"Timau dipilih, selain kondisi alamnya, juga kondisi geografis dan kependudukannya, dimana kondisi langit bebas polusi cahayanya bisa bertahan lama, seperti Bosscha dahulu. Diharapkan Gunung Timau bisa mengakses langit bebas polusi cahaya, setidaknya sampai 50 tahun kedepan, seperti Bosscha yang bisa menikmati langit malam bebas polusi setidaknya selama 60 tahun ( era 1920-an – 1980-an)," ungkap Thomas Djamaluddin, Kepala LAPAN RI.
Di Observatorium baru ini, akan dibangun beberapa fasilitas pengamatan. Di antaranya adalah calon teleskop terbesar di Asia Tenggara yakni teleskop optik dengan diameter 3,8 meter, dan beratnya 20 ton. Selain itu, OBNAS juga akan menaungi dua teleskop survei 0,5 meter dengan panjang fokus berbeda, serta teleskop Matahari 0,3 meter yang akan melakukan pengamatan multi panjang gelombang.
Kedua teleskop survei memang memiliki panjang fokus berbeda untuk mengakomodasi kebutuhan medan pandang yang luas untuk survei dan karakterisasi objek lewat pengamatan fotometri dan spektroskopi. Selain teleskop optik, di masa depan akan dibangun juga teleskop radio. Akan tetapi, mengingat keterbatasan anggaran, untuk saat ini fokus pembangunan diarahkan untuk membangun teleskop optik 3,8 meter.
Tidak mudah untuk membangun teleskop besar. Ada dua pilihan yakni teleskop pemantul dengan cermin tunggal kaku (rigid), cermin tunggal lentur (flexible), dan cermin majemuk (segmented). Pilihan pun jatuh pada cermin majemuk karena desainnya dianggap paling sesuai untuk melakukan penelitian astronomi. Selain itu, pertimbangan pembiayaan tepat guna (cost effectiveness) serta kemudahan operasional dan perawatan menjadi alasan pemilihan cermin majemuk.
Teleskop 3,8 meter akan memiliki arsitektur optik Ritchey-Chrétien dengan cermin primer dan sekunder berbentuk hiperbola serta sebuah cermin tersier yang memantulkan cahaya ke bidang fokus Nasmyth. Desain ini akan meminimalisasi cacat bayangan yang terbentuk serta memudahkan penggunaan instrumen canggih berbobot besar. Teleskop 3,8 meter di OBNAS Timau ini akan dirancang oleh Dr. Mikio Kurita dan dibangun oleh Nishimura Optical, seperti teleskop Okayama 3,8 meter di Universitas Kyoto.
Menurut Taufiq, “Teleskop 3.8 meter dengan 2 Nasmyth cabin akan fleksibel jika dipasang instrumen untuk berbagai program. Untuk itu, kerja sama dengan Kyoto dan Australia telah dirintis untuk penelitian bersama. Program yang ditinjau antara lain, survei eksoplanet, spektroskopi ISM, patroli benda kecil di Tata Surya, dll”.
Melengkapi teleskop di OBNAS Timau, akan ada instrumen penunjang lain seperti Charged Coupled Device(CCD) serta spektrograf resolusi menengah yang bisa dipergunakan untuk pengamatan galaktik dan ekstragalaktik.
Saat ini OBNAS Timau dikelola oleh LAPAN, namun terbuka utk penelitian perguruan tinggi/Lembaga litbang terkait dengan pola kerjasama. Selain itu, OBNAS adalah fasilitas nasional yang terbuka untuk siapa saja baik astronomi maupun lintas disiplin, yang relevan dengan penelitian astronomi dan sains antariksa.
Riset di Observatorium Nasional Timau
Kehadiran Observatorium Nasional Timau memang memiliki keunikan tersendiri. Rumah baru astronomi di timor ini berada di dekat katulistiwa, sehingga punya peluang untuk mengamati bumi belahan utara dan selatan, dan mengisi lintang pengamatan antara China, Jepang dan Australia. Cakupan langit yang bisa diamati mencapai 95% dan dengan teleskop 3,8 meter, pengamatan bisa dilakukan sampai dengan kecerlangan 21,5 magnitudo. Sangat redup sehingga pengamat bisa melihat Matahari dari jarak 70.000 tahun cahaya atau Bima Sakti jika berada pada jarak 8 milyar tahun cahaya.
Pembangunan berbagai fasilitas pengamatan terkini tersebut diharapkan bisa memberi ruang baru untuk kontribusi Indonesia dalam dunia astronomi, khususnya dengan hasil pengamatan dari Indonesia. Karena kita tahu, data pengamatan observatorium besar di dunia maupun dari luar angkasa juga dapat diakses untuk diolah datanya.
Kehadiran OBNAS Timau juga membuka babak baru perjalanan astronomi di Indonesia, khususnya sebagai laboratorium astronomi tingkat nasional yang dapat dimanfaatkan oleh para astronom dan peneliti di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini tentu akan menjadi pemicu untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai daerah, khususnya di kawasan Indonesia Timur.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR