Biaya upacaranya mencapai ƒ70.000 yang nilainya sepadan dengan emas sekitar 10 kilogram—sekitar Rp5 milyar jika diukur dengan nilai uang sekarang.
Ahli sastra Jawa, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1899–1988), menjuluki Tan Tjin Kie sebagai “pelindung besar kesenian Jawa”.
“Perak-peraknja peti berkilat ketjorot oleh mata hari," tulis Tan Gin Ho, "lantas barisan militair kasih salvo.”
CIREBON KEBANJIRAN PELAYAT. Gin Ho menaksir ada 200.000 orang yang hadir untuk melayat. Biaya sewa kahar atau kereta yang ditarik lembu atau kuda melonjak delapan kali lipat, sementara harga sewa mobil berlipat berjingkat-jingkat hingga empat kali. Gin Ho juga mengamati di sepanjang jalan yang dilalui iring-iringan pelayat, banyak penjual meraup untung yang berlebihan. “Waroengan ada djoeal aer per kendi ƒ1,” catatnya. “Sepintjoek nasi jang harga bijasa tjoema 1 cent, di djoeal boeat 10 cent ka atas.”
“Boekan sadja toean-toean Europa tapi ada bebrapa njonja-njonja of [atau] nona-nona Eropa jang toeroet naek di poehon-poehoen.”
Tatkala kereta jenazah lewat, suasana senyap dan takzim. Para pelayat tak berani beruara keras. Mereka yang berada di tepian jalan pun menghormatinya. Orang-orang Eropa membuka topi mereka, sementara nyonya-nyoya Tionghoa bersoja—memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dalam tradisi Konghucu.
“Maski orang ada begitoe banjak dan di antaranja ada banjak jang koerang makan dan koerang tidoer," tulis Gin Ho, "tapi dari kasihannja Toehan Jang Maha Kwasa semoeannja ada slamet, tida ada kedjadian katjilakaan sewatoe apa.”
“Mereka tahu itu daerah bekas kuburan sang mayor,” Sam menulis. “Nisannya ditemukan sudah menjadi pijakan melintas gorong-gorong.”
Ketika zaman kemerdekaan," ungkap Agni Malagina, "makam-makam yang tanahnya luas dan cuma ada dua-tiga kuburan akhirnya diduduki warga.”
“Makam-makam kapitein atau mayor itu biasanya [berlokasi] di dekat rumahnya atau dimakamkan di tempat permakaman pribadi, bukan permakaman umum,” ujar Agni. Kompleks permakaman itu, imbuhnya, biasanya luas dan hanya berisi beberapa makam. “Ketika zaman kemerdekaan, makam-makam yang tanahnya luas dan cuma ada dua-tiga kuburan akhirnya diduduki warga.”
Kemegahan peradaban yang berakhir mengenaskan!
(Kisah ini terbit pertama kali dengan judul "Di Balik Pemakaman Megah Sang Mayor Cina di Cirebon" pada Rabu, 19 Agustus 2015 | 14:00 WIB)