Sejarah Banjir di Jakarta, Sudah Terjadi Sejak Zaman Tarumanegara

By National Geographic Indonesia, Rabu, 27 Februari 2019 | 10:00 WIB
Banjir di Jakarta pada 2014. (danikancil/Getty Images)

Nationalgeographic.co.id - Banjir atau genangan air dan berawa-rawa ini merupakan penyakit menahun bagi Jakarta. Sejauh ingatan orang, Jakarta selalu diganggu oleh masalah air. Dari masa yang paling dini, semasa kerajaan Tarumanagara, prasasti Tugu sudah menyebutkan adanya banjir dan penanggulannya dalam abad ke lima Masehi.

Entah mengapa, orang tetap suka wilayah yang sering banjir dan berawa-rawa ini. Berabad-abad setelah Purnawarman, pendatang-pendatang asing mengunjungi bandar yang bernama Jakarta atau Jayakarta yang letaknya di muara Ciliwung. Kota ini seakan-akan terletak di rawa, terpisah dari teluk oleh gosong-gosong lumpur, yang pada waktu surut hanya digenangi oleh air hampir satu kaki.

Dalam musim hujan, kota ini tak jarang digenangi oleh air limpahan Ciliwung atau Sungai Besar. Sedangkan, di musim kemarau, airnya sangat sedikit. Keadaan tata air di Jakarta dikatakan sangat buruk.Itu kata pengamat Belanda yang waktu itu masih berdagang dan kapal-kapalnya sering menyinggahi bandar itu. 

Baca Juga : Kisah Perjuangan Martha Christina Tiahahu, Srikandi dari Tanah Maluku

Namun, tempat yang tata airnya buruk itu agaknya mempunyai daya-tarik besar. Buktinya mereka minta dan diberikan izin oleh penguasa Jayakarta untuk mendirikan gudang dan pangkalan di muara Ciliwung. Gudang yang merangkap kantor itu didirikan pada tahun 1612 di sebelah timur muara kemudian ditetapkan menjadi kantor pusat, tempat pertemuan kapal-kapal Belanda dan pusat perdagangan.

Pilihan itu jatuh pada kota Jakarta karena letaknya di tengah jalur pelayaran ke Timur (Maluku) dan Barat. Dalam pertikaiannya dengan bupati Jayakarta, dan Inggris, akhirnya pada tahun 1619 Jakarta diserbu dan dibakar habis.

Belanda menggali parit

Di atas puing-puing Jakarta didirikan kota yang diberi nama menurut nama benteng tertua, yakni "Batavia". Kota itu dibangun menurut pola perencanaan sebuah kota Belanda. Terusan-terusan digali berhubungan dengan Sungai Besar (Ciliwung). Terusan yang memotong-motong kota dimaksudkan untuk drainase dan lalulintas air, sedangkan yang dibuat melingkungi kota tujuannya ialah pertahanan.

Pendangkalan parit

Karena sungai membawa lumpur dari pegunungan, maka kemudian terusan-terusan itu mengalami pendangkalan. Untuk mengatasi itu diadakan pengerukan-pengerukan. Pengembangan kota mula-mula ke arah Selatan dan Timur, kemudian juga ke arah Barat, jadi ke tepi kiri Ciliwung memerlukan perluasan sistem terusan ini. Di dalam kota Batavia terdapat 16 terusan yang masing-masing diberi nama seperti Tijgergracht, Garnalengracht, Moorschegracht dan sebagainya.

Pada pertengahan abad ke-17 sistem terusan itu diperluas sampai sungai-sungai di luar kota. Perluasan ini sangat penting, sebab dengan demikian persawahan dan ladang tebu di luar kota dapat diairi di samping menjamin pengaliran air ke dalam kota, karena di musim kemarau air Ciliwung sering tidak memadai.

Dalam tahun 1647 digali terusan Amanus (sekarang masih mengalir sepanjang Bandengan Utara) di sebelah Barat dari Kali Angke dan terusan Ancol di sebelah Timur dari Kali Sunter ke arah kota. Selanjutnya antara 1653 dan 1659 digali terusan Bageracht (Kali Jelakeng sepanjang Jl. Pekojan) yang menghubungkan Kali Angke dengan Kali Krukut, anak sungai Ciliwung. Antara 1678 dan 1686 digali terusan Mookervaart (yang sampai sekarang masih terlihat di sebelah kiri jalan raya Jakarta ke Tangerang) dari Cisadane di Tangerang ke Kali Angke.