Hikayat Rumah Perdesaan Milik Petinggi VOC di Palmerah

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 16 April 2019 | 10:48 WIB
Ruangan berlantai kayu jati di lantai dua rumah Andries Hartsinck. Arsitektur indis memberikan ruang, kesejukan, cahaya, dan udara yang cukup. Inilah kearifan Hindia. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Nationalgeographic.co.id — Rumah para petinggi VOC memang dikisahkan glamor dan megah. Tampaknya itulah kesan dari koleksi litografi yang tersimpan di Perpustakaan Nasional. Sayangnya, tak banyak rumah penata laksana abad ke-17 dan ke-18 yang selamat dari beringasnya peradaban kota yang pernah mereka bangun.  Sekitar abad ke-18, banyak warga kelas atas di Batavia membangun berbagai vila di seantero pinggiran kota itu. Penyebabnya, kawasan tembok kota yang kian tak sehat, bising, dan berbau. Situasi di dalam tembok kota Batavia sudah sebegitu padatnya, tak menyisakan tempat untuk membangun rumah baru.

Andries Hartsinck, petinggi VOC di Batavia, membangun sebuah vila di pinggiran Kali Grogol, Palmerah pada 1790-an. Dia berjejak pertama kali di kota itu sebagai akuntan penggajian VOC pada akhir 1774.

Baca Juga : Kisah Malang Hypatia, Dibunuh Karena Melakukan Penelitian Ilmiah

Hartsinck adalah Sang Tuan Tanah yang menguasai Palmerah. Kala itu kawasan Palmerah masih berupa hutan, jauh dari hiruk pikuk kota. Kira-kira dua jam berjalan kaki dari pusat Kota Batavia. Vila milik Hartsinck berarsitektur Nederlandsche-Indische. Bertakhtakan empat pilar dengan lekukan besi tempa yang menyangga atap terasnya. Tampak depannya menghadap arah matahari terbit. Pekarangannya luas. Vila itu didesain memiliki beberapa karakteristik untuk menyesuaikan dengan iklim tropis.

Rumah pedesaan warisan Andries Hartsinck, seorang petinggi VOC yang pernah menjadi residen di Pekalongan, Rembang, dan Surakarta. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Hunian ini dibangun dalam dua lantai, lantai dasarnya bergaleri, bergaya atap tradisi Jawa dan memiliki atap ganda yang meluas ke semua sisi. Lantai dasar berubin dengan pola dekoratif, sementara lantai ruang atasnya dari kayu jati. Semuanya memberikan ruang, kesejukan, cahaya, dan udara yang cukup. Bahkan, kenyamanan itu terasa hingga saat ini. Mungkin—boleh dikatakan—inilah kearifan kolonial.

Gaya arsitektur ini diadopsi oleh banyak rumah perkebunan dalam periode 1750 - 1800, sebagai contoh adalah Rumah Pondok Gedeh (dibongkar pada awal 1990-an), Rumah Tjengkareng (dibongkar pada 1980), dan Rumah Tjililitan Besar.

Pekarangan depan Landhuis Grogol. Foto sekitar 1930-an. (KITLV)

Andries Hartsinck menikahi sembilan perempuan dan memiliki keturunan sepuluh anak, termasuk dua anak dari hubungan tak resmi dengan budaknya.

Andries Hartsinck menikahi sembilan perempuan dan memiliki keturunan sepuluh anak, termasuk dua anak dari hubungan tak resmi dengan budaknya. Hubungan asmara majikan dan budak saat itu sangat lazim, yang kelak melahirkan peradaban indis.

Berikut istri-istri Hartsinck: Saijo Boerat (anaknya bernama Johanna Susanna Hartsinck yang lahir pada 1777; Willemijntje (anaknya bernama Andries Hartsinck dan Paulus Hartsinck. Keduanya lahir pada 1791 dan 1794); Mida (anaknya bernama Pieter Hartsinck, lahir 1793; Roosje van Mandaar (anaknya bernama Frederik Ditloff Hartsinck, lahir 1800); Moetiara van Loean (anaknya bernama Balthazar Frederik Wilhelm Hartsinck, lahir 1800); Malatie van Mandaar (anaknya bernama Anna Hartsinck, lahir 1801); Matra (anaknya bernama Petronella Cornelia Hartsinck, lahir 1794); seorang pribumi mungkin budak (anaknya bernama Sara Cornelia Hartsinck); dan Moetiana van Boegis (anaknya bernama Anthonetta Henrietta Hartsinck).