Nationalgeographic.co.id - Sang Pangeran menjelma sebagai sosok yang kontroversial. Tragisnya, pernah pada suatu masa, namanya tak hanya dipuja sebagai pahlawan tetapi juga dibenci sebagai pemberontak. Bagaimana kisah satu wangsanya di Jawa?
“Dipanagara itu bukan nama orang,” ungkap Ki Roni Sodewo seorang keturunan ketujuh Pangeran Dipanagara yang tinggal di Wates, Kulonprogo. “Itu adalah gelar kepangeranan yang dipakai oleh para putra raja pada zaman dahulu.”
“Dipanagara” merupakan gelar kebangsawanan yang digunakan di keraton Jawa tengah bagian selatan. Sebelum sang penggelora Perang Jawa yang bernama Dipanagara (1785-1855), tercatat dua orang yang menggunakan gelar tersebut.
Ratu Bendara, seorang putri Sultan Mangkubumi, pernah menikah dengan seorang bangsawan Surakarta bernama Pangeran Dipanagara. Pangeran ini wafat pada 1787 dan dikebumikan di Kuncen, Yogyakarta. Jauh sebelumnya, pada awal abad ke-18, seorang dari putra Pakubuwana I turut memberontak pada Perang Suksesi Jawa Kedua. Nama bangsawan pemberontak itu adalah Dipanagara, dan dalam Babad Tanah Jawi mengambil gelar “Erucakra” juga. Dia dilaporkan “menghilang” di Lumajang pada 1723.
Namun, pasca-Perang Jawa, gelar itu tidak digunakan lagi oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta—bahkan sampai sekarang. Keturunan Dipanagara dari anak yang bernama Raden Mas Alip—alias Ki Bagus Singlon atau Ki Sadewa—telah menghuni kawasan di Kulonprogo hingga ngarai Pegunungan Menoreh sejak awal abad ke-19. Raden Mas Alip inilah yang menurunkan trah Dipanagaran di Kulonprogo, termasuk keluarga Ki Roni.
Baca Juga : Kerap Lolos dengan Mudah, Berikut Kisah 5 Penjahat Paling Pintar