Mereka yang Tak Pernah Lelah Mempertahankan Batik Tiga Negeri Lasem

By Agni Malagina, Rabu, 3 April 2019 | 10:00 WIB
Batik empat negeri karya Juniah. Tak baanvak lagi para seniman batik tulis Lasem yang memproduksi batik jenis ini dikarenakan oleh faktor tingkat kesulitan yang tinggi. Batik empat negeri disebut juga batik tiga negeri ungon (ungu). (Sigit Pamungkas)

“Meneruskan tradisi keluarga,” pungkasnya.

 Rokim tak sendiri dalam mempertahankan pembuatan batik tulis dan memproduksi batik tiga negeri. Juniah, pembatik mandiri dan membuka sanggar kerja di dalam rumahnya. Ia tak punya pegawai, hanya partner kerja 3 sampai 4 orang yang ia serahi untuk membantu mewarna.

 Sejak usia 12 tahun Juniah telah diajari membatik. Pada usia 14 tahun, ia menjadi pembatik di Rumah Batik Nyah Kiok yang hanya khusus memproduksi batik tiga negeri motif gunung ringgit hingga saat ini.

“Diajari mbatik buat nyari makan, sampai sekarang ya mbatik buat nyari makan,” ujarnya sambil tertawa ringan.

Ia meneruskan kemahiran membatiknya dari sang ibu dan sang nenek. Dalam ingatannya, sang ibu adalah ‘buruh’ blanko.

“Emak mbatik bakal blanko, dulu jadi obenge (pembatik) juragan Cino, itu yang sekarang jadi Toko Pantes (Lasem),” ujar Juniah yang pernah bekerja di dua rumah batik Pecinan, yaitu Rumah Batik Nyah Kiok dan Rumah Batik Ong’s Art Maranatha. Tak heran kepiawaiannya membuat batik tiga negeri dan empat negeri pun tampak dalam karya kain batik tulisnya. Ia mengakui mulai serius menekuni batik tiga negeri sejak tahun 1991. Cantingannya pun termasuk halus dan detil. Tak  ada lagi pembatik alusan di desa Warugunung selain Juniah.

“Nyari orang pun sulit, Nak. Ndak ada yang bisa alusan. Ini juga sulit modal, jadi ya bikin jual, bikin jual,” ujar Juniah. Rata-rata harga batik tiga negerinya ia hargai Rp 1.000.000,-

“Langsung jual, ada uang ada barang, la Ibu ndak punya modal, Nak,” ujarnya sambil memperlihatkan selembar kain panjang batik empat negeri yang sudah ia simpan selama duabelas tahun kepada saya. Ia mengatakan bahwa ia tidak lagi membuat batik empat negeri.

“Sulit, ngelorotmbatik bolak balik. Nyutikinya ruwet kalau empat negeri, juga jarang bakul (orang) yang minta empat negeri,” tuturnya sambil menambahkan bahwa ia membuat paling sering membuat motif batik tiga negeri berupa sekar jagat, lerekan kotakan, kawung, kembang jeruk, gringsing, uget-ugetan, gunung ringgit, kembang suruh, cempaka dan cempaka lincip.

Menurutnya, untuk membuat kain batik tiga negeri paling cepat dapat ia selesaikan dalam tempo tiga bulan dengan dibantu oleh anak perempuannya. Ia mengatakan bahwa membatik baginya memang merupakan sumber pendapatan, namun harus  diimbangi dengan mengurus rumah tangganya.

 “Ya sehari tiga sampai empat jam, lalu harus bersih-bersih rumah, dan masak. Ini ya bertahan saja seadanya tanpa modal besar yang penting terjual,” tambahnya.

Masih banyak lagi kisah-kisah usaha-usaha para seniman batik Lasem seperti Rokim dan Juniah. Bergulat dengan banalitas sehari-hari dan bertahan meneruskan tradisi batik tiga negeri yang sudah pasti harganya cukup tinggi dibanding batik-batik selain tiga negeri dan bermotif besar.

Batik tiga negeri seolah sedang megap-megap karena berbagai faktor, tapi setidaknya, masih ada orang-orang baik individu maupun pengusaha batik tulis Lasem yang membuat batik tiga negeri atas nama tradisi karena memang tradisi batik tiga negeri merupakan warisan sejarah budaya kriya multikultur dan akulturai yang tak mungkin ditolak.

Tradisi batik yang menjadikan Lasem dijuluki kota batik sejak akhir abad 19. Tidak menjadi soal siapa yang memulai membentuk kultur bisnis batik Lasem abad 19 (yaitu masyarakat Cina Lasem), namun yang pasti para pelestari lembaran-lembaran batik tulis Lasem saat ini melanjutkan semangat  karya bersama masyakarat Lasem sejak dahulu hingga sekarang.