Seruput Kopi 'Dolo' Toraja Pulu Pulu di Yogyakarta

By Agni Malagina, Selasa, 11 Desember 2018 | 19:03 WIB
Geliat generasi milenial memulai bisnis kopi turut meramaikan dunia perkopian di Indonesia. Para pengusaha muda kopi di Indonesia semakin dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang kopi dan khasanah tutur kisah kopi khas Indonesia. (Sigit Pamungkas)

Nationalgeographic.co.id - “Sejauh mana kamu bertanggung jawab dengan kampungmu,” ujar George Guling, seorang pemuda insinyur perminyakan yang baru saja membuka kedai kopi dan bergelut dengan kopi Toraja dari kampung halaman sang ayahanda—Cornelis Guling.

Slogan itu ia gunakan untuk memperkenalkan kembali kopi Toraja yang sempat hilang dari peredaran beberapa waktu lalu.

Ia meninggalkan kenyamanan kemapanan bekerja di perusahaan minyak untuk kembali ke tempat kelahirannya, Yogyakarta. “Setelah mengundurkan diri dari perusahaan offshore, saya kembali ke Yogyakarta dan bergelut dengan kopi,” ujar George yang membuka kedai kopi—Cornel Coffee di Yogyakarta yang terletak tak begitu jauh dari kampus Universitas Pembangunan Nasional Veteran.

Pada usianya yang masih muda, pria kelahiran tahun 1992 ini memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang kopi Toraja. Terutama kopi di kebun milik keluarganya di Pulu Pulu yang merupakan desa tertinggi di Toraja Utara—sekitar 1900 mdpl.

Baca Juga : Kisah Perempuan yang Berhasil Melakukan Kontak dengan Suku Terasing Sentinel

Neneknya, Maria Sina yang berusia 85 tahun, sampai saat ini masih sibuk mengelola kebun kopi yang mereka sebut pohon kopi tua Toraja Dolo atau ‘Toraja Lama’ alias ‘Toraja Tua’.

Kopi di Toraja sering disebut Ka—kahwa yang berarti kopi dalam bahasa Arab. Orang Toraja mempercayai bahwa pohon-pohon kopi tua jenis Arabika mereka berasal dari pedagang Arab. Istilah tersebut tetap bertahan walaupun pemerintah kolonial Belanda juga memperkenalkan kopi jenis Arabika di Toraja.

Abad 17, kopi di wilayah Nusantara menjadi emas hitam komoditas perdagangan dunia. Pemerintah kolonial getol menanam pohon kopi di perkebunan kopi yang tersebar di Sumatra, Jawa, Sulawesi—termasuk Toraja. Perkebunan kopi di Hindia Belanda terutama Toraja pada saat itu tak lepas dari perbudakan. Kopi pilihan unggul bercita rasa khas menjadi milik penguasa kolonial dan pedagang besar.

Rakyat dan budak hanya menikmati daun-daun kopi untuk dikonsumsi. Sejak awal abad 20, tepatnya tahun 1905, kopi-kopi Tana Toraja terbaik dikirim ke Makassar melalui pelabuhan Boengi. Pada masa itu kopi ‘Boengi’ mendapat pengakuan sebagai kopi berkualitas sangat baik dari masyarakat Eropa. Pada masa yang bersamaan, para pedagang kopi Duri mulai memperkenal kopi-kopi regionalnya, terutama kopi yang ditanam di Kalosi.

Pada tahun 1936, ekspor kopi Toraja mencapai angka 1.798 ton. Tren kopi regional ini sekarang dikenal sebagai ‘single origin’. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, para pedagang kopi dari Kalosi mulai mengumpulkan kopi Enrekang.

Sejak itu nama Kopi Kalosi sebagai identitas kopi regional Sulawesi mulai muncul sebagai jaminan mutu kopi Toraja, hingga saat ini, Kopi Kalosi menjadi incaran para pembeli dan penggemar kopi Eropa.

Sejatinya, identitas kopi regional Toraja menurun drastis terutama pada tahun 1962 sampai dengan 1989 saat ICO (Internatioonal Coffee Organization) menerapkan peraturan dan kontrol yang ketat terhadap kualitas dan kuota perdagangan kopi. Jangan heran, begitu baiknya kualitas kopi Toraja sampai-sampai publik Jepang turut mengimpor kopi Toraja selama 30 tahun belakangan.