Mereka yang Tak Pernah Lelah Mempertahankan Batik Tiga Negeri Lasem

By Agni Malagina, Rabu, 3 April 2019 | 10:00 WIB
Batik empat negeri karya Juniah. Tak baanvak lagi para seniman batik tulis Lasem yang memproduksi batik jenis ini dikarenakan oleh faktor tingkat kesulitan yang tinggi. Batik empat negeri disebut juga batik tiga negeri ungon (ungu). (Sigit Pamungkas)

Nationalgeographic.co.id - Potongan-potongan kisah tentang perusahaan-perusahaan batik tiga negeri Lasem yang mulai menjadi salah satu sentra batik primadona di Hindia Belanda dan negara-negara Hindia Inggris pada pertengahan abad 19 seolah bertebaran dalam kabut debu Jalan Raya Pos Anyer Panarukan yang membelah kota tua Lasem. 

Untuk mengumpulkan ingatan dan narasi batik tiga negeri Lasem bukanlah hal yang mudah. Seperti yang dilaporkan oleh De KAT Angelino dalam Batikrapport yang terbit pada tahun 1931, menyatakan bahwa 120 perusahaan batik di Lasem secara keseluruhan dimiliki oleh masyarakat Cina Lasem. Pekerja mencapai hingga 4.000 orang yang melibatkan pekerja di beberapa desa seperti Tulis, Ngemplak, Karas, hingga Pamotan. Baru sekitar pertengahan abad 20, bermunculan pengusaha-pengusaha batik tulis Lasem dari kelompok masyarakat Jawa.

Salah satu penyebab lambatnya pengusaha etnis Jawa membuka usaha batiknya adalah kesulitan mendapatkan warna-warna yang menjadi tren kala itu karena resep adonan warna batik Lasem yang diimport sampai ke Singapura, Malaysia dan Ceylon tidak pernah keluar dari rumah-rumah bertembok tinggi di kawasan Soditan, Sumbergirang, Karangturi, Babagan, dan Gedongmulyo.

Kisah mengenai resep mewarna batik yang tertutup di balik tembok tinggi rumah-rumah Pecinan Lasem pun beredar luas di kalangan pengusaha batik era tahun 1980 sampai 2000an. Namun bukan berarti tidak ada perusahan batik di luar kawasan tersebut. Rokim, pria yang lahir 56 tahun silam memiliki sanggar kerja batik turun temurun di Desa Selopuro, Lasem. Ia meneruskan usaha batik tiga negeri neneknya (Kasminah), ibunya (Maonah) sejak tahun 1988 dan saat ini memiliki 50 orang pegawai.

"Buyut juga mbatik, tapi lupa namanya,” ujar Rokim yang membuat batik dengan motif warisan keluarganya yaitu kendoro kendiri, bledak cakaran, dan kendoro gringsing dengan ukel-ukelan.

Sejak masa sang ibunda, keluarga mereka membuat sarung, kain dan selendang. Rokim menceritakan bahwa walaupun ibunya mampu melakukan proses pewarnaan, namun karena keterbatasan bahan pewarna, kala itu, sang ibunda membawa kain batiknya ke beberapa rumah batik di Babagan untuk diwarnai.

“Sebelum jaman Jepang mewarna dititip. Soga ke Nyah Yan, biru ke Nyah Rika, merah ke Tok Gie, atau kadang warna sendiri. Sekarang saya mewarna sendiri,” ujar Rokim.

Ia menyebutkan beberapa pengusaha batik di sekitarnya yang mulai pada era 1980an, ada perusahaan yang telah tutup, ada pula yang masih berlanjut seperti Jamilah (Desa Tulis, 1988), Samini (Desa Tulis, 1984 – 1990), Parisih (Desa Tulis, 1984 – 1990), Parti (Desa Tulis, 1984 – 1990), Sundari (putri Parti memulai usahanya tahun 2017), Yahya (1940 satu angkatan dengan Maonah) dan dilanjutkan oleh Makruf Hamdan Batik, Sukiman (Desa Semanggu, 1980 – 1990), dan Munawar (Desa Tulis, 1998-1999).

Rokim dan batik tiga negeri tradisi keluarganya. Ia masih memproduksi batik tiga negeri dengan alasan mempertahankan warisan keluarga. Sanggar kerjanya terletak di Desa Selopuro, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang. (Abdul Karim)

Bagi Rokim, batik tiga negeri adalah batik warisan. Namun ia mengaku menghadapi kendala karena selain prosesnya yang sulit, pembeli batik tiga negeri pun tak seramai batik ‘kekinian’ yang memiliki warna-warna cerah di luar pakem warna batik tiga negeri.

“Susah, sulit,” ujarnya menghela nafas pada saat diwawancarai melalui sambungan telepon. Nafasnya terdengar penuh penat, namun ia tetap berkomitmen membuat batik tiga negeri motif khas warisan nenek moyangnya. Ia pun cukup rajin mengikuti pameran wastra dengan membawa aneka batik keluaran rumah batiknya yang bernama Kidang Kencana Rizki. Ia membuat batik warna-warna terkini dengan tehnik-tehnik yang diajarkan oleh orang tuanya dan berusaha memenuhi selera pasar.

Walaupun ia tahu bahwa kebanyakan konsumen batik tulis Lasem lebih banyak yang memilih kain batik warna modern, namun ia tetap membuat kain panjang tradisi leluhurnya.

“Meneruskan tradisi keluarga,” pungkasnya.

 Rokim tak sendiri dalam mempertahankan pembuatan batik tulis dan memproduksi batik tiga negeri. Juniah, pembatik mandiri dan membuka sanggar kerja di dalam rumahnya. Ia tak punya pegawai, hanya partner kerja 3 sampai 4 orang yang ia serahi untuk membantu mewarna.

 Sejak usia 12 tahun Juniah telah diajari membatik. Pada usia 14 tahun, ia menjadi pembatik di Rumah Batik Nyah Kiok yang hanya khusus memproduksi batik tiga negeri motif gunung ringgit hingga saat ini.

“Diajari mbatik buat nyari makan, sampai sekarang ya mbatik buat nyari makan,” ujarnya sambil tertawa ringan.

Ia meneruskan kemahiran membatiknya dari sang ibu dan sang nenek. Dalam ingatannya, sang ibu adalah ‘buruh’ blanko.

“Emak mbatik bakal blanko, dulu jadi obenge (pembatik) juragan Cino, itu yang sekarang jadi Toko Pantes (Lasem),” ujar Juniah yang pernah bekerja di dua rumah batik Pecinan, yaitu Rumah Batik Nyah Kiok dan Rumah Batik Ong’s Art Maranatha. Tak heran kepiawaiannya membuat batik tiga negeri dan empat negeri pun tampak dalam karya kain batik tulisnya. Ia mengakui mulai serius menekuni batik tiga negeri sejak tahun 1991. Cantingannya pun termasuk halus dan detil. Tak  ada lagi pembatik alusan di desa Warugunung selain Juniah.

“Nyari orang pun sulit, Nak. Ndak ada yang bisa alusan. Ini juga sulit modal, jadi ya bikin jual, bikin jual,” ujar Juniah. Rata-rata harga batik tiga negerinya ia hargai Rp 1.000.000,-

“Langsung jual, ada uang ada barang, la Ibu ndak punya modal, Nak,” ujarnya sambil memperlihatkan selembar kain panjang batik empat negeri yang sudah ia simpan selama duabelas tahun kepada saya. Ia mengatakan bahwa ia tidak lagi membuat batik empat negeri.

“Sulit, ngelorotmbatik bolak balik. Nyutikinya ruwet kalau empat negeri, juga jarang bakul (orang) yang minta empat negeri,” tuturnya sambil menambahkan bahwa ia membuat paling sering membuat motif batik tiga negeri berupa sekar jagat, lerekan kotakan, kawung, kembang jeruk, gringsing, uget-ugetan, gunung ringgit, kembang suruh, cempaka dan cempaka lincip.

Menurutnya, untuk membuat kain batik tiga negeri paling cepat dapat ia selesaikan dalam tempo tiga bulan dengan dibantu oleh anak perempuannya. Ia mengatakan bahwa membatik baginya memang merupakan sumber pendapatan, namun harus  diimbangi dengan mengurus rumah tangganya.

 “Ya sehari tiga sampai empat jam, lalu harus bersih-bersih rumah, dan masak. Ini ya bertahan saja seadanya tanpa modal besar yang penting terjual,” tambahnya.

Masih banyak lagi kisah-kisah usaha-usaha para seniman batik Lasem seperti Rokim dan Juniah. Bergulat dengan banalitas sehari-hari dan bertahan meneruskan tradisi batik tiga negeri yang sudah pasti harganya cukup tinggi dibanding batik-batik selain tiga negeri dan bermotif besar.

Batik tiga negeri seolah sedang megap-megap karena berbagai faktor, tapi setidaknya, masih ada orang-orang baik individu maupun pengusaha batik tulis Lasem yang membuat batik tiga negeri atas nama tradisi karena memang tradisi batik tiga negeri merupakan warisan sejarah budaya kriya multikultur dan akulturai yang tak mungkin ditolak.

Tradisi batik yang menjadikan Lasem dijuluki kota batik sejak akhir abad 19. Tidak menjadi soal siapa yang memulai membentuk kultur bisnis batik Lasem abad 19 (yaitu masyarakat Cina Lasem), namun yang pasti para pelestari lembaran-lembaran batik tulis Lasem saat ini melanjutkan semangat  karya bersama masyakarat Lasem sejak dahulu hingga sekarang.