Prosesi Pemakaman Megah Sang Mayor Cina Pelindung Besar Kesenian Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 5 Mei 2019 | 12:40 WIB
Dua kereta yang mengiringi arak-arakan pemakaman Mayor Tan Tjin Kie. Arak-arakan upacara pemakaman ini terdiri atas sembilan kelompok yang panjangnya hampir satu kilometer. (Tan Gin Ho, Peringetan dari Wafatnja Majoor Tan Tjin Kie, Druk en Cliche's van G. Kolff & Co. B)
“Perak-peraknja peti berkilat ketjorot oleh mata hari," tulis Tan Gin Ho, "lantas barisan militair kasih salvo.”

 

 
 
Kereta Gajah dan empat kerata lainnya yang membawa krans tengah melewati gerbang kedua. (Tan Gin Ho, Peringetan dari Wafatnja Majoor Tan Tjin Kie, Druk en Cliche's van G. Kolff & Co. B)
 
Kerabat keraton Cirebon, para amtenar bumiputra, Letnan Arab dan keluarga besarnya turut melayat, demikian papar Gin Ho. Sederet opsir Cina dari luar kota: Kapiten Cina Khouw Oen Hoeij dari Batavia, Letnan Cina Thung Tjoen Ho asal Bogor, Sianseng Tan Tek Haij asal Lampegan; hingga Pangeran Ario Mangkoediningrat—yang mewakili Susuhunan Pakubuwono—dan juga Auw Yang Kee yang menjabat Konsul Jenderal Tiongkok.
 

CIREBON KEBANJIRAN PELAYAT. Gin Ho menaksir ada 200.000 orang yang hadir untuk melayat. Biaya sewa kahar atau kereta yang ditarik lembu atau kuda melonjak delapan kali lipat, sementara harga sewa mobil berlipat berjingkat-jingkat hingga empat kali. Gin Ho juga mengamati di sepanjang jalan yang dilalui iring-iringan pelayat, banyak penjual meraup untung yang berlebihan.  “Waroengan ada djoeal aer per kendi ƒ1,” catatnya. “Sepintjoek nasi jang harga bijasa tjoema 1 cent, di djoeal boeat 10 cent ka atas.”

Suikerfabriek Luwunggadjah, pabrik gula yang sekaligus menjadi pabrik uangnya Mayor Tan Tjin Kie. (Tan Gin Ho, Peringetan dari Wafatnja Majoor Tan Thin Kie, Druk en Cliche's van G. Kolff & Co. B)

“Boekan sadja toean-toean Europa tapi ada bebrapa njonja-njonja of [atau] nona-nona Eropa jang toeroet naek di poehon-poehoen.”

Tatkala kereta jenazah lewat, suasana senyap dan takzim. Para pelayat tak berani beruara keras. Mereka yang berada di tepian jalan pun menghormatinya. Orang-orang Eropa membuka topi mereka, sementara nyonya-nyoya Tionghoa bersoja—memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dalam tradisi Konghucu.      

“Maski orang ada begitoe banjak dan di antaranja ada banjak jang koerang makan dan koerang tidoer," tulis Gin Ho, "tapi dari kasihannja Toehan Jang Maha Kwasa semoeannja ada slamet, tida ada kedjadian katjilakaan sewatoe apa.”      

 

Gedong Binarong, istana termegah yang dimiliki Tan Tjin Kie, berhias pilar-pilar dorik. (Tan Gin Ho, Peringetan dari Wafatnja Majoor Tan Tjin Kie, Druk en Cliche's van G. Kolff & Co. B)

PERISTIWA PEMAKAMAN AKBAR itu belum genap seabad, namun apakah kota yang pernah dibangun Tan Tjin Kie juga mengenang dan merawat tinggalannya?

Sam Setyautama, seorang akuntan dan peminat budaya Tionghoa, memberi kesaksian soal kabar terakhir makam Mayor Tan Tjin Kie. Dalam buku karyanya, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, Sam mengisahkan pelancongannya ke Dukusemar pada awal 2004.