Nationalgeographic.co.id - Gempa bumi berkekuatan 7,5 Skala Richter yang disusul tsunami, yang menimpa Indonesia beberapa hari lalu telah memakan korban setidaknya 1.300 jiwa.
Pihak berwenang masih menyelidiki seberapa parah kerusakan yang ditimbulkan, tapi sudah jelas bahwa gempa bumi dan tsunami itu telah membuat daerah Sulawesi porak-poranda, terutama kota Palu.
Ini bukan kali pertama gempa bumi menyebabkan kerusakan massal dan kematian di Indonesia. Terlebih lagi dengan adanya tsunami. Tapi mengapa?
Jawabannya adalah kombinasi keberadaan lempeng tektonik di wilayah, bentuk garis pantai, masyarakat yang rentan dan sistem peringatan dini yang kurang prima. Semua hal itu punya peranan yang membuat tsunami di Indonesia amat berbahaya.
Lempeng tektonik
Indonesia berada di atas beberapa lingkungan tektonik yang kompleks. Banyak hal rinci dari lempeng tektonik ini yang belum dimengerti, sehingga menghalangi kemampuan kita dalam memprediksi risiko gempa bumi dan tsunami.
Gempa-gempa terbesar yang ada di Bumi adalah gempa “zona subduksi”, yang terjadi di tempat bertemunya dua lempeng tektonik.
Pada Desember 2004 dan Maret 2005, ada sepasang gempa zona subduksi di sepanjang lepas laut Palung Sunda, di pesisir barat Sumatra.
Baca Juga : Gempa Palu: Ban Bekas Sebagai Upaya Pencegahan Gedung Runtuh
Gempa 9,1 Richter di Aceh, Desember 2004 itu sendiri menimbulkan tsunami yang menewaskan hampir 250 ribu orang di negara-negara dan kepulauan di tepian Samudra Hindia.
Tapi jika perhatian kita hanya terpaku pada jenis gempa seperti ini, kita akan lengah terhadap bahaya lain. Bagian timur Indonesia memiliki banyak lempeng kecil, yang saling bersinggungan akibat pergerakan lempeng besar Australia, Sunda, Pasifik, dan Laut Filipina.
Gempa September 2018 disebabkan oleh apa yang disebut “sesar geser (strike-slip)” di dalam salah satu lempeng kecil ini. Gempa seperti ini amat jarang menimbulkan tsunami.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR