Nationalgeographic.co.id— “Ketika saya ke Barus, apabila ada orang sakit, ternyata ke dukun dulu, baru pada kondisi tertentu baru ke Puskesmas,” kenang Rusmin Tumanggor. “Jadi Puskesmas itu alternatif, pengobatan primernya adalah dukun.”
Rusmin adalah guru besar bidang antropologi kesehatan dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Dalam diskusi santai yang dihelat di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, dia mengisahkan penelitian untuk disertasinya yang bermula sekitar 25 tahun silam. Subjek penelitiannya tentang sistem kepercayaan yang telah memasuki budaya pengobatan tradisional di Barus.
Dia pun menjumpai para datu—sebutan dukun setempat—dan menemukan 395 mantra jampi yang terkait kepercayaan animisme dan dinamisme.
Barus adalah sebuah kawasan pesisir barat Sumatra, bagian Tapanuli Tengah. Riwayat perniagaan selama berabad-abad mencatatnya sebagai penghasil kamper atau kapur barus. Sampai hari ini pohon kapur (Dryobalanops aromatica) penghasil kamper masih tumbuh di Aceh Singkil, Subulussalam, dan Tapanuli Tengah.
Pemerian soal Barus muncul pertama kali dalam cerita "Tabula Asiae XI" karya kartografer Ptolomaeus sekitar tahun 160 Masehi. Cerita itu kemudian direproduksi dan dipublikasikan dalam bentuk peta oleh Sebastian Munster pada 1550. Inilah peta tertua yang turut menggambarkan "kelima pulau" Baruffae Anthropophagi—baca: Barussie yang Kanibal.
Baca juga: Kota Cina, Bandar Penting Ketika Sriwijaya Surut. Di Manakah Itu?
Buku bertajuk Geographia karya Ptolomaeus, ilmuwan Mesir pada abad kedua, telah menyebut “kelima pulau Baroussia” di antara pulau-pulau Timur Jauh.
Buku bertajuk Geographia karya Ptolomaeus, ilmuwan Mesir pada abad kedua, telah menyebut "kelima pulau" Barussie Anthropophagi di antara pulau-pulau Timur Jauh. Tampaknya, Ptolomaeus telah mendengar dari berita yang dibawa para penjelajah samudra bahwa Barus dihuni para kanibal.
Bahkan, kumpulan naskah Mesir abad ke-12 meriwayatkan bahwa kota ini memiliki beberapa gereja Kristen Nestorian dan satu gereja Katolik.
Setidaknya ada dua catatan penjelajah Portugis mengenai denyut perdagangan di Barus. Tome Pires pada awal abad ke-16 mencatat, “…Baros kerajaan yang sungguh kaya, yang juga disebut Panchur atau Pansur.” Sementara itu Diogo Pacheco menyaksikan kapal-kapal asal Cambay (Gujarat), dan empat kapal asal pelabuhan di ujung Sumatra yang sedang berlabuh di Barus pada 1521.
Baca juga: Ludovico di Varthema, Sang Penentu Arah Pemburu Rempah
Berdasarkan bahasa yang digunakan dalam mantra dan jampi Barus, Rusmin menemukan ada beberapa kepercayaan yang menaungi pengobatan para dukun di sini.
Dia mengutip ayat Alquran yang mencatat kata “kaafuuraan” yang bertalian dengan penggambaran surga yang memiliki air berkamper atau air berkapur barus.
Para ahli arkeologi itu juga mengungkapkan rute pelayaran baru pada zaman Kekhalifahan Fatimiyah, yang menautkan bagian timur dari Laut Tengah dengan Barus. Naskah-naskah di Fustat, Mesir, tampaknya memberi pemaparan soal kamper sebagai obat dan barang dagangan bagi orang-orang Yahudi di kota tersebut. Bahkan, Robert S. Wicks, ahli numismatika dan guru besar di Miami University Art Museum, menyelisik temuan sekeping mata uang perak di Fustat yang ternyata berasal dari Barus.
Riwayat lainnya tentang kapur barus adalah tentang Kota Gondeshapur. Kota dalam peradaban Mesopotamia itu merupakan kota penting bagi perjumpaan orang Kristen Nestorian, orang Arab, orang Yahudi, dan orang India. Kota ini berperan dalam penyebaran kapur barus dan obat-obatan lainnya ke Eropa.
Kamper pernah melimpah di Barus. Kristal-kristal putih itu telah banyak dicatat oleh para penjelajah dan pemburu rempah, bahkan kitab suci. Namun, mengapa jejak Barus sebagai pusat perdagangan seolah pupus?
“Bisnis tidak selalu meninggalkan jejaknya,” ujar Rusmin mantap.