Siang dan malam, puluhan penambang pasir mengikis lembah itu hingga kedalaman 7-10 meter. Bagi warga yang tidak mempunyai ladang atau tanah garapan, penambangan pasir menjadi ladang utama penghidupan mereka.
Dalam penambangan pasir ada dua pekerjaan utama: nggejug (mengikis tebing untuk menambang pasir dengan alat linggis) dan nyenggrong (memuat pasir ke dalam truk dengan alat serok aluminium). "Nyenggrong lebih bergengsi ketimbang buruh tani," ujar Slamet. Buruh tani dibayar Rp30.000 dari pagi sampai sore, sementara pemuat pasir dibayar Rp35.000 hingga Rp70.000 tergantung ukuran truk—dan dalam sehari bisa mencapai 3-5 truk. Kebanyakan mereka adalah lulusan SD atau SMP yang tidak melanjutkan sekolah bukan lantaran orang tua tak mampu, melainkan keinginan sendiri. "Makanya banyak anak-anak muda di lokasi penambangan pasir, termasuk anak saya."
!break!SEJATINYA, SLAMET BUKANLAH orang pertama. Saya menjumpai Sucipto di teras rumahnya yang menjadi tempat persemaian tanaman tembakau. Jarak rumah lelaki berusia 65 tahun dengan rambut cepak beruban itu sekitar 200 meter dari situs yang ditemukan Slamet.
"Semua itu ada pemicunya untuk bisa terbuka," ujarnya. Sucipto mengatakan kepada saya bahwa dia pernah menemukan pagar batu dan jalan trasahan atau makadam, ketika menggali tanah untuk mencari pasir di pekarangan rumahnya pada 2000. Artinya, delapan tahun sebelum Slamet menemukan bagian candi. "Butuh tiga meter untuk mencapainya," ujar Sucipto. "Saya tidak melapor, tetapi ada perangkat desa yang mengetahuinya."
Sewaktu Sucipto kecil, ayahnya juga pernah menemukan beberapa arca di ladang mereka. Namun, sang ayah menguburkannya lagi. Perilaku seperti itu bukan hal garib bagi warga dusun. Warga tak mau melapor lantaran malas berurusan dengan pemerintah, atau khawatir tanahnya akan digusur. Bagi warga dusun, diam adalah emas. Selesai perkara.
Sebagai salah satu warga senior di Liyangan, Sucipto masih teringat dongeng yang kerap dituturkan oleh sang kakek. Budaya tutur itu tampaknya hanya dikenal oleh generasi Sucipto, sementara generasi sekarang tak pernah lagi mendengar kisah tersebut.
Liyangan, demikian menurut dongeng orang-orang terdahulu, berasal dari kata dalam bahasa Jawa "lih-lihan" yang berarti "pindahan". Konon, Sucipto menuturkan, dusun ini awalnya terletak di kaki bukit. Lantaran peristiwa pagebluk, warganya pindah ke lokasi lebih tinggi, yang sekarang menjadi permukiman Liyangan.
"Memang pernah ada dongeng tentang Kabupaten Liyangan," Sucipto melanjutkan kisahnya. Pada suatu masa, Liyangan diperintah seorang bupati yang perilakunya buruk, suka main perempuan. Sang bupati memiliki abdi bernama Joko Bodo, yang memiliki istri berparas cantik. Bupati tampaknya terpesona oleh kecantikan istri abdinya. Meski Joko Bodo tampak bodoh, sambungnya, sejatinya dia sakti.
!break!Siapa pun lelaki, apabila istrinya dirampas orang lain tentu hatinya panas. Joko Bodo pun mengendarai kuda sembrani, terbang ke angkasa. Kemudian kuda tersebut menjejak puncak Gunung Sumbing sehingga reruntuhannya mencapai desa Liyangan.
"Sang Bupati pun tewas, istananya turut terkubur," ungkap Sucipto mengakhiri kisahnya. Namun, buru-buru dia mengatakan sambil tersenyum, "Itu hanya dongeng. Cerita yang sesungguhnya adalah Sundoro meletus, kemudian laharnya mengubur desa ini."
Tak seorang pun warga ingat kapan Sundoro terakhir meletus. Saya bertanya kepada Sucipto, apakah dongeng itu berkaitan dengan temuan candi dan permukiman kuno di dusunnya, yang terbenam letusan gunung itu pada abad ke-10?
Namun, dia justru bertanya balik, "Kenapa orang-orang tua dulu perkataannya kerap terbukti?" Kakeknya juga pernah berkata bahwa besok Gunung Sundoro meletus dan memuntahkan laharnya hingga Weleri, Semarang, dan Pekalongan—kota pesisir utara Jawa Tengah. Ucapan sang kakek baru disadarinya kala Alas Jumblengan menjadi pertambangan pasir. "Saat itu tidak masuk akal," ujar Sucipto. "Namun sekarang terbukti, ternyata batu dan pasir itu diangkut dengan truk menuju kota-kota tadi."
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR