Slamet Paruji berjongkok di tubir penambangan pasir. Lelaki berkumis itu merapatkan tangan dan kakinya untuk bertahan dari cekaman udara dingin. Sepasang matanya, yang lelah menahan kantuk, tampak menatap kabut di tampuk Gunung Sundoro nan tersingkap sinar kencana surya di awal hari.
Tepat di dalam cerukan tambang pasir itu, terhampar bangunan batu untuk ritual pemujaan kuno dengan pagar dan jalan makadam yang menyeruak di antara gundukan pasir dan mesin pemecah batu gunung.
"Saya masih ingat harinya," ujar Slamet sembari memandangi dengan kagum kompleks pemujaan kuno itu. Dia mengenang tentang peristiwa yang menggemparkan Dusun Liyangan pada tujuh tahun silam.
Pukul 11.15 siang, di hari Jumat Kliwon pada awal musim kemarau 2008. Lelaki berusia 44 tahun ini memulai kisahnya. Saat bersama dua rekannya menambang pasir di kedalaman sekitar sepuluh meter, linggis Slamet mengenai sebongkah tugu batu serupa dengan "jantung pisang". Selepas digali dan dibersihkan, tampak tiga tugu batu tertancap dalam kuncian di altar yang mirip bagian bangunan candi. Belakangan, tugu batu itu ditengarai sebagai lingga, sementara altar batunya merupakan yoni. Keduanya bagian dari lambang pemujaan kepada Dewa Siwa dalam agama Hindu. Sebagian warga yang pernah menyaksikannya telah menjuluki sebagai batu yang "memancarkan cahaya".
Kegiatan penambangan seakan berhenti. Semua orang berlomba berkerumun mengelilingi temuan aneh itu. Bahkan, sebagian turut membersihkan dan membasuh temuan mahakarya moyang mereka dengan air. "Malahan, saking sibuk dan senangnya, saya sampai lupa untuk salat Jumat," ujarnya.
!break!Gelora sukacita warga tentang temuan candi baru di dusun mereka tampaknya tak berlangsung lama, demikian suratan yang harus diterima warga. Sebelum ayam berkokok pada hari berikutnya, satu batu lingga itu raib dicuri orang. Semua orang kecewa, ibarat ditinggalkan oleh sang pujaan hati. Mereka sangat terpukul, sehingga tidak bekerja menambang pasir pada hari itu. Namun, nestapa warga belumlah usai. Kurang dari dua minggu berikutnya, dua lingga lainnya pun raib dicongkel paksa oleh penjarah.
Warga Liyangan pun berusaha mencari. Salah satu ikhtiarnya lewat seorang paranormal. Kendati mereka telah membayar jasa dan rampaian sesajen sebesar Rp10 juta, yang diperoleh dari patungan warga, tiga lingga yang hilang itu pun tak kunjung kembali. Seorang warga berkata kepada saya sembari menirukan pesan sang paranormal, "Barang itu sudah jauh."
Dusun Liyangan terletak sekitar tujuh kilometer dari tampuk Gunung Sundoro. Dusun ini merupakan gugusan permukiman dari Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Peradaban Mataram Kuno—berkembang sekitar abad ke-8 hingga abad ke-10 di Jawa Tengah—membentang dari kawasan Kedu sampai Prambanan. Salah satu untaian mutiara pentingnya berada di Temanggung dan sekitarnya. Pasalnya, di daerah sekitar Gunung Sundoro ini terdapat sebaran situs candi dan temuan prasasti pada masa Mataram Kuno.
Saat itu temuan awal di Liyangan belum mendapat perhatian pemerintah. Ramainya penambangan pasir mengalahkan keistimewaan temuan arkeologisnya. Suatu keniscayaan apabila beberapa arca ditengarai telah hilang sebelum dilaporkan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).
Ahli arkeologi memperkirakan luas situs ini sekitar delapan sampai sepuluh hektare, yang memiliki pola keruangan. Tidak hanya sebagai tempat pemujaan agama Hindu, tetapi juga permukiman dan pertanian abad ke-6 hingga abad ke-10. Mereka juga menduga bahwa keberadaan permukiman Liyangan sudah ada sebelum kedatangan pengaruh Hindu, bahkan sebelum Candi Borobudur dibangun. Barangkali, inilah satu-satunya permukiman desa tertua yang kita miliki sepanjang sejarah klasik Nusantara.
Kawasan situs arkeologi itu sebelumnya adalah ngarai bergelombang yang kerap dijuluki warga sebagai Alas Jumblengan—karena terdapat ceruk dalam seperti sumur. Lantaran lapisan tanah suburnya hanya tipi, beberapa pemilik tanah di kawasan ini mengolahnya menjadi ladang tembakau ketimbang ladang sayur-sayuran.
Slamet berkata bahwa salah satu sebab munculnya penambangan pasir di Liyangan adalah krisis tembakau sekitar 2004-2005. Pada tahun itu harga tembakau jatuh, ungkapnya, dan selama lima tahun berikutnya harganya tidak menentu. "Dulu, satu keranjang tembakau menghasilkan 800 ribu hingga 1 juta rupiah," ujar Slamet mencoba membandingkan. "Saat krisis, enam keranjang tembakau hanya menghasilkan 800 ribu rupiah."
Siang dan malam, puluhan penambang pasir mengikis lembah itu hingga kedalaman 7-10 meter. Bagi warga yang tidak mempunyai ladang atau tanah garapan, penambangan pasir menjadi ladang utama penghidupan mereka.
Dalam penambangan pasir ada dua pekerjaan utama: nggejug (mengikis tebing untuk menambang pasir dengan alat linggis) dan nyenggrong (memuat pasir ke dalam truk dengan alat serok aluminium). "Nyenggrong lebih bergengsi ketimbang buruh tani," ujar Slamet. Buruh tani dibayar Rp30.000 dari pagi sampai sore, sementara pemuat pasir dibayar Rp35.000 hingga Rp70.000 tergantung ukuran truk—dan dalam sehari bisa mencapai 3-5 truk. Kebanyakan mereka adalah lulusan SD atau SMP yang tidak melanjutkan sekolah bukan lantaran orang tua tak mampu, melainkan keinginan sendiri. "Makanya banyak anak-anak muda di lokasi penambangan pasir, termasuk anak saya."
!break!SEJATINYA, SLAMET BUKANLAH orang pertama. Saya menjumpai Sucipto di teras rumahnya yang menjadi tempat persemaian tanaman tembakau. Jarak rumah lelaki berusia 65 tahun dengan rambut cepak beruban itu sekitar 200 meter dari situs yang ditemukan Slamet.
"Semua itu ada pemicunya untuk bisa terbuka," ujarnya. Sucipto mengatakan kepada saya bahwa dia pernah menemukan pagar batu dan jalan trasahan atau makadam, ketika menggali tanah untuk mencari pasir di pekarangan rumahnya pada 2000. Artinya, delapan tahun sebelum Slamet menemukan bagian candi. "Butuh tiga meter untuk mencapainya," ujar Sucipto. "Saya tidak melapor, tetapi ada perangkat desa yang mengetahuinya."
Sewaktu Sucipto kecil, ayahnya juga pernah menemukan beberapa arca di ladang mereka. Namun, sang ayah menguburkannya lagi. Perilaku seperti itu bukan hal garib bagi warga dusun. Warga tak mau melapor lantaran malas berurusan dengan pemerintah, atau khawatir tanahnya akan digusur. Bagi warga dusun, diam adalah emas. Selesai perkara.
Sebagai salah satu warga senior di Liyangan, Sucipto masih teringat dongeng yang kerap dituturkan oleh sang kakek. Budaya tutur itu tampaknya hanya dikenal oleh generasi Sucipto, sementara generasi sekarang tak pernah lagi mendengar kisah tersebut.
Liyangan, demikian menurut dongeng orang-orang terdahulu, berasal dari kata dalam bahasa Jawa "lih-lihan" yang berarti "pindahan". Konon, Sucipto menuturkan, dusun ini awalnya terletak di kaki bukit. Lantaran peristiwa pagebluk, warganya pindah ke lokasi lebih tinggi, yang sekarang menjadi permukiman Liyangan.
"Memang pernah ada dongeng tentang Kabupaten Liyangan," Sucipto melanjutkan kisahnya. Pada suatu masa, Liyangan diperintah seorang bupati yang perilakunya buruk, suka main perempuan. Sang bupati memiliki abdi bernama Joko Bodo, yang memiliki istri berparas cantik. Bupati tampaknya terpesona oleh kecantikan istri abdinya. Meski Joko Bodo tampak bodoh, sambungnya, sejatinya dia sakti.
!break!Siapa pun lelaki, apabila istrinya dirampas orang lain tentu hatinya panas. Joko Bodo pun mengendarai kuda sembrani, terbang ke angkasa. Kemudian kuda tersebut menjejak puncak Gunung Sumbing sehingga reruntuhannya mencapai desa Liyangan.
"Sang Bupati pun tewas, istananya turut terkubur," ungkap Sucipto mengakhiri kisahnya. Namun, buru-buru dia mengatakan sambil tersenyum, "Itu hanya dongeng. Cerita yang sesungguhnya adalah Sundoro meletus, kemudian laharnya mengubur desa ini."
Tak seorang pun warga ingat kapan Sundoro terakhir meletus. Saya bertanya kepada Sucipto, apakah dongeng itu berkaitan dengan temuan candi dan permukiman kuno di dusunnya, yang terbenam letusan gunung itu pada abad ke-10?
Namun, dia justru bertanya balik, "Kenapa orang-orang tua dulu perkataannya kerap terbukti?" Kakeknya juga pernah berkata bahwa besok Gunung Sundoro meletus dan memuntahkan laharnya hingga Weleri, Semarang, dan Pekalongan—kota pesisir utara Jawa Tengah. Ucapan sang kakek baru disadarinya kala Alas Jumblengan menjadi pertambangan pasir. "Saat itu tidak masuk akal," ujar Sucipto. "Namun sekarang terbukti, ternyata batu dan pasir itu diangkut dengan truk menuju kota-kota tadi."
Kakeknya dulu juga pernah mengatakan ke Sucipto bahwa kelak Gunung Sundoro akan "bersabuk intan". Beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya pada 1984, kawasan pinggang Sundoro di Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo telah dialiri listrik. Ketika malam tiba, gunung itu tampak dikelilingi kerlip lampu sepanjang pinggangnya. Kemudian Sucipto berseru, "Mirip intan!"
Pamannya, yang suka klenik, pernah juga berkata kepada Sucipto, "Liyangan itu dulu adalah pasar, dan kelak akan menjadi pasar yang ramai." Firasat dari orang-orang terdahulu tampaknya sesuai dengan angan warga yang melihat temuan situs arkeologi itu kelak menjadi salah satu magnet wisata di Temanggung.
Namun, bagaimana bisa membangun tempat wisata sejarah apabila temuan di situs arkeologi itu banyak dijarah oleh warganya sendiri? Dalam aktivitas penambangan pasir yang masif, satu per satu repihan masa lalu itu sirna—sengaja dicuri atau tak sengaja termuat dalam bak truk.
!break!TAMBANG PASIR ITU PERNAH GEGER. Seorang penambang perempuan tak sadarkan diri karena sebuah batu gugur dari tebing galian dan tepat mengenai badannya. Akibatnya, salah satu ruas tulang punggungnya pecah. Perempuan malang adalah Mbakyu Kepis, nama sejatinya Miskini.
Suatu sore, saya bertemu perempuan berusia 47 tahun itu di teras rumah limasan Jawa miliknya yang masih mempertahankan tradisi sunduk kolong. Dia berkisah tentang tragedi beberapa tahun silam. "Selama 13 hari saya berbaring saja di tempat tidur, namun tidak bisa tidur," kata Kepis bergetar. "Pikiran saya di sana [penambangan pasir], tetapi badan di rumah."
Selama di pembaringan, dia meronta kesurupan sambil berkali-kali berteriak. Kata-kata yang masih dingat Kepis dan para tetangganya adalah, "Patung-patung yang sudah diambil harus dikembalikan. Barang itu harus dikembalikan, kalau tidak saya akan ambil rezekinya!"
Ketika kerasukan itulah Kepis berada di alam yang dia sebut "dunia aneh". Dalam kisahnya kepada saya, dia menjumpai orang-orang penunggu Liyangan yang bertubuh jangkung dan besar, bergigi panjang, dan berambut keriting. "Merekalah yang meminta semua benda yang telah dicuri supaya segera dikembalikan," ucap Kepis.
Penambangan pasir dan tempat ditemukannya pemujaan kuno itu berada di kawasan yang dianggap wingit oleh warga setempat. Tepat di sisi utaranya, terdapat mata air Tempurung yang kerap digunakan oleh beberapa orang yang menekuni dunia klenik untuk bertapa. Kata "tempurung" dalam bahasa Jawa menandai sebuah pertemuan arus, dan kebetulan tempat keramat itu berada di tiga pertemuan aliran air.
!break!Kepis cukup beruntung, kendati mendapat celaka di tambang pasir itu. Sementara lima penambang lain pernah mengalami nasib jauh lebih buruk darinya: tiga meninggal, dan dua lainnya cacat seumur hidup.
Semasa Kepis menjadi penambang pasir, dia telah menemukan tiga guci zaman Dinasti T\'ang, dua buah arca Ganesha, dan satu yoni. Hingga kini dia masih beraktivitas di pertambangan pasir Liyangan, namun bukan lagi sebagai penambang yang membutuhkan tenaga besar, melainkan sebagai pemuat pasir ke bak truk. Anak lelakinya pun kini mengikuti jejakya.
Semenjak kegegeran Kepis itu, beberapa temuan yang sudah dicuri memang akhirnya dikembalikan lagi. Mungkin para pencuri benar-benar takut akan kutukan. Batu yoni yang sudah berada di desa tetangga, terpaksa diangkut dengan mobil ke lokasi semula di ladang warga. Arca Ganesha, cepuk, guci yang diambil warga pun akhirnya kembali dan diamankan di rumah salah satu pamong desa. Sayangnya, imbauan moral untuk mengembalikan tiga lingga—yang ditemukan Slamet—belum menyadarkan si pencurinya hingga detik ini.
Pelajaran dari Mbakyu Kepis telah mengembalikan kearifan masyarakat Liyangan. Ketika hukum negara tak lagi digubris, semesta akan menelikung mereka. Tampaknya, keyakinan itu telah melekat bergenerasi dalam mistisisme warga Jawa.
!break!"Saya bersama teman-teman juga sempat bikin propaganda—siapa yang mencuri bagian candi akan menuai bencana" ujar Sofiudin Anshori ketika saya bertamu di kediamannya. "Kebetulan atau tidak, ada saja orang yang mendapat akibatnya."
Sofiudin merupakan sosok kepala desa yang masih muda, luwes, dengan rambut sebahu ala rocker 1990-an. Dalam pertemuan pejabat resmi kabupaten, saya pernah menjumpainya dengan rambut dikuncir, berkemeja kotak-kotak, celana jins, dan bertas selempang kulit nan gaul.
Sofiudin hanya bisa mencurigai beberapa orang sebagai pencuri. Dia tidak bisa menuduh mereka karena tidak memiliki bukti kuat. Namun pada kenyataannya, mereka menderita sakit yang tak berkesudahan, bahkan ada yang sampai meninggal.
Dia turut membentuk secara resmi Tim Peduli Liyangan, yang awalnya bertugas membantu keamanan dalam penelitian arkeologi. Tim dibentuk atas keprihatinan pemuda karena banyak temuan situs arkeologi yang dicuri. Anggotanya adalah para warga yang berinisiatif dan sukarela menjaga tinggalan leluhur Liyangan.
Sejumlah 12 warga menjadi anggota tim, dua dari mereka kini bekerja sebagai juru pelihara dan petugas keamanan situs di bawah BPCB. Separuh dari tim masih aktif sebagai pemuat pasir, sehingga bisa mengawasi langsung penambangan di situs tersebut. Andai saja semua anggota tim bisa duduk bersama dalam satu meja, barangkali gambarannya seperti lukisan dinding akhir abad ke-15 berjudul "Perjamuan Terakhir" karya Leonardo da Vinci di Milan, Italia.
!break!DAHI ONG BERKERUT menyaksikan foto dari telepon genggam temannya di Pasar Ngadirejo, sekitar lima kilometer dari Liyangan. Foto yang telah beredar di kawasan Temanggung itu menampilkan teko perunggu berbentuk sosok singa yang keempat kakinya berdiri di atas karpet warna hijau di sebuah ruang tamu.
"Patung singa itu sudah siap mau dijual seharga Rp50 juta," ujar Ong kepada saya sembari mengenang kejadian pada 2011. "Kabarnya singa itu temuan dari situs Liyangan."
Ong adalah nama beken dari Suyanto. Lelaki eksentrik ini berambut sebahu yang dicat merah kecokelatan. Setiap pagi, lelaki berusia 42 tahun ini menjual susu kedelai di Pasar Ngadirejo. Kesibukannya yang lain, ketua paguyuban Persatuan Pedagang Sayur Ngadirejo.
Sejak menyaksikan foto tadi, hatinya panas. Dia melakukan investigasi dalam senyap seorang diri selama dua bulan ala detektif kampung. Ong menyambangi para tetangganya, sekadar mencocokkan karpet dan bentuk kaki meja dalam foto tersebut. Ong pun menemukan siapa si tersangka pencuri, namun dia tetap diam.
Dalam sebuah pertemuan sandiwara, kepala desa mengundang sebagian pemuda, termasuk si tersangka pencuri yang juga seorang penambang pasir. Si pencuri tak berkutik setelah tim menunjukkan foto bukti bahwa singa itu pernah berada di ruang tamunya.
!break!Ong dan rekannya berhasil mengambil kembali singa perunggu, yang saat itu sudah melayang di desa sebelah. Kini, peninggalan leluhur itu telah aman di BPCB Jawa Tengah. "Kalau semua orang tahu tentang latar belakang sejarah barang-barang ini, ya semuanya aman."
Ong merupakan salah satu penggerak Tim Peduli Liyangan. "Dengan membentuk tim, jika ada kejadian lagi, kita harus turut bertanggung jawab," ungkapnya. "Tujuan utamanya untuk melestarikan sejarah dan budaya kami."
"Bagi saya, berjuang untuk mencari pamrih, bukan berjuang tanpa pamrih," ujar Ong. "Kita sekarang berjuang, pamrihnya ke depan: Kita titip kepada anak cucu kita untuk mewarisi."
Ketika para ahli arkeologi mengawali penelitian di situs Liyangan, beberapa anggota tim menjadi tenaga lokal. Kesempatan mereka untuk belajar tentang pelestarian.
Tim pernah berinisiatif menyewa ekskavator selama tiga bulan untuk mengeruk pasir dan batu di situs yang tanahnya telah dibebaskan. Biaya operasional ekskavator mencapai Rp1,7 juta setiap harinya, didanai dari hasil menjual pasir dan batuan. Tim bekerja sangat hati-hati, seperti pesan seorang ahli arkeologi kepada mereka, supaya jangan merusak temuan di lapisan budaya. Keinginan mereka sekadar: situs arkeologi ini segera tertampakkan. Kini, setelah BPCB memiliki ekskavator, Ong membantu sebagai pengendali alat berat itu di lokasi tambang pasir.
!break!Kalaupun pada awalnya situs arkeologi ini telah rusak karena ulah penambang pasir, kini mereka justru turut menjaga dan memilikinya.
Namun, keguyuban tim tampaknya telah menimbulkan kecurigaan pihak lain. Kepala desa dipanggil ke Kejaksaan Negeri, sementara anggota tim diinterogasi polisi. Mereka telah dianggap menyalahkan wewenang dalam pembebasan tanah dan pengelolaan tambang pasir untuk memperkaya diri sendiri, maupun desa. Meskipun tuduhan itu tak terbukti dan hanya kesalahpahaman, peristiwa yang menyerempet ranah hukum itu sedikit memudarkan semangat Tim Peduli Liyangan. Kepercayaan diri mereka seketika bangkit ketika pemerintah kabupaten memberikan penghargaan kepada setiap anggota tim atas kepedulian mereka dalam melestarikan cagar budaya pada 2013.
Pada kenyataannya Liyangan telah mencuri perhatian. Kendati akhir tahun lalu Bupati Temanggung melarang penambangan pasir demi kelestarian lingkungan, situs arkeologi Liyangan menjadi pengecualian demi membantu penggalian dalam penelitian arkeologi.
Ong menyadari bahwa jerih payahnya hanya akan dinikmati oleh orang-orang dari masa depan. "Nanti kalau anak saya sudah besar, dan saya tidak mampu lagi berjalan ke situs," katanya sembari berangan, "saya masih punya cerita karena saya pernah kerja di sana. Saya tidak akan bercerita bohong kepada anak saya. Juga, saya berharap anak saya bisa mengikuti jejak saya."
Rumah Ong pun pernah menjadi tempat penyimpanan sementara berbagai hasil temuan arca atau batu candi oleh para penambang pasir, sebelum akhirnya disimpan di rumah salah satu sesepuh warga dusun. Awalnya, Ong dan timnya keberatan ketika temuan teko singa perunggu itu dibawa ke BPCB. Namun, dengan kesadaran bahwa menyimpan temuan membutuhkan tanggung jawab besar dan berisiko, mereka rela temuan itu di simpan oleh lembawa yang berwenang.
!break!SUATU PAGI DI POS KEAMANAN situs arkeologi Liyangan, saya menjumpai Budiyono, 46 tahun, yang tampak necis dengan seragam lapangannya yang berwarna olive. Lelaki yang hanya berhasil menamatkan pendidikan di sekolah dasar itu telah bertugas sebagai juru pelihara BPCB selama dua tahun terakhir.
Barangkali, dari 12 anggota Tim Peduli yang sejak awal temuan selalu konsisten berada di kawasan situs arkeologi Liyangan adalah Budiyono. "Berawal dari keikhlasan," ujarnya, "saya tidak pernah menyangka menajdi pegawai honorer BPCB."
Sebelum situs ini ditemukan oleh tetangganya yang sedang menambang pasir, kesibukan sehari-hari Budiyono adalah menggarap ladang tembakau di tanah warisan kakek yang seluas 3.000 meter persegi. Lokasinya di sebuah ngarai yang berjarak tak sampai seratus meter dari situs. Namun, setelah situs ini ditemukan—walau baru sepetak—Budiyono kerap memandu pengunjung yang datang untuk menyaksikan temuan baru di Liyangan itu. Sebagai pemandu tidak resmi, Budiyono tidak selalu menerima beberapa lembar ribu rupiah dari mereka.
"Dulu untuk menjaga kawasan seperti ini tidak ada yang mau," Budiyono berkata. "Padahal pengunjung sudah banyak." Ketika itu, menurutnya, tidak ada teman yang bersedia turut membantunya menjadi pemandu. Sebagian tetangganya justru mencibirnya, "Ora mateng liwet kok ditunggoni—tidak ada hasilnya kok diharapkan."
!break!Di hamparan tanah warisan kakeknya yang saat ini mulai ditanami tembakau lagi, tampak dinding talud kuno yang sudah sejak dahulu tertampakkan. Di tanah itu pula pernah ditemukan empat yoni—dua masih di ladang, sementara satu diamankan BPCB, lainnya sengaja ditimbun kembali oleh Budiyono. Sementara empat yoni lainnya masih tersebar di ladang warga. Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan, yang menguatkan dugaan ahli arkeologi bahwa ladang di kawasan ini sudah ada sejak zaman Mataram Kuno, dan terus berlanjut hingga saat ini.
"Saya sering mendekati penambang dengan modal rokok saya." Ujar Budiyono. Kiat simpatik itu tampaknya membuat hati penambang menjadi luluh, demikian ungkapnya. "Setiap mereka menemukan benda, selalu melapor kepada saya." Dia juga mengatakan kepada saya bahwa dirinya kerap memberikan ucapan terima kasih dengan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah dari kantongnya sendiri untuk penambang yang menyerahkan temuannya kepadanya.
Ketika kami tengah berbincang, sebuah mobil memasuki situs. Pengemudinya seorang pemuda yang bertugas sebagai keamanan situs, namanya Sam—kependekan dari Samudi. Dia merupakan anggota Tim Peduli yang paling muda.
"Saya seperti dapet lotere," kata Sam, 29 tahun, sembari mengembangkan senyumnya saat mengungkapkan perasaannya ketika terpilih menjadi petugas keamanan situs oleh BPCB dan penunjukkan sebagai anggota Tim Peduli oleh kepala desa.
!break!Awalnya, Sam telah bekerja sebagai montir bengkel di Ngadirejo selama tujuh tahun. Sebuah keputusan yang berat menjadi pelestari, lantaran "gajinya tak sampai separuh dari pekerjaan sebelumnya." Bahkan, ketika bulan-bulan awal menjadi satpam, dirinya terpaksa turut mencangkul bersama Budiyono di ladang demi urusan dapur. "Soalnya untuk kedepannya lebih bagus di situs," ujar Sam mengungkapkan pilihan hidupnya. "Montir harus butuh modal gede, kalau ingin maju."
Sebagai petugas keamanan situs, Sam turut menjaga hasil temuan para ahli arkeologi di rumahnya: dari pedang sampai pecahan guci-guci Dinasti T\'ang, sekitar abad ke-9 dan abad ke-10.
Terinspirasi ahli arkeologi yang merangkai kembali sebuah guci, Sam mencoba-coba menyatukan dan menyusun kembali pecahan guci yang melimpah. Meski sekadar iseng, lebih dari 30 guci telah dibuatnya utuh kembali. "Saya sampai dimarahi oleh orang kantor," ujarnya masam. Sam memberikan pertanyaan retoris, "Lalu, saya tanya apakah guci-guci yang sudah saya rangkai ini harus saya pecahkan lagi?"
Sam bercerita kepada saya, ketika panen raya tembakau tiba, seisi rumahnya menjadi tempat penyimpanan sementara. Kemudian dia memberikan pernyataan yang mengagetkan saya, "Satu guci yang sudah selesai disusun malah saya pecahkan lagi karena sudah tidak ada tempat lagi." Dia menambahkan dengan enteng, "Tapi, saya kumpulkan pecahannya, jadi sewaktu-waktu mau direkonstruksi sudah gampang."
Bekerja di situs arkeologi ini "saya merasa sedang merawat barang milik saya sendiri," ungkapnya. Kemudian dia melanjutkan, "Setelah benar-benar terjun di situs, saya malah merasa kalau saya tidak sedang bekerja."
!break!MESKI PENGHUNINYA TIGA ORANG, rumah cantik berarsitektur 1950-an dengan pekarangan luas milik Yatno Wardoyo itu semarak dengan alunan karawitan. Warga, yang umumnya bukan pemuda lagi, menyalurkan kegemarannya dalam merawat budaya leluhur setiap malam Rabu dan malam Sabtu. Hari lainnya, rumah ini sunyi senyap, maklumlah hanya Yatno bersama istrinya dan seorang penjaga yang kini menempatinya.
Yatno, 55 tahun, berasal dari keluarga yang bergenarasi sukses karena tembakau. Dia merupakan salah satu sesepuh sekaligus pamong desa yang kerap disapa warga sebagai "Pak Tamping"—setara dengan jagabaya atau pejabat keamanan desa. Temuan arca yang awalnya berada di rumah Ong, kini berada di dua kamarnya yang gelap.
"Saya sendiri tidak tahu awalnya disimpan di sini untuk apa," ujar Yatno yang bertutur santun dan bersuara bass. "Kalau pemuda dan masayarakat menginginkan temuan itu disimpan di sini supaya aman." Kemudian dia melanjutkan sambil terkekeh, "Kebetulan di rumah saya masih ada ruangan kosong yang tidak berpenghuni—hanya di huni hantu."
Yatno mempersilakan saya untuk menyaksikan buah penyelamatan warga atas temuan cagar budaya Liyangan. Ada puluhan arca dan bagian candi yang berada di dua kamarnya, dari batu pipisan, batu antefiks, arca, hingga sebuah batu yang berukir kuda.
Atas inisiatif warga, koleksi temuan tersebut pernah dipamerkan dalam sebuah gelaran resmi di balai desa, dengan tata cahaya dan tata letak nan elok mirip galeri pameran di kota besar. Pengunjungannya dari anak sekolah hingga Bupati Temanggung.
!break!Dalam alunan gamelan di ruang depan, Yatno berkata, "Kita yang tua-tua dilatih untuk meneruskan jangan sampai budaya yang adiluhung ini hilang," ujarnya. "Di sini yang bisa karawitan banyak, namun yang mau ikut latihan sedikit."
"Dulu ada grup ketoprak," imbuh Yatno, "Namun pelaku-pelakunya itu sekarang kalah dengan ndang dut." Yatno mengenang bahwa Liyangan telah memiliki grup ketoprak berpuluh tahun bernama Setyo Budoyo, namun kandas atas alasan kekurangan modal pada 2000. "Dengan adanya seni ketoprak yang hilang, budaya masyarakat khususnya tradisi Jawa seperti sopan santun, makin hilang," ungkap Yatno. "Padahal, banyak teladan dalam ketoprak.
Saya menginap beberapa hari di rumah Sukardi, pengepul sayuran dan salah satu anggota Tim Peduli Liyangan. Seperti warga lainnya, dia bercita-cita menyewakan kamar untuk rumah tinggal bagi pelancong, kelak setelah Liyangan menjadi tujuan wisata sejarah.
Sukardi bersama dua anggota tim lainnya telah berinisiatif membeli tanah di kawasan situs yang hendak dibebaskan, sekitar 1.500 meter persegi. Setiap meter perseginya, dia membeli senilai Rp125.000. Beberapa bulan kemudian pemerintah membeli tanah mereka dengan harga hampir dari separuhnya, dengan perjanjian bahwa pasir menjadi hak Sukardi dan dua tetangganya. Kini, para ahli arkeologi telah mengekskavasi tanah mereka dan berhasil menyingkap pagar batu, jalan makadam, dan petirtaan kuno.
"Kami patungan untuk membeli tanah, supaya kalau ada temuan bisa segera diamankan," kata lelaki berusia 48 tahun itu. "Tujuan utamanya itu." Keuntungan penjualan pasir memang tipis, namun keinginan menjaga cagar budaya di tanah miliknya tercapai. "Karena ada indikasi bahwa barang temuan banyak hilang."
Awalnya pembebasan tanah itu sulit. Ketika situs arkeologi ini ditemukan, para warga berharap memiliki tanah yang berharga jual tinggi. Namun, semua angan itu sirna semenjak mereka mengetahui bahwa harga dari pemerintah tidak sefantastis dalam bayangan mereka.
Tidak semua warga rela menjual tanahnya kepada pemerintah, salah satunya Munawar yang merupakan pemuat pasir dan memiliki ladang di tepi tambang. Kini, dia menanami ladangnya dengan cabai, terong, dan tembakau. Tahun depan, pembebasan lahan demi menyingkap situs Mataram Kuno itu sampai juga ke tanahnya.
"Pemikiran orang kampung itu sederhana," kata Munawar. Lelaki berusia 38 tahun ini justru bersedia apabila pemerintah menukarnya dengan tanah di lokasi lain, atau memakai tanah itu tanpa dia harus menjualnya. "Sayang kalau tanah warisan ini dijual," ujarnya di tubir tambang. "Kalau dijual kami tak punya apa-apa lagi."
!break!KETIKA KABUT MALAM MERAMBAHI petak permukiman Liyangan, saya bertamu ke rumah Slamet. Selain sebagai pemuat pasir, ternyata dia juga menjahit busana tarian tradisi di Liyangan.
Sembari meracik rokok lintingnya, Slamet berkisah tentang penghargaan yang didapatnya dari BPCB atas temuan candi utama di situs Liyangan. Dia diganjar sertifikat dan uang sebesar tiga juta rupiah. Separuh untuk para mandor tambang, sisanya dibagikan kepada teman-teman sesama penambang dan pemuat pasir. "Duitnya saya bagi-bagi, meski masing-masing sekadar segelas dawet."
Selepas Slamet, setidaknya terdapat lima penambang asal tetangga dusunnya yang juga diganjar penghargaan dari BPCB. Ketika menambang pasir mereka berkali-kali secara tak sengaja menemukan pipisan dan gandik, guci berbagai ukuran, vas bunga, hingga cangkul.
Situs arkeologi yang awalnya ditemukan Slamet hanyalah sepetak, kini telah meluas hampir tiga hektare dan akan terus bertambah. Dia berharap kelak apabila situs ini telah dibuka, dia dapat turut menikmati hasil kerjanya ."Yang membuat saya bangga," ujarnya berangan, "penemuan itu bisa berkembang menjadi tempat wisata seperti Borobudur."
Candi dan hasil temuan permukiman kuno di Liyangan memang belum terbentuk sempurna, namun benih kesadaran warga tentang pentingnya pelestarian cagar budaya baru saja lahir.
Kendati para penambang pasir telanjur dicap oleh khalayak umum sebagai perusak dan pencuri benda cagar budaya, hari ini mereka memiliki tekad untuk mewujudkan angan tentang masa depan Liyangan. "Soal penghargaan tadi bukan masalah," tutur Slamet sambil memantik api untuk rokoknya, "yang penting saya kerja dan makan dari keringat sendiri—tidak perlu mencuri."
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR