Demam Berdarah: Memanfaatkan Google Trends Sebagai Sistem Monitoring

By National Geographic Indonesia, Senin, 28 Januari 2019 | 13:43 WIB
Nyamuk Aedes Aegypti (LoveSilhouette/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Dalam dua pekan Januari tahun ini, hampir 150 warga Depok Jawa Barat terkena demam berdarah dengue (DBD). Di Jakarta, jumlah kasus DBD meningkat hampir dua kali (370 kasus) pada bulan ini dibanding periode yang sama tahun lalu. Angka sebenarnya mungkin lebih tinggi karena belum semua kasus di fasilitas kesehatan terlaporkan.

Kementerian Kesehatan telah menyatakan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah. Bahkan ada kematian karena DBD seperti di Kabupaten Semarang dan Labuan Bajo. Sejak awal Januari 2019 kasus demam berdarah dengue (DBD) meningkat drastis di berbagai daerah.

Baca Juga : Memberantas Demam Berdarah Dengue dengan 'Memandulkan' Nyamuk

Selain cara-cara konvensional (pendataan kasus lewat fasilitas kesehatan), kini saatnya memanfaatkan data di internet untuk mendukung sistem monitoring DBD yang lebih efektif. Riset terbaru kami menunjukkan bahwa data di internet bisa dipakai untuk mendeteksi kenaikan kasus DBD lebih cepat dibanding cara konvensional.

Kerugian akibat gigitan nyamuk

Indonesia adalah daerah endemis DBD terbesar di Asia Tenggara. Kasus DBD pertama dilaporkan pada 1968 hanya terjadi di Surabaya dan Jakarta. Kini, tidak ada satu daerah pun di Indonesia yang aman dari DBD.

Estimasi kerugian akibat KLB DBD pada 2011 diperkirakan mencapai lebih dari US$6 juta dan diperkirakan naik menjadi lebih dari US$380 juta pada 2015.

Karena musim hujan diperkirakan berlanjut dalam beberapa bulan ke depan risiko kesakitan dan wabah DBD perlu diwaspadai dan diantisipasi.

Keterbatasan pengawasan saat ini

Mengacu pada Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue yang terbitkan oleh Kementerian Kesehatan, setiap pasien kasus DBD yang dirawat di rumah sakit wajib dilaporkan dalam 1x24 jam sejak diagnosis ditetapkan.

Namun sistem Kewaspadaan Dini Rumah Sakit (KD-RS) tidak selalu tepat waktu. Sebuah riset di Bandung mengungkapkan bahwa hanya 45,7% kasus DBD yang dilaporkan ke dinas kesehatan kota, itu pun setelah beberapa hari hingga bulan.

Lagi pula, pelaporan kasus DBD dari rumah sakit telah melewati sekian hari masa inkubasi sejak pertama kali digigit oleh nyamuk Aedes aegypti. Korban umumnya memulai dengan minum obat penurun panas, berkunjung ke Puskesmas atau klinik, baru kemudian dirawat di rumah sakit. Dengan mudahnya mencari informasi, pasien diduga mulai googling di Internet tentang DBD sejak awal masa inkubasi.