Nationalgeographic.co.id - Mungkin orang berpikir bahwa kepekaan akan rasa pahit membuat orang lebih sedikit mengonsumsi kopi. Namun, hal itu tidaklah benar. Sebaliknya, orang yang peka terhadap rasa pahit justru mengonsumsi kopi lebih banyak.
Menurut studi yang diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports, kepekaan itu bukan karena selera, melainkan dipengaruhi oleh susunan genetik seseorang.
Baca Juga : Manusia Semakin Besar, Persediaan Makanan di Bumi Terancam Habis
Peneliti dan asisten profesor obat pencegahan (Nutrisi) dari Fakultas Kedokteran Universitas Northwestern, Marilyn Cornelis, mengatakan bahwa konsumen yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi rasa pahit pada kopi, membuat mereka ingin mencari sisi positif dari kafein.
Dengan kata lain, orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi untuk merasakan pahitnya kopi, terutama rasa pahit yang berbeda pada setiap kafein, akan belajar untuk mengasosiasikan rasa tersebut ke hal yang positif.
Temuan ini mengejutkan para peneliti, mengingat rasa pahit berfungsi sebagai mekanisme peringatan tubuh untuk mengeluarkan zat-zat berbahaya.
Penelitian yang dipimpin oleh Jue Sheng Ong dari Institut Penelitian Medis QIMR Berghofer, Brisbane, Australia ini dilakukan untuk memahami bagaimana genetika memengaruhi konsumsi teh, kopi, dan alkohol, yang cenderung terasa pahit.
"Semua rasa pahit mungkin terasa sama, tetapi kami merasakan rasa pahit dari kubis Brussel, air tonik (kina) dan kafein," kata Ong, melansir Live Science, Selasa (27/11/2018).
Ong menambahkan bahwa rasa pahit ini sebagian besar ditentukan oleh gen.
Baca Juga : Serangan Anafilaksis, Reaksi Alergi yang Dapat Menyebabkan Kematian
Untuk menyelidiki hal tersebut, para peneliti kemudian melihat susunan genetik dari 400.000 orang di Inggris yang gemar mengonsumsi minuman pahit.
"Dengan menggunakan gen yang terkait dengan kemampuan untuk merasakan pahit, kami ingin menilai apakah mereka memiliki kecenderungan genetik lebih tinggi untuk mencicipi rasa pahit pada teh atau kopi dibandingkan dengan orang lain," kata Ong.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR