dapur. "Soalnya untuk kedepannya lebih bagus di situs," ujar Sam mengungkapkan pilihan hidupnya. "Montir harus butuh modal gede, kalau ingin maju."
Sebagai petugas keamanan situs, Sam turut menjaga hasil temuan para ahli arkeologi di rumahnya: dari pedang sampai pecahan guci-guci Dinasti T\'ang, sekitar abad ke-9 dan abad ke-10.
Terinspirasi ahli arkeologi yang merangkai kembali sebuah guci, Sam mencoba-coba menyatukan dan menyusun kembali pecahan guci yang melimpah. Meski sekadar iseng, lebih dari 30 guci telah dibuatnya utuh kembali. "Saya sampai dimarahi oleh orang kantor," ujarnya masam. Sam memberikan pertanyaan retoris, "Lalu, saya tanya apakah guci-guci yang sudah saya rangkai ini harus saya pecahkan lagi?"
Sam bercerita kepada saya, ketika panen raya tembakau tiba, seisi rumahnya menjadi tempat penyimpanan sementara. Kemudian dia memberikan pernyataan yang mengagetkan saya, "Satu guci yang sudah selesai disusun malah saya pecahkan lagi karena sudah tidak ada tempat lagi." Dia menambahkan dengan enteng, "Tapi, saya kumpulkan pecahannya, jadi sewaktu-waktu mau direkonstruksi sudah gampang."
Bekerja di situs arkeologi ini "saya merasa sedang merawat barang milik saya sendiri," ungkapnya. Kemudian dia melanjutkan, "Setelah benar-benar terjun di situs, saya malah merasa kalau saya tidak sedang bekerja."
!break!MESKI PENGHUNINYA TIGA ORANG, rumah cantik berarsitektur 1950-an dengan pekarangan luas milik Yatno Wardoyo itu semarak dengan alunan karawitan. Warga, yang umumnya bukan pemuda lagi, menyalurkan kegemarannya dalam merawat budaya leluhur setiap malam Rabu dan malam Sabtu. Hari lainnya, rumah ini sunyi senyap, maklumlah hanya Yatno bersama istrinya dan seorang penjaga yang kini menempatinya.
Yatno, 55 tahun, berasal dari keluarga yang bergenarasi sukses karena tembakau. Dia merupakan salah satu sesepuh sekaligus pamong desa yang kerap disapa warga sebagai "Pak Tamping"—setara dengan jagabaya atau pejabat keamanan desa. Temuan arca yang awalnya berada di rumah Ong, kini berada di dua kamarnya yang gelap.
"Saya sendiri tidak tahu awalnya disimpan di sini untuk apa," ujar Yatno yang bertutur santun dan bersuara bass. "Kalau pemuda dan masayarakat menginginkan temuan itu disimpan di sini supaya aman." Kemudian dia melanjutkan sambil terkekeh, "Kebetulan di rumah saya masih ada ruangan kosong yang tidak berpenghuni—hanya di huni hantu."
Yatno mempersilakan saya untuk menyaksikan buah penyelamatan warga atas temuan cagar budaya Liyangan. Ada puluhan arca dan bagian candi yang berada di dua kamarnya, dari batu pipisan, batu antefiks, arca, hingga sebuah batu yang berukir kuda.
Atas inisiatif warga, koleksi temuan tersebut pernah dipamerkan dalam sebuah gelaran resmi di balai desa, dengan tata cahaya dan tata letak nan elok mirip galeri pameran di kota besar. Pengunjungannya dari anak sekolah hingga Bupati Temanggung.
Dalam alunan gamelan di ruang depan, Yatno berkata, "Kita yang tua-tua dilatih untuk meneruskan jangan sampai budaya yang adiluhung ini hilang," ujarnya. "Di sini yang bisa karawitan banyak, namun yang mau ikut latihan sedikit."
"Dulu ada grup ketoprak," imbuh Yatno, "Namun pelaku-pelakunya itu sekarang kalah dengan ndang dut." Yatno mengenang bahwa Liyangan telah memiliki grup ketoprak berpuluh tahun bernama Setyo Budoyo, namun kandas atas alasan kekurangan modal pada 2000. "Dengan adanya seni ketoprak yang hilang, budaya masyarakat khususnya tradisi Jawa seperti sopan santun, makin hilang," ungkap Yatno. "Padahal, banyak teladan dalam ketoprak.
Saya menginap beberapa hari di rumah Sukardi, pengepul sayuran dan salah satu anggota Tim Peduli Liyangan. Seperti warga lainnya, dia bercita-cita menyewakan kamar untuk rumah tinggal bagi pelancong, kelak setelah Liyangan menjadi tujuan wisata sejarah.
Sukardi bersama dua anggota tim lainnya telah berinisiatif membeli tanah di kawasan situs yang hendak dibebaskan, sekitar 1.500 meter persegi. Setiap meter perseginya, dia membeli senilai Rp125.000. Beberapa bulan kemudian pemerintah membeli tanah mereka dengan harga hampir dari separuhnya, dengan perjanjian bahwa pasir menjadi hak Sukardi dan dua tetangganya. Kini, para ahli arkeologi telah mengekskavasi tanah mereka dan berhasil menyingkap pagar batu, jalan makadam, dan petirtaan kuno.
"Kami patungan untuk membeli tanah, supaya kalau ada temuan bisa segera diamankan," kata lelaki berusia 48 tahun itu. "Tujuan utamanya itu." Keuntungan penjualan pasir memang tipis, namun keinginan menjaga cagar budaya di tanah miliknya tercapai. "Karena ada indikasi bahwa barang temuan banyak hilang."
Awalnya pembebasan tanah itu sulit. Ketika situs arkeologi ini ditemukan, para warga berharap memiliki tanah yang berharga jual tinggi. Namun, semua angan itu sirna semenjak mereka mengetahui bahwa harga dari pemerintah tidak sefantastis dalam bayangan mereka.
Tidak semua warga rela menjual tanahnya kepada pemerintah, salah satunya Munawar yang merupakan pemuat pasir dan memiliki ladang di tepi tambang. Kini, dia menanami ladangnya dengan cabai, terong, dan tembakau. Tahun depan, pembebasan lahan demi menyingkap situs Mataram Kuno itu sampai juga ke tanahnya.
"Pemikiran orang kampung itu sederhana," kata Munawar. Lelaki berusia 38 tahun ini justru bersedia apabila pemerintah menukarnya dengan tanah di lokasi lain, atau memakai tanah itu tanpa dia harus menjualnya. "Sayang kalau tanah warisan ini dijual," ujarnya di tubir tambang. "Kalau dijual kami tak punya apa-apa lagi."
!break!KETIKA KABUT MALAM MERAMBAHI petak permukiman Liyangan, saya bertamu ke rumah Slamet. Selain sebagai pemuat pasir, ternyata dia juga menjahit busana tarian tradisi di Liyangan.
Sembari meracik rokok lintingnya, Slamet berkisah tentang penghargaan yang didapatnya dari BPCB atas temuan candi utama di situs Liyangan. Dia diganjar sertifikat dan uang sebesar tiga juta rupiah. Separuh untuk para mandor tambang, sisanya dibagikan kepada teman-teman sesama penambang dan pemuat pasir. "Duitnya saya bagi-bagi, meski masing-masing sekadar segelas dawet."
Selepas Slamet, setidaknya terdapat lima penambang asal tetangga dusunnya yang juga diganjar penghargaan dari BPCB. Ketika menambang pasir mereka berkali-kali secara tak sengaja menemukan pipisan dan gandik, guci berbagai ukuran, vas bunga, hingga cangkul.
Situs arkeologi yang awalnya ditemukan Slamet hanyalah sepetak, kini telah meluas hampir tiga hektare dan akan terus bertambah. Dia berharap kelak apabila situs ini telah dibuka, dia dapat turut menikmati hasil kerjanya ."Yang membuat saya bangga," ujarnya berangan, "penemuan itu bisa berkembang menjadi tempat wisata seperti Borobudur."
Candi dan hasil temuan permukiman kuno di Liyangan memang belum terbentuk sempurna, namun benih kesadaran warga tentang pentingnya pelestarian cagar budaya baru saja lahir.
Kendati para penambang pasir telanjur dicap oleh khalayak umum sebagai perusak dan pencuri benda cagar budaya, hari ini mereka memiliki tekad untuk mewujudkan angan tentang masa depan Liyangan. "Soal penghargaan tadi bukan masalah," tutur Slamet sambil memantik api untuk rokoknya, "yang penting saya kerja dan makan dari keringat sendiri—tidak perlu mencuri."
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR