Menjaga Habitat Mangrove, Meraih Asa di Delta Kayan Sembakung

By Rahmad Azhar Hutomo, Sabtu, 26 Januari 2019 | 13:00 WIB
Tambak tradisional yang baru panen ini dibuka pada 1990-an dengan membabat habis hutan mangrove. Pohon-pohon yang meranggas di tepi jauh tambak menjadi saksi mangrove pernah tumbuh rimbun. (Rahmad Azhar Hutomo)

Hingga, ingatan Haji Sani sampai pada suatu peristiwa di Tanjungselor, Kabupaten Bulungan: Dinas Perikanan Bulungan mengundang petambak, dan menerbitkan keputusan yang memberi kebebasan berusaha di lahan tambak.

Yang saya tahu, surat itu adalah izin usaha dari pemerintah Kabupaten Bulungan yang terbit pada 2006. Ada dua surat sebenarnya: izin usaha perikanan dan izin penggunaan tanah. Dari izin usaha perikanan, pemerintah Bulungan memungut restribusi, sedangkan dari izin penggunaan tanah ada pajak bumi dan bangunan.

Lantaran sebagian lahan tambak ada di kawasan hutan yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2010 bupati Bulungan mencabut izin usaha. Penerbitan izin itu bisa dibilang mengubah kawasan hutan menjadi kawasan budidaya nonkehutanan. Perubahan fungsi kawasan ini melanggar peraturan sehingga izin usaha dari bupati Bulungan dipandang tidak sah.

Ada dua legalitas yang acap saling bertukar konteks yang memperumit situasi: Legalitas lahan dan legalitas izin usaha. Posisi untuk izin usaha terang benderang: telah dicabut bupati. Namun untuk legalitas lahan, sebagian petambak yang jujur masih membayar PBB untuk izin penggunaan tanah.

Di sela akar bakau Rhizophora sp, perangkap kepiting dipasang oleh nelayan kecil dari Liagu, Sekatak, Bulungan. Hutan mangrove menyokong kehidupan di dua alam: perairan dan daratan. Jasa lingkungan mangrove dirasakan nelayan untuk mencari ikan, udang, dan kepiting. (Rahmad Azhar Hutomo / National Geographic Indonesia)

Sejak pencabutan izin, isu legalitas mati suri. Pada 2013, setelah Kaltara mekar dari Kalimantan Timur, penjabat Gubernur Kaltara Irianto Lambrie mengusulkan pelepasan status kawasan hutan menjadi kawasan budidaya nonkehutanan kepada pemerintah pusat.

Usulan itu pula yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kaltara yang baru disahkan pada awal 2017. “Dalam bahasa saya, yang dicapai Kaltara itu melebihi usianya,” tutur pria itu kepada saya di kantornya.

“Kita belum bisa berjalan kaki, bahkan merangkak pun susah, tapi dipaksa untuk berlari.” Irianto menamsilkan, meski merupakan provinsi termuda, Kaltara mampu mengesahkan rencana tata ruangnya dengan cepat.

Untuk keamanan tambak, ia berkoordinasi dengan kepolisian, yang ternyata juga menghadapi keterbatasan. “Ujung-ujungnya, semua kembali ke pemprov,” lanjutnya. Irianto memberikan solusi: pengamanan swadaya. Ia menyarankan petambak mengorganisasi diri, dan berbagi iuran untuk menjaga keamanan.

“Selama ini pemerintah tidak menarik pajak. Lahan petambak pun berstatus tanah negara, dan tanpa hak legal. Dari sisi pelayanan publik, kalau membayar pajak, mereka bisa menuntut pengamanan,” paparnya.

Tak ingin terjebak di kubangan yang sama, Kaltara mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan. Dengan perubahan itu, Irianto mengimbuhkan, petambak bisa mendapatkan legalitas lahan dan izin usaha, mendapatkan kredit bank atau fasilitas lain, sedangkan pemerintah memperoleh pendapatan.

Visi optimis ini bersifat jangka panjang, butuh proses lama, melibatkan seluruh jenjang pemerintahan dari pusat hingga daerah. Pemerintah kabupaten dan kota yang mencakup wilayah delta pun masih perlu menyelaraskan tata ruangnya dengan provinsi. Dalam jangka pendek, bagian yang tak kalah pelik adalah ikhtiar yang menusuk langsung ke jantung dilema.