Mantan Serdadu Perang Napoleon Singkap Naskah Pecahnya Tambora

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 17 April 2019 | 12:38 WIB
Ilustrasi bertajuk (Rob Wood /St. Martins Press)

Tatkala Tambora menggelegar dahsyat pada April 1815, Roorda tengah berada dalam kecamuk Perang Napoleon. Barangkali dia pun tak ambil pusing apa yang terjadi di Hindia Belanda pada saat yang sama.

Namun, si penjaga justru marah dan berkilah bahwa anjing tersebut milik sang raja. Mendengar jawaban tersebut, si pedagang pun mencela bahwa Sang Raja Tambora adalah seorang kafir. Celaan itu akhirnya sampai ke telinga Sang Raja, yang membuatnya murka. 

Sang Raja mengundang pedagang itu untuk menjebaknya dalam siasat santap bersama. Jebakan itu adalah, hidangan daging anjing untuk pihak si pedagang dan hidangan daging kambing untuk pihak Sang Raja. Usai bersantap, si pedagang merasa dijebak. Meski demikian, dia tetap membantah telah menyantapnya. Sang Raja pun berdalih, membantah perkataannya berarti mati. Para prajurit segera meringkus si pedagang dan menggiringnya ke puncak Tambora. Sang pedagang pun tewas dibunuh.

Tatkala para prajurit tengah menuruni pinggang Tambora, gunung tersebut menggelegak dan menggelegar dahsyat. Inilah murka dan azab Tuhan kepada Kerajaan Tambora, demikian ungkap naskah tersebut.

Philippus Pieter Roorda van Eysinga. Lahir di Kuinre, 1 Desember 1796. Wafat di Utrecht pada 14 Oktober 1856. (Koninklijke Bibliotheek, Universiteit van Amsterdam)

Kisah dari naskah beraksara Arab itu mungkin berhias bunga-bunga drama. Namun, pada bagian akhir naskah itu barangkali mencoba melukiskan keadaan sesungguhnya kala Tambora mengamuk.

“Sama saktinya dengan kisah pembinasaan Kota Niniwe dan Yerusalem di kalangan orang Kristen.”

Sementara di Makassar dan Bugis—asal naskah—terjadi gelap gulita selama sehari semalam karena hujan abu. Naskah juga melukiskan bencana tsunami yang melanda Makassar kala Tambora bergelora. “Datang air besar dari tiga ombak besar, dari selatan datangnya itu ombak, maka tujuh negeri kecil tenggelam, perahu dagang yang ada berlabuh di situ semuanya dibawa ombak naik di hutan.”

Baca Juga : Dipanagara, Sebuah Nama Pembawa Sial?

Letusan Tambora telah memangkas tinggi gunung tersebut menjadi 2.851 meter, yang awalnya hampir 4.000 meter. Kedahsyatan letusannya merupakan salah satu yang terbesar selama 75.000 tahun terakhir. Dampaknya, terjadi tahun tanpa musim panas di Eropa pada 1816.

Betapa peristiwa gelegar dentuman Tambora itu sungguh menggentarkan. Roorda mengibaratkan ‘bencana kutukan’ yang mendera Tambora “sama saktinya dengan kisah pembinasaan Kota Niniwe dan Yerusalem di kalangan orang Kristen.”

Kisah tentang Roorda ini dinukil biografinya dalam Biographisch woordenboek der Nederlanden. Deel 16 yang disusun oleh A.J. van der Aa,  terbit pada 1874. Untuk sisi naskah, kisah ini bersumber dari buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah karya Henri Chambert-Loir, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia dan École française d'Extrême-Orient, terbit 2004.