Menjaga Habitat Mangrove, Meraih Asa di Delta Kayan Sembakung

By Rahmad Azhar Hutomo, Sabtu, 26 Januari 2019 | 13:00 WIB
Tambak tradisional yang baru panen ini dibuka pada 1990-an dengan membabat habis hutan mangrove. Pohon-pohon yang meranggas di tepi jauh tambak menjadi saksi mangrove pernah tumbuh rimbun. (Rahmad Azhar Hutomo)

Peliknya, tambak seluas hampir 150 ribu hektare berada di tanah negara berstatus kawasan hutan dan kawasan budidaya nonkehutanan (atau areal penggunaan lain).

Lebih pelik lagi, pembukaan tambak selama tiga dekade menurunkan daya dukung ekosistem delta. Setelah melewati masa jaya pada 2000-an, produksi udang windu perlahan merosot.

Dari sisi ekosistem, estuari raksasa ini membentengi daratan utama Kaltara. Delta membentang di sepanjang garis mulai dari batas negara Pulau Sebatik di utara, sampai Kalimantan Timur di selatan. Pada 2016, ekosistem perairan ini pun disebut sebagai Delta Kayan-Sembakung. 

Beban yang dihadapi Fatahudin mengusik nurani saya. Ia memang petambak kecil dengan peran kecil dalam mata rantai ekonomi udang windu Kaltara. Tetapi, situasi Fatahudin juga dihadapi oleh seluruh petambak.

Untuk memahami suasana batin delta, saya merunut kembali sejarah pertambakan dari generasi pertama. Di jantung Kota Tarakan, saya menjumpai Puang Haji Muhammad Sani, salah seorang pelopor budidaya udang windu.

“Awalnya, pada 1979, kami membuka tambak di Gunung Lingkas. Lalu pada 1984, tambak berkembang ke Juwata. Itu masih di Tarakan,” tuturnya dengan suara berat yang tertahan. Aura wibawa yang mengapung di udara membuat saya menyimak dengan khidmat.

Beberapa tahun kemudian, seputar 1990-an, “Kami menyeberang ke Tanjung Karis, lalu ke Sangato, dan membuka tambak di sana.” Dia menyebut beberapa generasi pertama petambak di luar Tarakan: Haji Sekkar atau Haji Sikir yang membuka tambak di Sangato, dan Haji Muhammad Soleh di Tanjung Karis.

Firman melepas benur di tambaknya yang telah ditanami bakau. Sebelum nya, tambak di Tana Kunung ini (Rahmad Azhar Hutomo / National Geographic Indonesia)

Di antara memori Haji Sani yang makin kabur, terselip kenangan sengketa dengan perusahaan kayu. “Kayunya diambil oleh perusahaan, tapi tanahnya yang sudah tak berkayu kami garap untuk mata pencaharian. Kami terus mengelola, dan perusahaan terus mengklaim.”

Hanya saja, para petambak yang saya jumpai berpendirian lahannya sah secara hukum. “Yang penting, kami tidak langsung masuk ke lahan, lalu mengelola tambak. Pertama, kami membeli dari warga setempat yang menyatakan itu lahannya,” jelas Haji Muhammad Nurhasan, generasi kedua garis bisnis almarhum Haji Muhammad Soleh.

Kedua, lanjut Nurhasan, “Kami melapor ke kepala desa untuk memastikan hak milik lahan, dan kepala desa mengeluarkan surat resmi. Setelah itu, kami tidak pernah tahu apakah tambak masuk kawasan budidaya nonkehutanan atau kawasan budidaya kehutanan,” imbuh pria yang juga ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kaltara.

Tiadanya otoritas kehutanan di lapangan membuat keadaan nyaris tanpa peraturan. Petambak menyalurkan aspirasinya kepada berbagai pihak: pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, yang mengambil kebijakan berbeda.