Sayangnya, kisah Kartini tentang kotak perhiasan Marie tidak tercantum dalam buku yang melegenda ke seantero Nusantara, Habis Gelap Terbitlah Terang, karya Armijn Pane yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1938.
Armijn memang menyeleksi, menerjemahkan, dan menyunting sebagian surat-surat Kartini yang dihimpun Jacques Henrij Abendanon dalam Door Duisternis Tot Licht (DDTL) yang terbit pada 1911, untuk dimasukkan dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dalam teka teki kotak Kartini, sejatinya Armijn tidak bersalah karena Abendanon pun ternyata tidak mencantumkan surat-surat terkait riwayat kotak itu. Abendanon sengaja menghilangkan beberapa bagian kalimat atau paragraf dalam surat-surat Kartini. Salah satu kemungkinannya, ia tidak begitu tertarik mengungkapkan sisi pribadi atau keluarganya dalam publikasi kumpulan surat itu. Pun, belakangan kita tahu bahwa beberapa kawan korespondensi Kartini hanya rela meminjamkan sebagian surat mereka atau menolak sama sekali untuk meminjamkannya kepada Abendanon.
Baca Juga : Benarkah Benda Asing Ini Jadi Penyebab Jatuhnya Pesawat Ethiopian Airlines?
“Abendanon memang tidak memasukkan semua surat ke Door Duisternis Tot Licht,” ungkap Daniel. “Armijn menerjemahkan DDTL namun membuang lebih banyak bagian.
Daniel menyarankan referensi terbaru buku tentang surat-surat Kartini yang bertajuk Kartini: The Complete Writings 1898-1904, yang terbit pada 2014. Buku itu merupakan hasil penelitian Joost Cote, sejarawan Monash University di Melbourne, yang meneliti tentang kehidupan Kartini selama sekitar dua dasawarsa. “Mbah Joost,” kata Daniel, tekun mengumpulkan dan menyunting seluruh tulisan Kartini, termasuk temuan surat-surat Kartini oleh peneliti lain pada 1980-an. Buku itu telah menjadi rujukan bagi Daniel dan timnya saat menyelisik surat-surat Kartini, khususnya seputar teka teki kotak berukir wayang itu.
Daniel pun melihat bahwa ukiran wayang dalam kotak itu menunjukkan pendobrakan takhayul yang dilakukan Kartini. Pasalnya, semasa hidup Kartini, menampilkan wayang di luar ranah pertunjukan wayang adalah perkara tabu.
Kartini adalah anak keempat dari delapan bersaudara—sekaligus anak perempuan pertama. Orangtuanya adalah R.M. Samingoen dan R.Ay. Ngasirah (garwa ampil). Kehidupan Kartini begitu singkat, namun pemikirannya jauh melampaui orang-orang semasanya: kesetaraan hak, emansipasi perempuan, menemukan kesejatian seni orang Japara, mengangkat industri kreatif rakyat, dan makelar kriya Jawa bagi pasar Eropa.
Sejak kapan kotak perhiasan Marie kembali ke Rembang? Sampai saat ini Museum Kartini Rembang dan Rumah Kartini tengah menyelisik arsipnya. Namun, satu hal yang pasti, ukiran ragam hiasnya mewakili fakta budaya. “Kotak ini mewakili kepiawaian seniman ukir Japara yang ketenarannya pernah mencapai Eropa,” kata Daniel. Dia juga menambahkan, “Ukiran kotak ini juga adalah representasi fakta bahwa apa yang selama ini dicap dan dikotakkan dalam textbooks oleh pakar-pakar seni ukir sebagai motif ukir Japara ternyata salah!”
Dari surat Kartini pada awal 1902, menurut Daniel, kita bisa membaca situasi ekonomi rakyat Japara saat itu yang kian terpuruk. Ekonomi kota kecil ini menurun sejak bandar dipindahkan ke Semarang, dan kian menurun setelah status karesidenan diturunkan menjadi di bawah Semarang.
Di situlah “peran Kartini sebagai makelar kriya Jawa bagi orang Eropa,” ujarnya. Sementara itu Suami-istri Abendanon adalah salah satu pendiri Vereeniging Oost en West yang memasok dan memasarkan produk-produk buatan Kartini ke pasar Eropa. “Nah, kotak ini melambangkan peningkatan taraf ekonomi rakyat Japara sebagai hasil kerja keras Kartini dan adik-adiknya dalam mengangkat industri kreatif.”
Pada Pameran Nasional karya Perempuan pada 1898 di Den Haag, gerai Jawa menampilkan proses membatik. Kartini turut menulis sebuah pengantar bertajuk Handschrift Japara atau tulisan tangan dari Japara. Sejak pameran itu ketertarikan orang Eropa akan eksotisme Jawa pun meningkat. Daniel tidak mengada-ada, ia mengungkapkan, “Nyata dalam artikelnya Van een vergeten uithoekje atau Dari Sudut yang Terlupakan, nasionalisme Kartini yang luar biasa besar.”
Esai tersebut ditulis oleh Kartini pada 1903, yang memaparkan tentang seni ukir khas Japara yang begitu memesona dan bagamana seniman-seniman ukirnya memahat karya mereka. “Van een vergeten uithoekje sudah saya terjemahkan lengkap,” kata Daniel. “Ini penerjemahan yang membuat saya menitikkan air mata haru dalam prosesnya!”