Nationalgeographic.co.id - Gempa bumi disusul likuifaksi dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, akhir September lalu, telah menyebabkan kerusakan bangunan dan infrastruktur dengan nilai kerugian sementara mencapai hampir Rp14 triliun.
Data terbaru menyebut, setidaknya, lebih dari 2000 orang tewas. Masa tanggap darurat gempa dan tsunami di sana akan berakhir 26 Oktober 2018 dan kini pemulihan untuk memenuhi kebutuhan dasar pengungsi, layanan medis, dan pembenahan infrastruktur dasar dikebut oleh Badan Penanggulangan Bencana dan tim tanggap darurat lainnya.
Setelah gempa bumi dan tsunami menghantam Aceh pada 2004, serangkaian upaya peningkatan kapasitas telah dilakukan pemerintah. Salah satunya membuat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak dan pemulihan pascabencana. Pengelolaan bencana Indonesia mulai bergerak dari yang sebelumnya bersifat responsif menjadi lebih komprehensif. Pemerintah membentuk Badan Penanggulangan Bencana pada level nasional, provinsi, dan kabupaten.
Indonesia juga telah mengembangkan sistem peringatan dini tsunami yang dikenal dengan Indonesia Early Warning System (InaTEWS), walau dalam kasus tsunami di Palu dipertanyakan kemampuan sistem tersebut menyelamatkan orang-orang di tepi pantai saat terjadi tsunami.
Apa yang terjadi di Palu dan Donggala memperlihatkan bahwa kompleksitas bencana masih jauh dari apa yang telah diupayakan selama ini. Bukan hanya soal teknologi mitigasi yang perlu ditingkatkan, tapi juga budaya dan tradisi masyarakat ikut berperan meminimalkan risiko bencana. Lalu bagaimana peran budaya dan tradisi “anti-bencana” ikut menyelamatkan penduduk?
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki budaya dan pengetahuan lokal yang kaya dan beragam. Pengetahuan lokal tersebut lahir sebagai wujud dari adaptasi masyarakat dengan perubahan lingkungannya. Salah satunya adalah cerita tentang pengetahuan lokal masyarakat Kepulauan Simeulue, yang disebut Smong. Pulau Simeulue yang terletak di pantai Barat Provinsi Aceh ini menyimpan pengetahuan lokal yang berkaitan dengan tsunami.
Riset kami yang baru-baru ini dimuat di International Journal of Disaster Risk Reduction memperlihatkan bahwa pengetahuan lokal masyarakat Simeulue tentang Smong mengalami pasang surut. Pengetahuan ini redup sebelum 1907 dan menguat kembali setelah era itu hingga berhasil menyelamatkan masyarakat dari badai tsunami terdahsyat pada 2004.
Pengetahuan masyarakat Simeulue tersebut telah menyelamatkan mereka dari amukan tsunami pada 2004. Di pulau ini, hanya tiga orang dari sekitar 70 ribu penduduknya saat itu dilaporkan meninggal akibat terjangan gelombang dahsyat tersebut. Pengetahuan itu yang menggerakkan dan menyelamatkan mereka. Total korban tewas akibat gelombang tsunami setinggi 30 meter itu mencapai 230.000–280.000 jiwa di 14 negara, Indonesia termasuk negara yang paling parah terkena dampaknya.
Adapun nenek moyang orang Palu menyebut gempa bumi sebagai Linu, tsunami dinamakan Bombatalu. Sedangkan likuifaksi mereka sebut sebagai Nalodo yang berarti amblas ditelan bumi.
Masyarakat di daratan Singkil, menyebut tsunami dengan sebutan Gloro, sedangkan masyarakat yang tinggal di Banda Aceh dan Aceh Besar menyebut tsunami sebagai Ie-Beuna.
Kisah Smong diperkirakan telah lama dikenal oleh masyarakat Simeulue, bahkan jauh sebelum terjadinya tsunami 1907. Gempa bumi pada 1907 dengan Magnitudo 7,6 diikuti tsunami merupakan sejarah kelam kebencanaan dalam kehidupan masyarakat Simeulue.
Banyak yang menceritakan bahwa lebih dari setengah penduduk Simeulue tewas akibat peristiwa tersebut (tidak ada catatan pasti berapa jumlah penduduk Simeulue saat itu). Peristiwa kelam itu akhirnya dituangkan ke dalam kisah Smong yang dituturkan secara lisan. Tetua masyarakat Simeulue meyakini bahwa peristiwa tersebut dapat berulang di kemudian hari.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR