Agaknya orang tidak belajar dari pengalaman Van Imhoff dalam pertengahan abad ke-18, bahwa orang tak bisa menyelesaikan masalah air dengan menghindarinya. Hal ini harus dialami lagi dalam pertengahan abad ke-19.Di kota yang baru pun banjir berkali-kali melanda mengingatkan bahwa masalahnya belum dipecahkan.
Dalam bulan Januari 1832 sebuah pagelaran Deutsche Militaer Liebhaber-Theater terpaksa dibatalkan karena banjir di Weltevreden. Dalam bulan Januari 1832 peneliti alam termasyhur Junghun akan berangkat dengan kapal api dari Betawi. Untuk tidak ketinggalan kapal, tengah malam buta ia sudah berangkat ke kota yang sedang dilanda banjir.
Dalam keadaan gelap gulita ia lalu mengerobok air untuk mencari perahu yang bisa membawanya ke kapal. Tetapi waktu itu tepian dan kali telah menjadi satu dan tiba-tiba ia kehilangan pijakannya sehingga air melampaui kepalanya dan akhirnya sang kapal mengangkat sauh di depan hidungnya.
Baca Juga : Terasi dalam Catatan Terlawas Penjelajah Inggris
Dalam tahun 1872 terjadi lagi banjir besar dengan tinggi air melampaui 1 m yang melanda baik kota bawah maupun kota atas, padahal Departemen Tata Air dan Pekerjaan Umum yang seharusnya menangani masalah ini sudan didirikan dalam tahun 1854. Sehingga orang mengejek singkatan B.O.W. (Burgerlijke Openbare Werken) sebagai Batavia Onder Water (Betawi di bawah genangan air).
Waktu itu pemecahan diusahakan, antara lain dengan membuat suatu sodetan pada Kali Grogol dan Kali Krukut. Selanjutnya pengendalian air dengan pintu-pintu pada hilir Kali Krukut di Karet dan Kali Grogol di Jembatan Besi, pula pada terusan Bageracht di Kampung Gusti, pada Kali Angke dan di Jembatan Dua. Ciliwung dibuatkan lagi saluran baru dari Gunungsahari ke arah Ancol dan pembuatan pintu air di Jembatan Merah. Pada waktu itu juga kali Cideng di belokan lewat Kebon Sirih.
Banjir kanal
Dalam tahun-tahun berikutnya ternyata bahwa usaha-usaha itu belum memadai untuk mengatasi banjir-banjir besar. Paling-paling berguna untuk menyalurkan banjir kecil yang terjadi tiap musim hujan dan biasanya yang terhindar hanyalah bagian kota bawah.
Pemecahan tata air yang paling menyeluruh dan berhasil ialah perencanaan perbaikan tata air oleh Ir. H. van Breen yang diajukan pada tahun 1911 dengan banjir kanalnya yang terkenal itu. Pekerjaan ini dimulai dalam tahun 1913 dengan pembuatan saluran dari pintu air Manggarai menyusuri pinggiran kota waktu itu di bagian selatan dan barat untuk akhirnya bermuara di daerah Muara Karang.
Setelah dibuat saluran pengalih air banjir boleh dikatakan masalah banjir dapat diatasi, paling tidak di daerah Jakarta yang "gedongan" Patut diingat bahwa pada tahun 1930-an wilayah "gemeente" (kotapraja) Batavia, tanpa Jatinegara, hanya meliputi luas 155 km persegi dan penduduknya termasuk Jatinegara hanya 300.000 orang.
Setelah kemerdekaan dan menjadi Ibukota Republik perkembangan kota dan pertambahan penduduk mengalami ledakan yang tak pemah dialami sebelumnya. Kalau sebelum perang dunia Batavia direncanakan Belandauntuk bisa menampung sekitar 600.000 orang penduduk, ternyata pada tahun 1961 jumlah penduduk telah mencapai jumlah 3 juta.
Pada waktu sekarang diperkirakan jumlah itu telah menjadi dua kali lipat. Jelas bahwa rencana Breen yang membuat banjir kanal itu sudah tidak banyak manfaatnya lagi setelah tahun limapuluhan. Sementara itu rencana penanggulangan banjir yang menyeluruh dan ditangani secara besar-besaran baru dilaksanakan setelah tahun 1966.
Perbaikan demi perbaikan telah dikerjakan, tetapi sementara itu kota dan penduduknya mengembang terus, seperti berlomba dengan peningkatan dan perbaikan prasarana kota. Yang manakah gerangan akan tertinggal?
(Inilah sejarah banjir di Jakarta yang berhasil dikumpulkan oleh Siswadhi, dan dimuat dalam Intisari edisi Maret 1982)