Dipanagara, Benarkah Sebuah Nama Pembawa Sial?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 10 April 2019 | 17:48 WIB
Seorang pemeran menari sebagai Dipanagara dalam pembacaan dramatik Babad Dipanagara. (Budi ND Dharmawan)

Pada 2007, Ki Roni mendirikan Ikatan Keluarga Pangeran Diponegoro (IKPD) yang bertujuan untuk menyatukan ‘tulang-tulang yang terpisah’ dari wangsa Sang Pangeran. Teror pasca-Perang Jawa telah membuat mereka menyembunyikan jati diri.Berbeda dengan keturunan Sang Pangeran yang berada di Makassar dan Ambon yang leluasa menggunakan gelar kepangeranan leluhur, di Jawa keturunannya dikejar-kejar dan dihabisi—mirip politik pembasmian pelaku G30S. Tak ada lagi keluarga keraton di Jawa Tengah bagian selatan yang berani menggunakan namanya. Tampaknya, sebuah kenyataan bahwa Dipanagara adalah suatu nama yang membawa sial.

“Sampai demikian perihnya kehidupan keturunan Dipanagara pada saat itu,” ujar Ki Roni lirih.

“Tidak ada cucu Dipanagara yang keluar dari pembuangan di Makassar maupun di Ambon”, ujarnya, “karena dikhawatirkan mereka masih bisa menghimpun kekuatan.”  Dia mengungkapkan bahwa keturunan Dipanagara yang pertama kali keluar dari tanah pembuangan adalah Ahmad Diponegoro bin Abdullah Diponegoro dari Ambon. Sekitar 1930-an dia diizinkan pulang ke Jawa, demikian Ki Roni berkisah, dengan catatan tidak boleh di Jawa Timur, Jawa Tengah, atau pun Yogyakarta.  Akhirnya dia tinggal di Cimahi, Jawa Barat sebagai pegawai perusahaan kereta api Hindia Belanda. Dipanagara merupakan figur yang kontroversial. Bagi pihak Belanda, dia merupakan sosok yang mewakili perlawanan terhadap kolonialisme, lewat Perang Sabil. Sementara di pihak Indonesia, dia merupakan sosok yang tidak disukai oleh Keraton Yogyakarta karena dianggap sebagai pengkhianat. Bahkan, pemberontakan Dipanagara telah membuat Keraton Yogyakarta nyaris disirnakan oleh Belanda. 

Ki Roni Sodewo, keturunan ketujuh Dipanagara, berdiri di permakaman laskar moyangnya di Desa Dekso, Kulonprogo. Terdapat setidaknya 147 batu nisan yang berada di tengah kebun warga. Desa ini pernah menjadi markas besar Sang Pangeran pada akhir 1825—usai Selarong diserbu Belanda—hingga 1826. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

“Kami hanya berkomunikasi lewat sandi,” ujarnya mengenang tradisi keturunan Dipanagara yang berada di Kulonprogo dalam menjalin kekerabatan.

Mereka menggunakan sandi keluarga dengan menanam pohon kemuning di halaman rumahnya—pohon yang juga ditanam Dipanagara di pertapaannya di Tegalrejo. Dia menambahkan, mereka biasanya juga menanam pohon sawo di sebelah kanan pintu masuk. Kemudian, jika umumnya orang Jawa membuat sumur di kiri rumah, mereka membuatnya di sisi kanan. Jadi orang tidak perlu mengaku-aku keturunannya Dipanagara, demikian ungkapnya, untuk mencari seseorang keturunan Dipanagara cukup melihat pertanda tadi.

 
Zaman telah berubah dan sandi-sandi yang dipaparkan Ki Roni tadi sudah ditinggalkan oleh generasi sekarang yang memiliki pemikiran terbuka. Sesudah Soekarno memperingati 100 tahun wafatnya Dipanagara di Jakarta dan Makassar pada 1955, ungkapnya, mulai terjalin kembali rekonsiliasi antara Keraton Yogyakarta dan wangsa Dipanagaran.
 
 
Meskipun demikian, hingga hari ini di kawasan perbukitan Menoreh, Ki Roni masih menjumpai keluarga-keluarga keturunan Dipanagara yang memegang teguh pesan leluhur untuk merahasiakan jati diri mereka. Bergabung dalam organisasi yang dibentuk Ki Roni, bagi mereka berarti mengingkari tradisi mereka.    Kepada kerabatnya yang masih memegang teguh pesan leluhur itu Ki Roni pernah berkata, “Sekarang Belanda tidak ada. Inilah saatnya kita bersatu. Saatnya kita tunjukkan siapa kita, ayo berjuang bersama. Karena perjuangan kita belumlah berakhir untuk saat ini. Negara kita masih seperti ini dan ini belum sesuai dengan keinginan para pahlawan. Dan, keinginannya adalah hidup makmur sejahtera.”  Artikel ini bagian dari “Kisah Tragis Sang Pangeran dan Gelora Perang Jawa” dalam majalah National Geographic edisi Agustus 2014.