Sejenak Cecapi Sajian Kuliner di Kedai Prata Tertua Tanjungpinang

By Agni Malagina, Selasa, 29 Januari 2019 | 09:00 WIB
Kedai kopi Pagi Sore tarletak di area pusat kota Kota Lama Tanjungpinang. (Feri Latief)

Nationalgeographic.co.id - Kota Lama Tanjungpinang tak dapat dilepaskan dari keberadaan Jalan Merdeka yang termasuk jalan protokol di kawasan tersebut. Sepanjang jalan terdapat rumah toko berarsitektur campuran modern dan Cina ala rumah toko di wilayah sekitar Singapura, Johor, Riau yang dibangun tahun 50 sampai dengan tahun 70an.

Kota Tanjungpinang penah kesohor sebagai kota hiburan pada tahun 1970 hingga 1990-an bagi warga Singapura dan Malaysia. Kini hingar bingar suasana tersebut sudah tak terasa, hanya saja masih banyak tilas kejayaan masa lalu tersisa di kota lama.

Baca Juga : Ketangguhan Haenyeo, Para Penyelam Perempuan di Pulau Jeju

Salah satunya adalah khazanah kedai kopi lawas yang tersebar di sepanjang jalan utama, kota lama Tanjungpinang. Satu yang sering saya singgahi adalah kedai kopi Pagi Sore yang terletak di Jalan Merdeka No. 85. Tempat ini sering saya datangi siang menjelang sore saat melepas lelah ketika melakukan penelitian tentang Pecinan Tanjungpinang akhir tahun 2018. Saya kerap berjumpa Mohammad Yasin (55) generasi kedua pembuat roti Prata legendaris di Tanjungpinang.

Kedai Kopi Pagi Sore didirikan pada tahun 1951 oleh H. Taruthi Kammo, seorang keturunan India asal kota Kanur, desa Kodali yang berjarak 857 km dari Tamil. Awalnya kedai ini bernama Restoran Kammo, hingga diganti menjadi Kedai Kopi Pagi Sore pada tahun 1972. Sejak tahun 1990 hingga saat ini kedai berbentuk ruko dengan dua lantai ini dikelola oleh Yasin.

Mohd. Yasin sedang mempersiapkan kulit roti prata di Kedai Kopi Pagi Sore. (Feri Latief)

“Bangunan ini disewa dari seorang tuan tanah, orang Tionghoa di Jalan Gambir. Dulu banyak orang India, dari Singapura bekerja di sini, setiap dua tahun pulang. Tapi ayah saya betah di sini,” ujar Yasin sambil menceritakan tentang kisah orang India di Tanjugpinang pada tahun 1950an.

Ia mengenang bahwa tahun 1973 orang India yang banyak bermukim di kawasan Pelantar Tanjungpinag, seperti Pasar Ikan, Gang Gambir, dan Lorong Bintan mulai berkurang karena peraturan pembatasan orang asing. Ia pun menggambarkan kehidupan yang harmonis di kawasan itu.

 “Emak saya orang Klaten, Siti Umi namanya. Ayah emak tinggal di wilayah Pecinan sini Jalan Pasar Ikan. Emak saya sering bikin kue-kue, amoy-amoy sering bantu Emak bikin kue. Saling berbagi kalau warga di sini. Emak membagi bubur candil, amoy-amoy membagi bacangnya,” ujar Yasin menceritakan kebiasaan ibunya berhubungan dengan para tentangga di kawasan Pecinan Tanjungpinang.

“Tahun 75an Tanjungpinang ramai sekali, barang impor masuk sini murah. Istilahnya dulu sih kita nggak nyari duit, duit yang nyari kita,” kenang Yasin sembari menceritakan murahnya harga celana denim keluaran Levis.

“Waktu di Jakarta harga Levis Rp12.000, di sini cuma Rp3.000,”ujar Yasin sambil tergelak sambil menambahkan bahwa pada tahun 1987-1988 Tanjungpinang mulai sepi.

Kedai roti prata Pagi Sore buka mulai pagi hari pukul 07.00 hingga pukul 16.00 WIB. Kedai roti pratanya adalah kedai roti prata tertua di Tanjungpinang. “Ayah saya yang pertama buka usaha roti prata. Dulu awal-awal tahun 1951 sampai 1975, asli bumbu dan rempahnya, tapi malah tidak banyak yang suka, jadi dimodif, sempat jual nasi briyani tapi tak laku,” ungkap Yasin yang juga pernah mencoba membuat ‘dalca’ kari berkacang, tetapi tak pernah ia produksi lagi karena tidak laku juga. “Saya ngikutin selera warga saja,” jelas Yasin tersenyum.