Kakeknya dulu juga pernah mengatakan ke Sucipto bahwa kelak Gunung Sundoro akan "bersabuk intan". Beberapa puluh tahun kemudian, tepatnya pada 1984, kawasan pinggang Sundoro di Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo telah dialiri listrik. Ketika malam tiba, gunung itu tampak dikelilingi kerlip lampu sepanjang pinggangnya. Kemudian Sucipto berseru, "Mirip intan!"
Pamannya, yang suka klenik, pernah juga berkata kepada Sucipto, "Liyangan itu dulu adalah pasar, dan kelak akan menjadi pasar yang ramai." Firasat dari orang-orang terdahulu tampaknya sesuai dengan angan warga yang melihat temuan situs arkeologi itu kelak menjadi salah satu magnet wisata di Temanggung.
Namun, bagaimana bisa membangun tempat wisata sejarah apabila temuan di situs arkeologi itu banyak dijarah oleh warganya sendiri? Dalam aktivitas penambangan pasir yang masif, satu per satu repihan masa lalu itu sirna—sengaja dicuri atau tak sengaja termuat dalam bak truk.
!break!TAMBANG PASIR ITU PERNAH GEGER. Seorang penambang perempuan tak sadarkan diri karena sebuah batu gugur dari tebing galian dan tepat mengenai badannya. Akibatnya, salah satu ruas tulang punggungnya pecah. Perempuan malang adalah Mbakyu Kepis, nama sejatinya Miskini.
Suatu sore, saya bertemu perempuan berusia 47 tahun itu di teras rumah limasan Jawa miliknya yang masih mempertahankan tradisi sunduk kolong. Dia berkisah tentang tragedi beberapa tahun silam. "Selama 13 hari saya berbaring saja di tempat tidur, namun tidak bisa tidur," kata Kepis bergetar. "Pikiran saya di sana [penambangan pasir], tetapi badan di rumah."
Selama di pembaringan, dia meronta kesurupan sambil berkali-kali berteriak. Kata-kata yang masih dingat Kepis dan para tetangganya adalah, "Patung-patung yang sudah diambil harus dikembalikan. Barang itu harus dikembalikan, kalau tidak saya akan ambil rezekinya!"
Ketika kerasukan itulah Kepis berada di alam yang dia sebut "dunia aneh". Dalam kisahnya kepada saya, dia menjumpai orang-orang penunggu Liyangan yang bertubuh jangkung dan besar, bergigi panjang, dan berambut keriting. "Merekalah yang meminta semua benda yang telah dicuri supaya segera dikembalikan," ucap Kepis.
Penambangan pasir dan tempat ditemukannya pemujaan kuno itu berada di kawasan yang dianggap wingit oleh warga setempat. Tepat di sisi utaranya, terdapat mata air Tempurung yang kerap digunakan oleh beberapa orang yang menekuni dunia klenik untuk bertapa. Kata "tempurung" dalam bahasa Jawa menandai sebuah pertemuan arus, dan kebetulan tempat keramat itu berada di tiga pertemuan aliran air.
!break!Kepis cukup beruntung, kendati mendapat celaka di tambang pasir itu. Sementara lima penambang lain pernah mengalami nasib jauh lebih buruk darinya: tiga meninggal, dan dua lainnya cacat seumur hidup.
Semasa Kepis menjadi penambang pasir, dia telah menemukan tiga guci zaman Dinasti T\'ang, dua buah arca Ganesha, dan satu yoni. Hingga kini dia masih beraktivitas di pertambangan pasir Liyangan, namun bukan lagi sebagai penambang yang membutuhkan tenaga besar, melainkan sebagai pemuat pasir ke bak truk. Anak lelakinya pun kini mengikuti jejakya.
Semenjak kegegeran Kepis itu, beberapa temuan yang sudah dicuri memang akhirnya dikembalikan lagi. Mungkin para pencuri benar-benar takut akan kutukan. Batu yoni yang sudah berada di desa tetangga, terpaksa diangkut dengan mobil ke lokasi semula di ladang warga. Arca Ganesha, cepuk, guci yang diambil warga pun akhirnya kembali dan diamankan di rumah salah satu pamong desa. Sayangnya, imbauan moral untuk mengembalikan tiga lingga—yang ditemukan Slamet—belum menyadarkan si pencurinya hingga detik ini.
Pelajaran dari Mbakyu Kepis telah mengembalikan kearifan masyarakat Liyangan. Ketika hukum negara tak lagi digubris, semesta akan menelikung mereka. Tampaknya, keyakinan itu telah melekat bergenerasi dalam mistisisme warga Jawa.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR