Indonesia akan segera memiliki pengawas langit yang baru. Observatorium Nasional Timau akan mulai dibangun di kawasan hutan lindung lereng Gunung Timau, Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, NTT.
Astronomi dan Indonesia itu identik dengan Observatorium Bosscha yang dibangun pada tahun 1923. Lebih dari 90 tahun sudah Observatorium riset satu-satunya di Indonesia ini menjadi saksi perjalanan panjang astronomi di negeri ini. Selain Observatorium Bosscha, LAPAN juga memiliki balai pengamatan di Sumedang dan Pasuruan yang juga terlibat dalam riset khususnya untuk Matahari dan cuaca antariksa.
Harapan untuk membangun Observatorium baru pun mengemuka sejak tahun 1980-an. Beberapa lokasi baik di Indonesia bagian barat maupun timur jadi pertimbangan. Ide serupa kembali muncul di awal tahun 2000-an dan berbagai kajian pun dilakukan oleh para astronom.
Kebutuhan Observatorium baru dirasa sangat perlu karena pembangunan di Bandung dan Lembang menghasilkan polusi cahaya yang berdampak pada pengamatan langit malam. Selain itu, terjadi peningkatan temperatur rata-rata sekitar 2º dan angkasa yang makin berdebu. Akibatnya, malam cerah untuk pengamatan di Observatorium Bosscha juga semakin sedikit. Pada tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya dan pada tahun tahun 2008, Observatorium Bosscha ditetapkan sebagai salah satu Objek Vital Nasional yang harus diamankan.
Tapi, penetapan lokasi suatu observatorium itu bukan perkara mudah. Ada banyak aspek yang harus dikaji, diantaranya adalah jumlah malam cerah dalam setahun, kecerlangan langit, kenampakan, aksesibilitas dan tentu saja pertimbangan ekonomis. Malam fotometrik merupakan kestabilan transparansi langit sedangkan kenampakan merupakan indikasi aliran turbulensi di angkasa Bumi yang mempengaruhi kualitas hasil pengamatan. Untuk menetapkan Gunung Timau sebagai lokasi Obnas, kajian kualitas langit untuk pengamatan sudah dilakukan selama lebih dari 7 tahun oleh para astronom ITB.
Menurut Emanuel Sungging Mumpuni, peneliti dari LAPAN, “para astronom harus bisa memastikan kalau langit di area NTT memang bagus untuk pengamatan atau memiliki cukup banyak malam fotometrik, untuk bisa mendapatkan data yang bermanfaat. Malam seperti ini harus gelap total, bebas dari cahaya bulan, awan dan tentu saja bebas polusi cahaya”.
“Jumlah malam fotometrik atau malam yang sangat ideal untuk pengamatan adalah 55 – 60% per tahun dan jumlah malam cerah untuk pengamatan bisa mencapai 68% setiap tahunnya. Kondisi ini masih akan terus dipantau selama Observatorium Nasional Timau ini beroperasi”. – Taufiq Hidayat dari Astronomi ITB.
Disepakatinya Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan, membuka ruang untuk pengembangan astronomi di Indonesia. UU No. 21/2013 mengamanatkan bangsa Indonesia untuk mandiri dalam sains dan teknologi keantariksaan, termasuk astronomi dan astrofisika.
Penguasaan sains dan antariksa tentu membutuhkan fasilitas pengamatan yang juga memadai. Karena itu, ruang untuk pembangunan Observatorium Nasional semakin terbuka. Apalagi, Nawa Cita Presiden RI adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, antara lain melalui pemerataan pembangunan antarwilayah, terutama kawasan timur Indonesia.
Untuk itu, kehadiran Observatorium Nasional (OBNAS) Timau di NTT beserta program-program penelitian, pengembangan masyarakat dan edukasi akan sangat mendukung percepatan pembangunan di Indonesia Timur.
Selain bermanfaat untuk Indonesia, kehadiran OBNAS juga akan memberikan dampak positif bagi pengembangan astronomi di kawasan asia tenggara. Apalagi sebagian wilayah asia tenggara memiliki kendala cuaca untuk pengamatan pada panjang gelombang optik.
Sampai saat ini, teleskop terbesar di asia tenggara berada di utara yakni di Thailand. OBNAS yang berada dekat Khatulistiwa jelas memberi keuntungan lain karena bisa mencakup pengamatan sebagian langit utara dan selatan.
Berkenalan Dengan Observatorium Nasional Timau
Kajian yang dilakukan untuk mencari lokasi Observatorium baru di Indonesia memang mengerucut ke NTT karena memiliki fraksi langit cerah dalam setahun lebih dari 70%. Dari beberapa dataran tinggi yang disurvei sebagai kandidat, akhirnya Gunung Timau (123° 59´ T, 9° 40´ S) yang berada di Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, dipilih sebagai lokasi OBNAS dengan pertimbangan aksesibilitas yang lebih mudah dibandingkan tempat lain. Terdapat area hutan lindung seluas 30 ha sebagai lokasi utama dan 300 ha sebagai lokasi penyangga.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR