Nationalgeographic.co.id - Pesisir pantai utara Jawa memiliki khasanah batik pesisir yang kaya warna, motif, dan makna simbolis. Cirebon, Pekalongan, Batang, Kudus, Lasem, Madura, merupakan daerah pesisir yang masih memproduksi batik sejak abad 19.
Lasem merupakan salah satu kota yang dicatat oleh Van Deventer dalam Overzicht van den Economischen toestand der Inlandsche Bevolking Java en Madorea tahun 1904 bersama Solo dan Pekalongan sebagai kota pusat pembuatan batik. Van Deventer juga menyebutkan bahwa kemunculan batik Lasem dalam skala besar merupakan fenomena aneh dengan pengusahanya keseluruhan adalah orang Cina.
Dalam Batikrapport yang disusun oleh P De KAT Angelino, sampai pada tahun 1931 tercatat Lasem memiliki 120 pengusaha batik Tionghoa yang tersebar di desa Soditan, Gambiran, Karangturi, Babagan, dan Gedongmulyo.
Dari sekian banyak jumlah yang dicatat oleh Angelino pada awal abad 20, kini tak banyak lagi rumah batik di kawasan tersebut yang beroperasi, ada yang sudah tutup karena pemiliknya meninggal dan tidak ada yang meneruskan, ada yang memang tak ada lagi yang meneruskan.
Nama-nama masyur sebagai rumah batik kuna di Lasem tercatat seperti Rumah Batik Ong’s Art Maranatha, Batik Mawar, Nyah Kiok, Padi Boeloe, Sekar Kencana, Kidang Mas, Katrin Bee, Batik Gajah, Purnomo. Sebagian lagi ada yang pernah mati suri dan hidup kembali seperti Pusaka Beruang milik Santoso Hartono yang meneruskan usaha rintisan nenek dan ibunda setelah vakum hampir 15 tahun.
Baca Juga : Rumah Bheley, Rumah Berlanggam Paduan Madura Cina di Bangkalan
Rumah batik yang terakhir bangkit adalah Batik Lumintu yang dijalankan oleh Ekawatiningsih. Eka, menghidupkan kembali tradisi membatik jaman kakeknya dan kakak sang ibunda di rumah kuna berusia 200 tahun yang beralamat Jalan Sumbergirang II No.2, Lasem.
“Dulu engkong saya yang mbatik, dilanjut oleh kakaknya mama. Mama ini ndakmbatik. Engkong dulu bikin blanko merah untuk dikirim ke Solo. Nah, Engkong malah besanan sama keluarga Solo itu,” ujar Eka yang ‘baru’ membatik pada tahun 2016.
Sesungguhnya, ketertarikannya pada batik telah muncul sejak tahun 2004. Pada tahun 2015, Eka ‘terpaksa’ pulang setelah sang ibunda jatuh dan membutuhkan Eka untuk mendampinginya. Eka pun pulang kampung setelah lebih dari 30 tahun ‘pergi’ melanjutkan sekolah dan bekerja di Semarang. Ia menceritakan bahwa setelah sang kakek meninggal pada tahun 1958, usaha batik tersebut dilanjutkan oleh kakak dari ibunda Eka hingga tahun 1977. Sejak itu, tak ada lagi kegiatan membatik di rumah khas langgam Cina Hindia.
“Saya terlambat,”ujarnya singkat. Ia mengaku banyak dibantu kawan-kawan seangkatan sekolahnya yaitu Santoso Hartono pemilik rumah batik Pusaka Beruang dan Pomo pemilik rumah batik Mawar.
“Mereka kawan seangkatan waktu di SD Wijaya, banyak membantu saya yang idealis. Saya pernah di titik nol, tidak ada pembeli. Sampai kemudian ada desainer batik namanya Mbak Linda kawan di Jakarta, dia yang rutin membeli,” ujar Eka yang memulai usahanya dengan tiga orang pembatik senior yang pernah bekerja pada rumah batik yang sudah tutup.
Awalnya, ia membuat batik dengan warna-warna modern kesukaan pasar kekinian, namun saat ini ia mulai bereksperimen dengan batik tiga negeri klasik atas saran dari pembatiknya, Lasmirah-Parsini-Sukarmi. Lasmirah sendiri adalah pembatik 'alusan' yang sangat menguasai motif kuna Lasem yaitu gunung ringgit.