“Generasi sekarang sudah beda dengan generasi dulu, tapi beksinya tetap sama,” ujar sang legenda silat terakhir Tangerang, Lie Djie Tong, di teras rumah gedongannya. “Tangkepan sama, berubah jalan doang.” Saya berjumpa di kediamannya pada akhir 2013. Saat itu ia berusia 92 tahun. Perawakannya tetap gagah, meski tak selincah masa mudanya dulu. Tuturnya kerap menggunakan bahasa melayu pasar. Sebagai sesepuh silat Tangerang, banyak warga sekitar hingga pesilat pelosok yang mengunjungi kediamannya pada perayaan tahun baru Imlek.
Dia melakukan ciotau (menikah dalam tradisi budaya Han) bersama istri pertama pada 1945, lalu menikah lagi dengan perempuan Muslim pada 1965. Kedua istrinya hidup rukun. Kini, cucunya ada 50 lebih, cicitnya ada belasan—dia sendiri lupa angka pastinya. Bahkan, beberapa anak mereka telah berhaji. Sore itu, ketika saya menjumpainya, Djie Tong baru saja menghabiskan butir salak terakhir di teras rumah gedongannya. Percakapan yang awalnya mencekam itu akhirnya melumer dengan ledakan tawa. Djie Tong ternyata seorang jenaka dengan tutur melayu pasar yang lantang.
“Sedikit-sedikit punya juga. Mau jajal?” ujarnya sambil pasang kuda-kuda menonjolkan cincin batu akik di kedua jari manisnya. “Kalau mau jajal ayo jalanin gitu, nanti saya timpa.”
Baca juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
Kakeknya yang bernama Lie Tjeng Hok wafat pada 1951 dalam usia 97 tahun dan dimakamkan di Kebon Besar. Sejak saat itu perguruan silatnya pun meredup. Namun, semangat dan ilmu sang guru itu telah menyebar dan berkembang ke pelosok Tangerang. Sampai hari ini, para pesilat penerus ilmu engkongnya sangat menghormati Djie Tong. Setiap tahun baru Imlek rumahnya selalu kebanjiran tetamu dari pelosok Tangerang.
“Orang Slam (Islam) tahun baru kemari. Mereka masih tahun baruan sama Empek.”
Semasa muda, seperti yang dituturkan Djie Tong, setiap tahun dia menumbangkan setidaknya empat guru silat. Dia bukan mencari ketenaran, namun ada saja orang yang mengajaknya untuk adu pukul. “Saya mau kata ogah, saya malu. Saya kata iya, lha elo sama gua emang kagak ada apa-apanya,” kenangnya. “Kan, běkshi di Dadap yang megang bapak gua.”
Entah berkah atau musibah bagi lelaki sepuh itu, namun kini nama “Djie Tong” yang melegenda itu telah menjadi kata kunci bagi siapa saja yang merindukan keselamatan. Dia berkisah kepada kami, banyak pengendara sepeda motor di jalanan Dadap yang dikeroyok massa karena mengakibatkan orang lain— dan ternak—celaka. Namun, banyak pula pengendara yang diampuni massa lantaran mereka mengaku sebagai cucunya. Sambil menyeringai, dia berkata dengan ekspresi antara bangga dan getir, “Sekarang kalau kenal Empek Djie Tong ngga jadi dipukul.”
Tradisi keguyuban beragama boleh dibilang sudah menjadi karakter masyarakat Cina Benteng, demikian juga dengan keluarganya. Meskipun seorang Cina dan Konghucu, dia mengakui ada darah pribumi Muslim mengalir di dalam tubuhnya. Ketika Djie Tong mendapat dana ganti rugi atas penggusuran makam mertuanya, dia justru menyumbangkan dana itu kepada sebuah masjid. “Lie Tjeng Hok itu bininya orang udik, orang Slam,” ungkapnya tentang sang engkong. “Makanya yang ngelahirin bapak saya itu orang Slam.”
Baca juga: Koran Kuno tentang Peran Tuan Tanah Cina dalam Pendidikan di Tangerang
Zaman juga telah mengubah segalanya. Dia pun teringat ujaran-ujarannya kala muda—yangmembuat orang lain mengira dirinya setengah sinting. “Nanti tanah hitam dan tanah merahpada kawin; orang mati pada bangun dan pindah; Indonesia jadi tapak jalak.” Kini, diapun takjub dengan ujarannya sendiri. Semuanya sahih: hamparan sawah di desanya diurukdengan tanah daerah lain untuk pembangunan perumahan, penggusuran makam untukjalan, dan jalan tol yang malang-melintang di Jakarta—bahkan melintasi Tangerang.
Sudah tujuh generasi, keluarga besarnya menghuni Desa Dadap, Tangerang. Dahulu, lingkungan tempat tinggalnya merupakan persawahan dan empang itu, namun kini menjelma sebagai permukiman dan pergudangan. Di meja abunya tersimpan sederet nama para leluhur. “Dari Lie Ah Djam turun ke Lie Ah Tjin, lalu turun ke Lie Tjeng Hok, lalu Lie Tong San, baru saya,” ungkapnya. Lalu dia melanjutkan, “Anak saya keenam, ke cucu sudah tujuh.”
Menurut Djie Tong, ilmu yang diturunkan hingga kepadanya berasal ketika sang engkong sedang tidur. Ilmu itu diturunkan dengan menghafal, tidak ada buku tentang jurus-jurus silat. “Engkong mimpi. Semula dapetnya satu jurus. Nanti kalau udah satu beres, mimpi lagi.”“Memang pokok dari sini, pecahnya di Petukangan,” ujar Djie Tong mengisahkan seorang murid engkongnya yang mendirikan perguruan lain. Dia juga menyebut perguruan titisan ilmu engkongnya di kawasan udik: Kebayoran dan Pondok Aren. Kemudian, dia berkisah tentang ayahnya yang wafat pada zaman Jepang. Lalu, disusul engkongnya pada 1951 dalam usia 97 tahun—keduanya dimakamkan di permakaman Gang Setan, Kebonbesar. Sejak saat itu perguruan silat di Dadap meredup. “Tidak ada perguruan lagi di sini,” ujarnya gamblang. “Banyak yang masih minta dilatih. Gua ngga mau, gua udah tua, gua ogah.”Kini, Djie Tong tinggal sendiri di tanah warisan leluhurnya yang kini telah dimiliki oleh anak-anaknya. Setiap hari anak-anak dari istri pertama dan keduanya, secara bergantian mengirimi Djie Tong hidangan santap siang dan sore. “Ini tanah yang kita dudukin, empek tidak punya semeter pun,” ujarnya. “Empek kasih tanah ke anak. Gua bakal mati, tanah buat apa.”Sebelum kami pamit pulang, Djie Tong memberikan pesan, “Ada mata jangan lihat selihat-lihatnya. Ada kuping denger jangan sedenger-dengernya. Ada hidung jangan seendus-endusnya. Ada mulut jangan sekecap-kecapnya,” ujarnya sambil mengembangkan bibir yang menyingkap dua gigi seri peraknya. “Dunia itu sampiran, harta itu pinjeman.”