Menjaga Habitat Mangrove, Meraih Asa di Delta Kayan Sembakung

By Rahmad Azhar Hutomo, Sabtu, 26 Januari 2019 | 13:00 WIB
Tambak tradisional yang baru panen ini dibuka pada 1990-an dengan membabat habis hutan mangrove. Pohon-pohon yang meranggas di tepi jauh tambak menjadi saksi mangrove pernah tumbuh rimbun. (Rahmad Azhar Hutomo)

Nationalgeographic.co.id - Perahu kami lumpuh. Baling-baling perahu bermesin 40 PK itu terantuk gosong di Muara Bulungan. Kami sedikit telat membaca waktu surut air. Selepas tengah hari, perairan Delta Kayan-Sembakung, Kalimantan Utara, begitu berkuasa.

Di depan kami, perahu yang ditumpangi Sumardi dan sejumlah petambak tak kurang nahasnya. Padahal, ia mengenal seluk-beluk Muara Bulungan lantaran tambak udangnya tak jauh dari dangkalan pasir yang mengadang.

Usai bergelut dengan gosong, saya tiba di tambak. Sumardi tergopoh-gopoh melucuti pakaiannya. Kemudian, lelaki 41 tahun itu menyelinap ke kedalaman pintu air tambak. Rupanya, daun pintunya terangkat. “Kalau air habis, tambak bisa kering, dan udang mati,” katanya.

Panen udang windu baru saja rampung di tambak itu. Fatahudin, si empunya tambak, melepas lelah di teras pondok sambil memandangi kerumunan kuntul yang mengais makanan.

Baca Juga : Bencana Alam Hingga Perpecahan Politik, Ancaman Terbesar yang Dihadapi Dunia di 2019

Tambak Fatahudin yang seluas lima hektare hanya panen 80 kilogram udang. “Tahun 2016 hasilnya bagus, 2017 turun. Hasil 2016 disimpan untuk 2017. Gali lubang tutup lubang,” ujarnya.

Ukuran udang sebenarnya bagus: sebesar empat ibu jari. Satu kilogram berisi kira-kira 20 udang. Sayangnya, total panen terlalu sedikit.

Fatahudin membeli lahan itu pada 1993. “Kami membeli dari tangan pertama,” seru istrinya, Sukmawati.

Celetukan saya tentang keabsahan lahan mengaduk benak terdalam Fatahudin dan istrinya ihwal asal-usul tambaknya. Lahan yang sumber kehidupan lelaki 65 tahun itu menghampar di tanah negara yang berstatus kawasan hutan. Saat membeli, ia hanya berurusan dengan pemilik pertama yang mengurus surat-surat lahan di kepala desa setempat.

Selain menyerap tenaga kerja, budi daya udang windu juga menumbuhkan jaringan usaha: logistik pondok, pemasaran, penyimpanan, pengolahan, dan transportasi. Manfaatnya merentang dari skala pondok sampai pabrik pengolahan udang yang menyokong perputaran ekonomi Kaltara. (Rahmad Azhar Hutomo / National Geographic Indonesia)

Sejak 1990-an sampai hari ini, tambak di delta Kaltara adalah pemasok utama udang windu nasional. (Sebelum 2012, kawasan ini berada dalam administrasi Kalimantan Timur). Dari dermaga pengolahan di Pulau Tarakan, 80 persen udang diekspor ke Jepang, sisanya ke negara Asia lain, sebagian kecil lagi ke Uni Eropa dan AS.

Udang Kaltara menjadi primadona di Jepang dengan sebutan udang Tarakan. Perputaran uang di bisnis udang pada 2014 saja mencapai Rp32,5 triliun, yang mengerdilkan anggaran pendapatan belanja Kaltara 2017 yang hanya Rp2,3 triliun.