Slamet Paruji berjongkok di tubir penambangan pasir. Lelaki berkumis itu merapatkan tangan dan kakinya untuk bertahan dari cekaman udara dingin. Sepasang matanya, yang lelah menahan kantuk, tampak menatap kabut di tampuk Gunung Sundoro nan tersingkap sinar kencana surya di awal hari.
Tepat di dalam cerukan tambang pasir itu, terhampar bangunan batu untuk ritual pemujaan kuno dengan pagar dan jalan makadam yang menyeruak di antara gundukan pasir dan mesin pemecah batu gunung.
"Saya masih ingat harinya," ujar Slamet sembari memandangi dengan kagum kompleks pemujaan kuno itu. Dia mengenang tentang peristiwa yang menggemparkan Dusun Liyangan pada tujuh tahun silam.
Pukul 11.15 siang, di hari Jumat Kliwon pada awal musim kemarau 2008. Lelaki berusia 44 tahun ini memulai kisahnya. Saat bersama dua rekannya menambang pasir di kedalaman sekitar sepuluh meter, linggis Slamet mengenai sebongkah tugu batu serupa dengan "jantung pisang". Selepas digali dan dibersihkan, tampak tiga tugu batu tertancap dalam kuncian di altar yang mirip bagian bangunan candi. Belakangan, tugu batu itu ditengarai sebagai lingga, sementara altar batunya merupakan yoni. Keduanya bagian dari lambang pemujaan kepada Dewa Siwa dalam agama Hindu. Sebagian warga yang pernah menyaksikannya telah menjuluki sebagai batu yang "memancarkan cahaya".
Kegiatan penambangan seakan berhenti. Semua orang berlomba berkerumun mengelilingi temuan aneh itu. Bahkan, sebagian turut membersihkan dan membasuh temuan mahakarya moyang mereka dengan air. "Malahan, saking sibuk dan senangnya, saya sampai lupa untuk salat Jumat," ujarnya.
!break!Gelora sukacita warga tentang temuan candi baru di dusun mereka tampaknya tak berlangsung lama, demikian suratan yang harus diterima warga. Sebelum ayam berkokok pada hari berikutnya, satu batu lingga itu raib dicuri orang. Semua orang kecewa, ibarat ditinggalkan oleh sang pujaan hati. Mereka sangat terpukul, sehingga tidak bekerja menambang pasir pada hari itu. Namun, nestapa warga belumlah usai. Kurang dari dua minggu berikutnya, dua lingga lainnya pun raib dicongkel paksa oleh penjarah.
Warga Liyangan pun berusaha mencari. Salah satu ikhtiarnya lewat seorang paranormal. Kendati mereka telah membayar jasa dan rampaian sesajen sebesar Rp10 juta, yang diperoleh dari patungan warga, tiga lingga yang hilang itu pun tak kunjung kembali. Seorang warga berkata kepada saya sembari menirukan pesan sang paranormal, "Barang itu sudah jauh."
Dusun Liyangan terletak sekitar tujuh kilometer dari tampuk Gunung Sundoro. Dusun ini merupakan gugusan permukiman dari Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Peradaban Mataram Kuno—berkembang sekitar abad ke-8 hingga abad ke-10 di Jawa Tengah—membentang dari kawasan Kedu sampai Prambanan. Salah satu untaian mutiara pentingnya berada di Temanggung dan sekitarnya. Pasalnya, di daerah sekitar Gunung Sundoro ini terdapat sebaran situs candi dan temuan prasasti pada masa Mataram Kuno.
Saat itu temuan awal di Liyangan belum mendapat perhatian pemerintah. Ramainya penambangan pasir mengalahkan keistimewaan temuan arkeologisnya. Suatu keniscayaan apabila beberapa arca ditengarai telah hilang sebelum dilaporkan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).
Ahli arkeologi memperkirakan luas situs ini sekitar delapan sampai sepuluh hektare, yang memiliki pola keruangan. Tidak hanya sebagai tempat pemujaan agama Hindu, tetapi juga permukiman dan pertanian abad ke-6 hingga abad ke-10. Mereka juga menduga bahwa keberadaan permukiman Liyangan sudah ada sebelum kedatangan pengaruh Hindu, bahkan sebelum Candi Borobudur dibangun. Barangkali, inilah satu-satunya permukiman desa tertua yang kita miliki sepanjang sejarah klasik Nusantara.
Kawasan situs arkeologi itu sebelumnya adalah ngarai bergelombang yang kerap dijuluki warga sebagai Alas Jumblengan—karena terdapat ceruk dalam seperti sumur. Lantaran lapisan tanah suburnya hanya tipi, beberapa pemilik tanah di kawasan ini mengolahnya menjadi ladang tembakau ketimbang ladang sayur-sayuran.
Slamet berkata bahwa salah satu sebab munculnya penambangan pasir di Liyangan adalah krisis tembakau sekitar 2004-2005. Pada tahun itu harga tembakau jatuh, ungkapnya, dan selama lima tahun berikutnya harganya tidak menentu. "Dulu, satu keranjang tembakau menghasilkan 800 ribu hingga 1 juta rupiah," ujar Slamet mencoba membandingkan. "Saat krisis, enam keranjang tembakau hanya menghasilkan 800 ribu rupiah."
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR